Ada Harapan bagi Gerakan Rakyat di Luar Pertarungan Politik Pemilu 2019

 

Aksi Nasional KPBI 2018


PERNYATAAN SIKAP, KONFEDERASI PERSATUAN BURUH INDONESIA, AKSI NASIONAL KPBI

Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) melihat harapan-harapan dari Pemilu 2019 tidaklah nyata. Para calon presiden dan partai-partai yang bertarung di laga tersebut tidak memiliki kinerja pembangunan untuk rakyat. Sebaliknya, masih ada asa di luar pertarungan politik 2019.  Harapan itu terletak pada punggung rakyat tertindas yang terorganisir. Karena itu, KPBI dalam aksi pada 8 Desember 2018 ini mendeklarasikan sikap politiknya untuk tidak terlibat dalam politik dukung-mendukung partai politik dan calon presiden selama pemilu 2019.

Dengan tidak terlibat politik dukung-mendukung, KPBI menegaskan bahwa politik pemilu bukanlah pertarungan rakyat dan masih ada harapan dengan membangun politik yang lahir dari rahim rakyat.

KPBI melihat tidak ada satupun partai politik peserta pemilu bebas dari kasus korupsi. Mulai Partai Bulan Bintang hingga pemenang pemilu, PDI-P, semuanya memiliki kader yang terlibat korupsi. Para kader itu melakukan korupsi ketika memangku jabatan dan jelas partai-partai berperan dalam terciptanya para koruptor tersebut. Korupsi telah menjadi laku untuk mempertahankan kekuasaan para oligarki partai-partai tersebut.

Korupsi jelas-jelas merugikan buruh. Vonis 6 tahun penjara hakim korup Pengadilan Hubungan Industrial Imas Dianasari hanyalah puncak gunung es dari kerugian buruh akibat korupsi. Berkali-kali kami melihat hakim dan suku dinas ketenagakerjaan yang tiba-tiba satu suara. Belum lagi dampak tidak langsung korupsi, ketika anggaran-anggaran Negara yang diperuntukan untuk rakyat, buruh, amblas digerogoti tikus-tikus berdasi.  Sepanjang 2017, 576 kasus korupsi merugikan Negara hingga Rp 6,5 triliun.

Tidak ada keseriusan pemerintah dalam memberikan dukungan untuk pengusutan politik ketika itu menyangkut kekuasaan oligakri. Persoalan Novel Baswedan macet tanpa menetapkan satupun tersangka.

Selama berbagai macam pemilu, pemerintah maupun partai-partai di DPR juga tidak menunjukan sikap untuk mendorong jaminan sosial secara berarti. Ketika para investor mendapat berbagai potongan pajak dan kemudahaan, rakyat justru diminta membayar sendiri melalui iuran BPJS. Saat pemerintah jor-joran membangun infrastruktur untuk mempermudah kelancaran investasi, pemerintah membiarkan defisit BPJS Kesehatan Rp 16 triliun. Rakyat rentan dikorbankan ketika layanan memburuk dengan alasan dana. Belum lagi pencabutan subsidi-subsidi mulai dari listrik hingga perumahan. Subsidi perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang sempat mencapai Rp 9,7 triliun kini berkurang hingga Rp 6 triliun.

Di sektor HAM, berbagai atraksi dan janji-janji pemerintah dan DPR tak pernah mengarah pada penuntasan HAM. Kasus penghilangan paksa, pembunuhan marsinah, dan pembantaian 65/66 tak kunjung mendapatkan titik cerah. Belum lagi pelanggaran hak-hak berupa perampasan tanah dan penggusuran yang menjauhkan hak atas tempat tinggal layak dan rezim kontrak/outsourcing/magang yang menjauhkan buruh dari kerja layak. Masih segar dalam ingatan betapa rezim bahkan menembak mati Poro Duka pada April 2018 ketika ia mempertahankan tanah adat.

Dalam hal demokrasi, pemerintahaan semakin rajin membredel kebebasan berbicara para pengkritiknya, terutama melalui UU ITE. Tidak hanya itu, sistem pemilu dirancang untuk menyulitkan rakyat mendirikan partai politik dan memaksa rakyat hanya menjadi penggembira dari pesta kelompok elit.

Terlebih lagi di sektor perburuhan, buruh dikondisikan untuk “kerja, kerja, kerja” dengan upah murah, status kerja tanpa kepastian, dan kerap kondisi lingkungan kerja berbahaya. Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan menutup ruang berunding bagi buruh. Alhasil,  dalam tiga tahun belakangan, President Joko Widodo menyerahkan penetapan upah pada mekanisme pasar dengan penyesuaian upah berdasarkan inflasi nasional plus pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, penyesuaian upah terus menurun dari 11 persen pada 2016, 8,25 persen pada 2017, 8,7 persen pada 2018, dan 8,03 persen pada 2019. Akibatnya, daya beli buruh semakin menurun. Pemberangusan serikat semakin menjadi-njadi dan menjadikan pabrik tak ubahnya camp kerja paksa.

Terlebih, pemerintah semakin membiarkan hubungan kerja kontrak/outsourcing/magang yang memaksa buruh bekerja dengan kondisi tidak pasti. Buruh tidak dapat hidup tenang tanpa kepastian kerja di hari esok. PHK sewaktu-waktu berarti lemahnya atau bahkan tidak adanya serikat dan itu merupakan pintu masuk dari berbagai pelanggaran-pelanggaran lainnya.  Dari semua itu penindasan itu, kaum perempuan berada dalam lapisan ketertindasan yang paling bawah. Hak-hak maternitas, seperti cuti haid dan melahirkan serta hak menyusui, semakin tidak dapat dijangkau dalam status kerja tak pasti.

Kerja layak merupakan hak asasi mansuia yang dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945. Selain itu, pengusaha tidak bisa sewenang-wenang melemparkan resiko bisnis dengan mengorbankan buruh melalui kontrak/outsourcing.

KPBI melihat perdebatan-perdebatan selama kampanye mengabaikan persoalan-persoalan tersebut. Jikapun disinggung, seperti halnya Janji Jokowi akan tiga layak, untuk menghapus outsourcing, hanyalah pemanis untuk kemudian diingkari. Begitu juga dengan calon presiden oposisi, perlu diingat, calon wakil presiden Sandiaga Uno bahkan langsung mengingkari kontrak politik dengan buruh untuk menaikan upah di atas PP Pengupahan ketika baru saja menjabat sebagai calon wakil gubernur DKI Jakarta. Lantas, pantaskah buruh percaya janji politikus cum pengusaha itu untuk mencabut PP Pengupahan dan menghapuskan outsourcing? Jelas tidak!

Untuk itu, ribuan massa dari KPBI di Jakarta dan Sumatera Utara menggelar aksi pada 8 November 2018 sebagai bentuk kritik terhadap sistem penindasan yang ada. Kami menyerukan agar buruh dan rakyat tidak perlu lagi berharap pada partai-partai politik dan para calon presiden.

KPBI juga menyerukan pada berbagai elemen gerakan rakyat untuk mengandalkan kekuatan sendiri. Kekuatan rakyat tidak boleh terus menerus menitipkan nasib dan suara pada partai-partai korup dan pelanggar HAM.

Membangun kekuatan sendiri mungkin akan membutuhkan waktu. Gerakan rakyat yakin rezim oligarki tidak akan tinggal diam. Sejarah sudah membuktikan itu. Pada 2016, ketika gabungan gerakan buruh dan rakyat mendeklarasikan embrio partai politik Rumah Rakyat Indonesia, rezim langsung menjawab dengan pembatasan pembentukan partai politik.

Tapi, dengan ketekunan dan keyakinan bahwa inilah satu-satunya solusi bagi kelas tertindas, baik buruh, tani, miskin kota, masyarakat adat, dan minoritas. Kerja keras dan penyatuan yang selama ini sudah dilakukan akan terus diperhebat. Kami akan terus mengajak anggota-anggota dan rakyat pada umumnya untuk menyadari, tak ada gunanya bertikai, membela para kepentingan kelas atas sehingga layaknya menjadi para fanatis. Rakyat akan dapat berdaya hanya ketika mengandalkan kekuatannya sendiri, berorganisasi, dan terorganisir dalam kekuatan politik yang lahir dari rahim rakyat.


Maka dari itu, aksi massa ini sekaligus untuk menunjukan perlunya persatuan rakyat lintas sektor untuk membangun alat politik bagi rakyat tertindas. Untuk itu KPBI menyerukan gerakan rakyat untuk mendukung:

  1. Lawan Korupsi!  Tuntaskan kasus Novel Baswedan dan Tuntaskan kasus-kasus mega korupsi seperti BLBI, Century dan yang menyeret pejabat-pejabat tinggi. Tangkap, adili, dan miskinkan koruptor. Hentikan pungli di pelabuhan. Buruh mendukung KPK!
  2. Pemerintah bertanggungjawab atas jaminan sosial bagi seluruh rakyat.
  3. Wujudkan demokrasi sejati, tempat rakyat dapat berpartisipasi.
  4. Tuntaskan pelanggaran HAM masa lalu. Usut habis para penculik dan pelaku pembunuhan Marsinah serta tangkap otak pembunuhan Munir, usut tuntas pelaku kerusuhan mei 1998, pembantaian 1965/66, dan penculikan aktivis.
  5. Tolak Upah Murah dengan mencabut PP Pengupahan, upah padat karya, upah pedesaan, dan kontrak/outsourcing/magang.
  6. Wujudkan kesetaraan di dunia kerja, jamin hak-hak maternitas (cuti melahirkan dan menyusui), dan hapus kekerasan berbasis gender, dan kekerasan seksual.
  7. Wujudkan reformasi agrarian sejati, tidak hanya bagi-bagi sertifikat, tapi juga pemberdayaan petani, teknologi untuk petani, dan kesejahteraan petani.
  8. Wujudkan demokrasi rakyat. Lawan pemberangusan serikat buruh, berikan hak berunding untuk serikat, dan hentikan kriminalisasi aktivis.
  9. Wujudkan jaminan sosial untuk rakyat! Gratiskan pendidikan dan kesehatan berkualitas! Wujudkan perumahan murah untuk rakyat!
  10. Hentikan perusakan lingkungan, hentikan pabrik semen rembang, pembangunan bandara NYIA, penambangan tumpang pitu, save Gunung Slamet, hentikan reklamasi teluk Benoa dan Jakarta!
  11. Bangun industrialisasi nasional!