Buruh Terus Desak Pencabutan UU Tax Amnesty!

 


Jakarta – Kelompok buruh yang mengajukan Judicial Review atas UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), merasa yakin bahwa gugatannya akan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini disampaikan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, yang juga terus mendesak agar UU Tax Amnesty untuk segera dicabut.

Selain menempuh jalur hukum melalui Judicial Review ke MK, desakan buruh juga dilakukan dalam bentuk aksi. Seperti aksi yang digelar buruh dari KSPI pada hari Rabu, 14 September 2016 lalu di depan MK.

Melalui siaran persnya, Said Iqbal mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan sikap konsisten buruh untuk menolak kebijakan yang merugikan rakyat kecil, sekaligus memastikan Hakim MK tetap bersikap independen. “Pemerintah terlihat mulai panik, ini terlihat ketika beberapa waktu lalu Presiden dikabarkan memanggil Hakim MK. Pemeanggilan itu diduga untuk membicarakan perihal judicial review Tax Amnesty yang saat ini tengah diproses MK,” ujarnya.

Ia menilai bahwa sejak awal perumusan UU Tax Amnesty telah bertentangan dengan UUD 45. “Pada dasarnya, pajak bersifat memaksa sesuai amanah UUD 45 pasal 23a. Karena sifatnya yang memaksa, bagi mereka yang mengemplang pajak harusnya dijatuhi sanksi. Bukannya malah diampuni,” tegas Iqbal.

Dijelaskannya pula, bahwa pada pasal 2 dan 3 UU Tax Amnesty menyatakan bahwa setiap wajib pajak berhak mendapatkan pengampunan pajak. Hal itu bertentangan dengan UUD 45 dan memperlihatkan ketertundukan negara dihadapan pengemplang pajak. “Itu bukti jika negara lebih tunduk para pengusaha dan konglomerat hitam yang mengemplang pajak,” sambungnya.

Jika dengan UU Pengampunan Pajak Pemerintah berharap uang yang diparkir di luar negeri yang besarnya Rp 11.450 triliun akan pulang kampung dengan tebusan rendah 1 – 6 % (untuk deklarasi sampai dengan 31 Desember 2016), tax amnesty justru berbanding terbalik dengan tujuan itu.

Ia mempertanyakan mengapa penarikan pajak tersebut, tidak ditempuh dengan jalur penegakan hukum. “Andai tingkat keberhasilannya hanya 10 % penerimaannya pun masih relatif besar, mencapai Rp 343,5 triliun. Jauh lebih besar dari ekspektasi Rp 165 triliun, yang itu pun masih jauh dari realisasi saat ini,” tuturnya.

Iqbal beranggapan tidak ada jaminan dana tax amnesty dan repatriasi akan permanen di Indonesia. Karena berdasarkan pengalaman beberapa negara yang telah menerapkan tax amnesty, dana yang masuk hanya sementara guna mengejar pengampunan pajak atau Surat Sakti Pajak, kemudian keluar lagi. “Kita bisa melihat Argentina dan India sebagai satu contoh,” ujarnya mencontohkan.

Menurut Iqbal, kaum buruh berkepentingan dengan penerimaan negara melalui pajak. Dengan penerimaan negara yang cukup, maka pembangunan bisa berjalan. Negara mempunyai uang untuk melakukan subsidi dan memberikan jaminan sosial, serta yang terpenting: tidak perlu berhutang.

“Karena itulah buruh tidak keberatan meskipun tiap bulan upahnya dipotong untuk pajak. Tetapi ironisnya, para pengusaha dan konglomerat hitam yang tidak taat bayar pajak, justru diampuni. Seharusnya pemerintah melakukan reformasi pajak dan fiskal dengan memerhatikan prinsip-prinsip rule of law, equality of law, dan keadilan sosial,” pungkasnya. (gum)