TENTANG MUHAMMAD IKHSAN PRAJARANI: “JURU BICARA TERBAIK BAGI ORANG-ORANG TIDAK BERUNTUNG”.

 


-sebuah perjalanan menuju Prabumulih-

Karawang, 26 Maret 2017.

Saya, sebenarnya tidak terlalu percaya hitungan-hitungan, apalagi ketika memang tidak ada dasar yang melandasinya bagi sebuah perbuatan. Demikian juga ketika mengenang (baca : mendoakan) seorang sahabat yang telah mendahului kita, menghadap keharibaanNya. Kita bisa melakukannya kapan saja, tanpa perlu berhitung. Tapi manusia, mungkin terbiasa dengan hitungan-hitungan, simbol, penanda untuk memudahkan ingatan dan mungkin sedikit sentimentil. Itulah kenapa orang menjadikan peringatan sweet seventeen dengan lebih mahal, padahal tiap tahun dia merayakan hari jadinya.

Aku tulis surat ini. Dalam hitungan memoriku, besok adalah 40 hari peringatan meninggalnya Sahabatku Almarhum Ikhsan Prajarani. Begitu cepat rasanya waktu, sehingga hitungan 40 menemui kita. Tapi percayalah, akan ada banyak waktu untuk selalu membicarakan Ikhsan. Sebagai apapun. Sebagai pemimpin Serikat, Sebagai pejuang buruh dan saya, lebih memilih membicarakannya sebagai sahabat. Meski, saya tidak ingat betul, sudah berapa lama saya mengenalnya. Entah kapan pertemuan pertamanya. Beberapa kawan, meminta saya menulis sebuah obituari yang lebih lengkap tentang dirinya, tapi saya bilang nanti saja, sebab saya masih shock atas kepergiannya.

Kepergiannya, adalah 11 Februari 2017. Tepat sesaat setelah kami menutup pertemuan KPBI Jawa Barat di Karawang. 3 Hari berikutnya, saya mengusulkan kepada kawan-kawan SERBUK untuk menggelar sebuah acara doa bersama. Lalu, kami meminta testimoni beberapa kawan. Subono, Sekjen SERBUK menurut saya memberikan sebuah pernyataan yang menarik. “Saya, tidak terlalu lama mengenal Bung Ikhsan, tetapi lamanya waktu, bukan ukuran bagi sebuah rasa kehilangan,” demikian katanya dengan terbata. Dalam pengkuannya, dia beberapa kali bertemu dengan Ikhsan.

Malam itu, kami kemudian menarik sebuah garis lurus mengenai Ikhsan dalam kaca mata persahabatan. Kawan-kawan FBTPI, FSP2KI, SERBUK dan puluhan yang hadir dari pabrik-pabrik memberikan doanya. Menariknya, ada seorang buruh pabrik, anggota baru SERBUK yang turut hadir dalam doa bersama. Lalu disela acara ngobrol santai saya bertanya kepadanya kenapa ia hadir? Padahal saya yakin dia tidak mengenal Ikhsan. Saya seperti mendapatkan kuliah 4 SKS karena jawabannya. “Solidaritas itu, lahir dari hati, nurani, kecintaan bukan karena kenal wajah. Ribuan kilometer orang di belahan bumi lain, ketika dia bersama kita dalam kesamaan nasib dan kesamaan cita-cita, maka cukup bagi saya untuk memberikannya doa,” katanya dengan wajah datar. Ini jelas, merupakan sebuah pelajaran penting bagi kami, orang-orang yang biasanya mabuk dengan sebutan pimpinan. Bagi kami –selama ini—solidaritas lebih dimaknai sebagai permintaan formal. Kop Surat, stempel, proposal dan sejenisnya….. Kami ini, sebenarnya para pimpinan yang menjadikan solidaritas sebagai sebuah kerepotan sambil tak henti menghitung kebaikan-kebaikan yang sebenarnya tidak terlalu banyak, kecuali hanya banyak diulang di medsos sebagai sebuah festival.

Rasanya, apa yang tertulis diatas, merupakan gambaran nyata tentang Ikhsan. Buruh pabrik, memimpin serikat, memimpin aksi, memimpin mogok, mengajak dan mengajari anggotanya untuk bersolidaritas lintas batas tanpa embel-embel bendera, kop surat, stempel…. dialah yang memimpin rombongan ketika anggota di Lampung kena masalah. Pendek kata, dia melakukan banyak hal. Kalaupun kemudian dia menjadi pimpinan serikat level nasional, sebagai Sekjen, menurut saya itu adalah bonus.

Besok, adalah 40 hari peringatan meninggalnya. Dan hari ini, saya sedang mempersiapkan sebuah perjalanan menuju Palembang kemudian melanjutkan jalur darat selama 3 jam menuju Prabumulih dan menuju Muara Enim sampai akhirnya mungkin menginap di Gunung Raja, sekretariat kawan-kawan SERBUK yang akan mogok kerja. Tanggal 27 Maret pagi, saya harus mendampingi kawan-kawan SERBUK Sumsel untuk sebuah pertemuan mediasi di Kantor Disnaker Muara Enim. Tapi, saya meminta kepada kawan-kawan SERBUK untuk berangkat lebih pagi agar saya bisa mengunjungi pusaranya, berziarah dan membacakan sebait dua bait doa diatas makamnya. Ini, sekaligus sebagai permintaan maaf karena saya tidak bisa hadir di hari pemakamannya.

Pada alinea ini, saya terdiam agak lama. Memutar ulang pita kaset memory bersamanya. Terlintas, saya melihatnya bergerak kesana kemari di sebuah ruang meeting, sebab dialah yang selalu memastikan semua persiapan acara berjalan dengan baik. Selintas, saya melihatnya datang membawa beberapa bungkus nasi untuk kami di sela acara pelatihan…. Selintas, oh, ternyata beribu lintas dia hadir. Dan terakhir, pertemuan terakhir saya dengannya adalah pada sebuah sessi penutup pendidikan aksi di Muara Enim 26 November 2017. Saya, memintanya memberikan sambutan penutup untuk acara yang sudah digelar sejak pagi. Dan dari sudut yang jauh, saya memotretnya dengan kamera dari ponsel saya. Foto itu, adalah yang sekarang saya pasang melengkapi tulisan ini.

Di akhir tulisan ini, saya ingin memberikan kesaksian sebenarnya tentang Muhammad Iksan Prajarani (alm), bahwa dia adalah JURU BICARA terbaik bagi banyak orang yang tidak beruntung. Dia melakukannya selalu dengan ikhlas, tanpa pernah melihat bendera, kop surat dan stempel yang kadang memenjarakan kita.


Sahabatmu: Khamid Istakhori