Sekali Lagi, Bersikap Atas Rasisme


Oleh: Khamid Istakhori, Pecinta Timnas Sepak bola Inggris

-belajar dari Piala Eropa 2020-

Di sela pandemi, perdebatan kita tentang pekerja asing menjadi sangat keras. Pemicunya, salah satunya karena pemerintah tetap membuka kran masuknya TKA dari China ke Indonesia, meskipun situasinya sedang tidak ideal. Berbagai aturan dipermudah, demi memberi legitimasi atas masuknya TKA China tersebut. Seperti biasanya, kebijakan tersebut sontak menimbulkan pro dan kontra. Kelompok pendukungnya, menyatakan inilah peraturan yang baik, dengan segudang alasan pembenarannya. Yang menolak, tak kalah sengit pula argumentasinya. Sebenarnya, ketika perdebatan masih berkutat soal kebijakan, soal pasal per pasal, kita masih menjadikan itu semua sebagai upaya pencerdasan. Mengasah analisis, baik menurut regulasi, maupun dikaitkan dengan aspek lain: budaya, sosial, politik, kemanusiaan, hingga agama sekali pun.

Tapi, lambat laun perdebatan mengarah pada pertentangan sengit kepada semangat anti ras, terlalu bersemangat sehingga kritik terhadap Presiden berubah menjadi kebencian pada “bangsa lain” dengan dasar ras, agama, suku, warna kulit, dan alasan fisik lainnya. Pengalaman kita selama ini memang menunjukkan bahwa “ketidaksukaan” terhadap seseorang, satu kelompok, satu golongan, akan menemukan muara yang lebih cepat bila dikaitkan dengan warna kulit, agama, keyakinan. Seolah bara api yang menyambar segala rupa karena disiram bensin tanpa subsidi.

Perhelatan Piala Eropa 2020 (meskipun diselenggarakan pada 2021, namanya tetap Euro 2020!) mendekati akhir. Hanya tersisa empat  timnas yang akan berjibaku menyelesaikan pertandingan untuk kemudian kita ketahui siapa yang terbaik. Juara yang akan disandang empat tahun ke depan, oleh calon juaranya antara Spanyol, Denmark, Inggris, atau Italia. Perhelatan selama 3 pekan ini memberikan banyak pelajaran pada kita bahwa sepak bola mengajak kita untuk mengerti dan memahami bagaimana semangat persahabatan, sportivitas, solidaritas, dan respek dijalankan. UEFA (dengan segala kadar kelemahannya) termasuk yang paling serius menerapkan berbagai aturan untuk menjaga semangat universal itu. Perisitiwa kolapsnya Erikson dalam salah satu laga Timnas Denmark, bisa dijadikan salah satu tolok ukurnya. Semua bersolidaritas.

Semua Timnas yang berlaga, diwajibkan memasang badge di lengan dengan tulisan RESPECT. Ini, merupakan kesepakatan yang harus dijunjung tinggi oleh semua tim yang bertanding. Itulah kenapa UEFA kemudian menghukum beberapa timnas yang mencoba berlaku tidak respek. Perilaku rasis, pasti akan segera bermuara pada jatuhnya sanksi, pada pemain atau Timnasnya. Rasisme merupakan hal yang diharamkan dalam  sepak boloa dan olah raga pada umumnya. Alasan itu pula yang membuat saya secara pribadi tak bersedia mendukung Timnas Uruguay karena Suarez pernah berlaku kasar dan rasis pada salah satu pemain Manchester United Evra di kancah liga Inggris.

Internasionalisme dalam sepak bola juga menjadikan permainan ini enak ditonton. Coba bayangkan, bagaimana rasanya menyaksikan liga Inggris tanpa kehadiran Raheem Shaquille Sterling, Rasford, atau De Gea pada klub Manchester United. Coba bayangkan bagaimana timnas Perancis tanpa Mbape atau Pogba? Atau simak punggawa Timnas Perancis ketika mereka menjuarai Piala Dunia beberapa tahun sebelumnya. Sebagian besar pemainnya, justru imigran, salah satunya Zidane asal Aljazair. Dapat dipastikan, tanpa imigran, permainan sepak bola di berbagai liga Eropa itu akan sangat membosankan.

Saya menemukan kemiripan sepak bola dengan Serikat Buruh. Perumpamaan antara keduanya hampir identik. Seperti halnya sepak bola, Serikat Buruh juga mengajarkan kesamaan nasib, kesamaan tujuan, kesamaan visi. Serikat buruh mengabaikan hal-hal individu yang tidak berhubungan dengan perjuangan. Agama boleh bermacam-macam, negara boleh dari mana saja, bahasa mungkin berbeda, Suku bisa jadi tidak sama, tapi serikat buruh mengikat semua anggotanya dengan satu kesamaan cita-cita yakni kesejahteraan dan musnahnya penindasan. Seperti halnya sepak bola, serikat buruh juga berbagi peran  anggotanya tanpa pernah mempertimbangkan warna kulit. Dan pada akhirnya, hanya tim yang solid yang akan menciptakan gol, demikian juga serikat buruh.

Bisa jadi, ada peraturan yang dibuat pemerintah yang diduga akan merugikan pekerja lokal. Tapi itu bukan alasan untuk memusuhi pekerja asing yang datang ke negara kita. Desakan dan protesnya jelas ditujukan pada pemerintah agar mengubah aturannya sehingga menjadikan hak kita setara, memberikan kesempatan yang seimbang. Sepak bola juga demikian, bisa jadi pemain-pemain lokal memprotes PSSI yang terlalu banyak mengakomodir pemain asing sehingga mereka khawatir akan mengurangi kesempatan pemain lokal bermain dalam pertandingan dan nanti, hal ini akan mempengaruhi regenerasi Timnas kita. Protes dilakukan kepada PSSI agar mengubah aturan main, tapi tidak boleh dilakukan dengan melukai pemain asing. Demikian seterusnya.

Ah, sebentar lagi Euro 2020 yang digelar di 11 negara akan segera selesai. Nikmati selebrasi kemenangannya, ratapi kekalahannya, tangisi kegagalannya, tapi sekaligus serap sebanyak-banyaknya pelajaran darinya. Sambil sesekali renungi, apa jadinya serikat yang kita bangun seandainya dia hanya dibangun dengan kebanggaan semua yang bersifat lokalis, dibangun di atas semangat Chauvinisme yang sempit. Serikat kita menjadi bertambah kuat karena kita sekaligus membangun nafas global dalam diskusi lokal kita. Mendorong aksi regional, di tengah kebanggan nasional kita. 

Bravo sepak bola, bravo serikat buruh. Enyahkan rasisme: di rumahmu, di pabrikmu, di serikatmu, terlebih di kepalamu!