Pandangan Negara Integralistik

 


Review Buku Oleh: Moh Ali Rahangiar, Mahasiswa STHI Jentera, Jakarta.


Judul: Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur dan Riwayat dalam Persiapan UUD 1945.

Penulis : Marsillam Simanjuntak

Penerbit: Pustaka Utama Grafiti

Tahun terbit: 1994

Tebal : 289 Halaman.


Pandangan Negara Integralistik (NI) mula-mula muncul sebagai suatu usulan staatsidee dikemukakan oleh Prof. Mr. Dr. Supomo di hadapan sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 31 Mei 1945. Gagasan Supomo tersebut diilhami oleh Adam Müller, Spinoza dan Hegel. Menurut Supomo, NI adalah paham negara yang mengatasi semua golongan. Posisi individu dengan negara dalam Negara Integralistik melebur atau menyatu ke dalam negara. Kepentingan umum (negara) selalu berada di atas kepentingan individu. Selain kepada tiga pemikir di atas, Supomo mengkalim bahwa padangannya tentang Negara Integralistik sesuai dengan kebudayaan timur, kebudayaan asli Indonesia yang ada di desa-desa.

Tetapi sebagai sebuah gagasan, NI hanya muncul sekali, sesudah itu mati—setidaknya sejak 1945 sampai 1967 sebagaimana dicatat Marsillam. Musababnya, Sukarno terlalu besar untuk “diajari” hal ihwal menyangkut dasar-dasar negara. Gagasan-gagasan politik Sukarno terlanjur lebih anti-imprealisme, anti-liberalisme, dan anti-individualisme serta lebih aktif dan maju. Lihat saja Pancasila, Gotong Royong, Berdikari, atau Manipol-USDEK (Manfesto Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional), kesemuanya merupakan gagasan yang lebih hidup dibanding Negara Integralistik yang terkesan pasif, tidak hidup.

Sebagaimana dikatakan Marsillam sendiri, gagasan Negara Integralistik baru kembali dihidupkan setelah Sukarno lengser dan digantikan oleh rezim yang menyebut dirinya Orde Baru. Jika pada rezim sebelumnya NI hanya muncul sekali dan tak pernah berhasil setidaknya sekedar untuk diperdebatkan, di zaman Orde Baru, NI bahkan dioperasionalisasikan. Padangan NI oleh negara Orde Baru digunakan sebagai pembenar atas praktek bernegara yang cenderung otoriter. Dalam kaitan inilah—hubungan negara Orde Baru dengan gagasan Negara Integralistik—kira-kira, Marsillam Simanjuntak, melalui bukunya berjudul Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur dan Riwayat dalam Persiapan UUD 1945, yang pada mulanya merupakan skripsinya di FH UI, berusaha menyoal asal-usul Negara Integralistik Supomo.

Buku yang ditulis menggunakan kerangka analisis Kesenian dan sejarah ini, terdiri atas tujuh Bab dengan pembahasan masing-masing: Bab I Pendahuluan, Bab II Norma Dasar, Staatsidee dan Konstitusi, Bab III Konsep Negara Integralisitk; Bab IV Adam Muler, Spinoza dan Hegel; V berisi kritik terhadap Hegel; Bab VI membahas unsur Hegelian, pandangan integralistik, dan UUD 1945, serta penutup pada Bab VII.

Bab I membahas hal-hal normatif tentang hak-hak warga negara dalam negara hukum kaitannya dengan penyelenggaraan negara yang cenderung otoriter, asas kedaulatan rakyat dalam konsep negara demoksi, sambil menyinggung secara sambil lalu hubungan problematis antara Negara Integralisitik dengan asas kedaulatan rakyat berikut kemungkinan implikasinya baik terhadap dunia akamedik (teori, hukum tata negara maupun politik) maupun dalam praktek hukum ketatanegaraan. Kemudian dilanjutkan dengan batasan studi atau pembahasan, metode yang digunakan, tantangan-tantangan (missal: keterbatasan sumber primer seperti naskah pidato versi M Yamin, kekurangan dan kelemahannya), serta penjelasan umum tentang isi masing-masing bab selanjutnya.

Bab II membahas norma dasar, staatside dan konstitusi. Pembahasan bab ini dibuka dengan dua alasan yang oleh penulisnya disebut sebagai alasan teoritis dan alasan historis. Alasan yang pertama berkaitan dengan suatu pandangan, ide, atau gagasan tertentu tentang negara yang pada gilirannya mempengaruhi perumusan aturan dasar negara hingga hubungan negara dengan warga negara. Sedangkan alasan kedua berkaitan dengan praktek serta kecenderungan dalam sikap bernegara yang diturunkan dari atau merupakan implikasi lanjutan dari suatu pandangan yang dianut. Pandangan, ide, atau gagasan dalam hal ini Padangan Negara Interalistik dengan klaim penafsiran sejarah yang dikaitkan dengan UUD 1945. Menurut Marsillam, seringkali dirujuk oleh (penyelenggara) negara sebagai dasar bersikap saat merespon suatu peristiwa konkret tertentu.

Meminjam perangkat analisis Hans Kelsen tentang hirarki hukum yang mengandaikan norma dasar (grundnrom) sebagai pra-asumsi yang abstrak, tidak tertulis, dan berada di luar hukum positif yang berfungsi, selain sebagai sumber hukum, grundnorm juga berfungsi mengesahkan/memvalidasi konstitusi, sehingga posisinya tidak dapat direduksi. Dengan prespektif seperti itu, Marsillam menunjukan beberapa kontrakdisi dalam cara berhukum Indonesia, setidaknya pada ranah akademik. Sukarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 menyebut Pancasila sebagai filsafat atau pandangan hidup bangsa Indonesia. Karena itu sebagian ahli hukum Indonesia kemudian menganggap Pancasila sebagai grundnorm. Sementara dalam UUD, Pancasila juga dituangkan di dalam pembukaan (preambule), maka antara Pancasila dan UUD, manakah yang dianggap grundnorm? Ini kontradiksi pertama yang ditunjukan Marsillam. Kontradiksi kedua, Grundnorm adalah abstrak dan tidak tertulis.

Pancasila meskipun umum, tetapi tertulis. Apakah Pancasila grundnorm dalam pengertian ini? Kemudian soal problem penafsiran terhadap Pancasila, dan kemampuan (kememadaian) Pancasila sebagai sumber penafsir problem pada norma hukum. Pertanyaan-pertanyan tersebut diselesaikan dengan tetap mengacu pada Kelsen sendiri yang membuka ruang terhadap perbedaan penafisran, selain juga dibenarkan oleh ahli hukum lain seperti Lawrence Friedmann. Di antara semua pertanyaan (kontradiksi) yang diajukan, ada satu pertanyaan sangat penting: apakah Pancasila satu-satunya grundnorm bagi Indonesia? Pada pembahasan selanjutnya, Marilam kemudian menunjukan bahwa selain Pancasila, ada satu grundnorm lain yang berlaku di Indonesia, setidaknya selama Orde Baru berkuasa, yaitu Pandangan Negara Integralistik.

Selain kontrakdiksi di atas, ada kontradiksi penting lainnya yang ditunjukan Marsillam dan menarik untuk dibahasa di sini. Secara umum, para ahli hukum sependapat bahwa Pancasila sesuai dengan batang tubuh UUD. Di sini Marsillam kembali berhasil menunjukan hal yang berkebalikan dengan anggapan umum tersebut. Dalam mukadimah (preambule) UUD 1945, UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, semuanya memuat Pancasila meski dalam bahasa yang berbeda-beda. Tetapi faktanya, tipe bangunan negara yang dianut UUD RIS 1949 adalah tipe negara federal. Hal ini tentu saja berkebalikan dengan UUD 1945 yang menganut negara kesatuan, padahal keduanya sama-sama mengacu pada Pancasila. Sedangkan UUDS 1950 terdapat 27 Pasal yang mengatur hak asasi manusia (HAM), termasuk larangan untuk menghapus hak-hak dan kebebasan terebut oleh pengusa (negara) yang diatur dalam Pasal 34. Pasal-pasal tentang HAM itu, diadopsi dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia PBB 1948. HAM sebagaimana diketahui dekat dengan pikiran/filsafat liberalisme. Sementara UUD 1945 yang anti-liberalisme dan individualisme itu hanya mengatur 3 pasal yang berkaitan dengan HAM. Padahal baik UUDS 1950 maupun UUD 1945 sama-sama mengacu pada grundnorm yang sama, yakni Pancasila yang dituangkan dalam mukadimahnya. Dengan fakta ini, menurut Marsillam, Pancasila sebagai grundnorm, pada dirinya berpotensi mengandung masalah penafsiran sehingga lebih memungkinkan ditangani melalui pendekatan (keputusan) politik dibanding pendekatan hukum.

Bab III membahas konsep negara integralistik. Supomo dalam pidatonya di hadapan Dokuritsu Junbi Cosakai syarat-syarat negara sebagaimana yang diketahui luas dalam ilmu negara, yakni adanya wilayah, rakyat dan pemerintahan yang berdaulat diakui menurut hukum internasional. Ia kemudian membahas konsep negara (staatsidee). Menurutnya apapun sistem pemerintahan yang dipakai, negara kesatuan, federal, republik,atau monarki amat lah bergantung pada staatsidee-nya. Karena itu, yang pertama-tama perlu dibahas adalah menentukan staatside.

Supomo dipengaruhi oleh propaganda Jepang yang ketika itu menduduki Indonesia, merumuskan staatside yang menurutnya sesuai dengan Indonesia, dalam bingkai Asia Timur Raya. Ia mengkategorisasi negara secara umum ke dalam tiga bentuk (1) negara perorangan atau individualis sebagaimana diajarkan Jhon Locke, Hobbes, Rousseau dan Laski. Kecenderungan perseorangan ini dilhat pada hubungaan kontraktual (kontrak sosial) antara warga negara dengan negara; (2) negara golongan yang diajarkan Marx, Engels dan Lenin. Negara dianggap sebagai alat suatu golongan menguasai golongan yang lain; dan (3) apa yang ia sebut sebagai Padangan Negara Integralistik, yang menurutnya diajarkan oleh Müller, Spinoza dan Hegel. Negara dalam pengertian ini, menurut Supomo tidak berdasarkan pada kepentingan perorangan atau golongan, melainkan kepentingan seluruh rakyat. Negara dalam hal ini terdiri atas masyarakat yang integral, hubungan setara sesama anggota adalah hubungan yang organis, suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Maka yang utama adalah kehidupan bangsa seluruhnya. Setelah menunjukan kegagalan praktek negara individualistik yang menurutnya terjadi di Eropa dan negara golongan (kelas) yang terjadi di Uni Soviet, Supomo mengatakan bahwa negara integralistik adalah yang diprakterkan di Jerman dengan nasionalis sosialisnya.

Prinsip negara integralistik menurut Supomo adalah persatuan antara pemimpin dan rakyat dan persatuan dalam negara seluruhnya. Pemimpin dan rakyat disatukan dalam persamaan darah dan daerah (blut und boden). Menurutnya hal tersebut sesuai dengan aliran pikiran ketimuran. Dengan hubungan seperti itu, negara tidak perlu menjamin hak-hak individu dan kebebasan dasar masyarakatnya karena kepentingan keduanya identik, keduanya tidak terpisah melainkan ‘satu’. Dengan begitu tidak ada pertentangan atau dualisme negara dan masyarakat atau individu. Bagi Supomo tidak penting bentuk negaranya seperti apa, yang penting adalah hubungan pemimpin dan rakyat haruslah seperti yang telah dijelaskan. Sementara untuk tata cara penentuan pemimpin, Supomo menolak pemilihan atau mekanisme yang berlaku di negara liberal, ia lebih memilih musyarah mufakat atau peralihan kekuasaan secara turun temurun.

Bab yang paling menarik menurut saya dari buku ini adalah pembahasan unsur Hegelian, Negara Integralistik dan UUD 1945. Sebelum ke Bab ini filsafat Hegel telah lebih dahulu dibahas sehingga memudahkan pembaca. Melalui bab ini, unsur Hegelian dalam pikiran Supomo berhasil disingkap. Marsillam memulai penyingkapan ini dengan cara yang ia sebut esensialisasi terhadap pikiran Supomo sebagaimana dalam pidatonya.

Negara Integralisitik Supomo tidak mengenal pemisahan (dualisme) antara individu atau kelompok dengan negara, sebagaimana telah disinggung di muka. Oleh karena itu, tidak diperlukan aturan yang melindungi atau menjamin hak-hak kebebasan dasar manusia. Menyatunya negara dengan warga negara (individu maupun kelompok) ini adalah khas filsafat politik Hegel. Negara dalam pikiran Hegel mula-mula terbagi menjadi ‘negara’, ‘masyarakat sipil’, dan ‘individu’. Individu dan masyarakat adalah dua ide subjektif-partikular yang harus memerdekakan diri dengan cara melebur ke dalam ide objektif-universal yaitu negara. Peleburan melalui penyesuaian yang partikular kepada yang universal itu bukan kerelaan, tapi suatu keharusan. Dengan begitu, yang partikular menyatu dengan yang absolut-universal.


Kesimpulan dan kaitan dengan ilmu Negara:

1. Pada dasarnya buku merupakan pembahasan mengenai ilmu negara dalam bentuk yang paling gamblang. Sejak pendahuluan, konsep atau teori yang dipelajari dalam ilmu negara seperti negara hukum, hak-hak warga negara, hubungan warga negara dengan negara, demokrasi hinngga keadulatan rakayat telah dibahas hingga asal-asulnya meski secara sambil jalan;

2. Pembahasan Bab II buku ini memanfaatkan teori hirarki norma Hans Kelsen. Kelsen sendiri sebagaimana dipelajari dalam ilmu negara, melihat negara sebagai himpunan norma yang tersusun secara hirarkis, dari yang teknis ke yang lebih tinggi derajatnya, sampai ke yang paling mendasar (grundnorm) lalu ke yang abstrak;

3. Penyelenggara negara cenderung mencari tafsir yang sesuai dengan kepentingannya guna membenarkan tindakan yang diambil sebagaimana Orba memanfaatkan pandangan negara integralistik. Karena itu, setiap tafsir atau klaim yang dibuat negara dalam kaitan dengan itu perlu ditanggapi secara kritis;

4. Bahwa Supomo adalah seorang Hegelian yang terpesona dengan ide-ide fasis (Jepang dan Nazi Jerman)