Karyawan Minta Dialog dengan Direktur Utama LKBN Antara

 

Ketua SP Antara Abdul Gotur

Siaran Pers Serikat Pekerja Antara

Jakarta, 4/12 (Antara) – Karyawan Perum LKBN Antara melakukan aksi pada Selasa (4/12) untuk meminta berdialog dengan Direktur Utama Meidyatama Suryodiningrat setelah rapat Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit antara perwakilan manajemen dengan Serikat Pekerja Antara dan Serikat Pekerja Antara Perjuangan pada Senin (3/12) tidak membuahkan hasil sebagaimana diharapkan karyawan.

“Sebelumnya kami sudah mengirimkan surat beberapa kali meminta pertemuan LKS bipartit untuk membahas beberapa hal terkait dengan hubungan industrial, tetapi tidak pernah mendapatkan tanggapan,” kata Ketua Serikat Pekerja Antara Abdul Gofur di Jakarta, Selasa.

Gofur mengatakan surat yang dilayangkan Serikat Pekerja Antara kepada Direktur Utama antara lain mempertanyakan kenaikan gaji karyawan 2018 yang belum direalisasikan padahal Perjanjian Kerja Bersama sudah mengatur kenaikan gaji setiap tahun, pembayaran jasa produksi yang diwacanakan akan dikurangi, tunjangan masa bakti karyawan yang tidak sesuai Perjanjian Kerja Bersama dan pengangkatan karyawan pekerja waktu tidak tertentu (PKWT) menjadi karyawan tetap dan penandatanganan Perjanjian Kerja Bersama 2018-2020 yang sudah disepakati tim perunding manajemen dan tim perunding serikat pekerja dalam perundingan yang sah.

Surat tersebut tidak mendapat tanggapan dari manajemen, sehingga Serikat Pekerja Antara kemudian mengadakan pertemuan dengan karyawan yang menyepakati untuk kembali menyurati Direktur Utama. Bila setelah dua surat tidak juga mendapat tanggapan, karyawan sepakat melakukan aksi untuk mendorong Direktur Utama melakukan dialog langsung dengan karyawan.

Setelah dua surat tidak ditanggapi dan karyawan sepakat melakukan aksi pada Selasa (4/12), ternyata manajemen mengundang Serikat Pekerja Antara dan Serikat Pekerja Antara Perjuangan untuk melakukan rapat LKS bipartit.

“Namun, alih-alih menanggapi surat dari Serikat Pekerja Antara, manajemen ternyata memiliki agenda sendiri di LKS bipartit, yaitu perubahan sejumlah pasal yang ada dalam Perjanjian Kerja Bersama yang sudah disepakati tetapi belum ditandatangani,” jelas Gofur.

Gofur mengatakan naskah Perjanjian Kerja Bersama 2018-2020 telah disepakati dalam rapat finalisasi di Ancol pada 29 September 2017. Namun, meskipun sudah ditanyakan berkali-kali manajemen tidak pernah bisa memberikan kepastian kapan akan ditandatangani.

“Bukannya ditandatangani, tim manajemen malah meminta perubahan sejumlah pasal dalam LKS bipartit. Padahal, LKS bipartit hanyalah forum komunikasi dan dialog, bukan perundingan,” katanya.

Serikat Pekerja Antara menolak mengubah pasal-pasal dalam Perjanjian Kerja Bersama yang sudah disepakati dan menawarkan opsi konkret bersedia membahas perubahan pasal bila Perjanjian Kerja Bersama ditandatangani terlebih dahulu untuk memberikan kepastian kepada karyawan.

Namun, ternyata tim manajemen lebih memilih menyelesaikan persoalan itu melalui LKS tripartit dengan pihak ketiga sebagai mediator.

Setelah membawa permasalahan Perjanjian Kerja Bersama ke LKS tripartit disepakati, Serikat Pekerja Antara meminta LKS bipartit saat itu untuk membahas surat yang diajukan kepada Direktur Utama terkait gaji, jasa produksi, tunjangan masa bakti dan PKWT, tetapi tim manajemen menolak karena tidak mendapatkan mandat untuk membahas hal itu.

“Kami menganggap pembahasan terutama tentang kenaikan gaji sangat penting karena ditunggu-tunggu oleh seluruh karyawan. Saat ini terjadi kesenjangan antara pendapatan karyawan dengan pendapatan dan fasilitas yang diterima direksi dan dewan pengawas,” jelas Gofur.

Karena itu, pada Selasa (4/12), karyawan Perum LKBN Antara melakukan aksi di dalam kantor di Wisma Antara untuk meminta Direktur Utama Meidyatama Suryodiningrat untuk berdialog langsung dengan karyawan.

Gofur mengatakan permintaan dialog langsung ini dilakukan karena perwakilan manajemen di LKS bipartit dinilai tidak bisa memberikan kepastian kepada karyawan.

“Bila permintaan ini tidak juga ditanggapi, kami meminta Kementerian BUMN untuk mengevaluasi direksi yang tidak mengedepankan dialog dengan karyawan, tidak menghargai kesepakatan yang sudah dilakukan manajemen dengan karyawan dan melanggar sejumlah pasal dalam Perjanjian Kerja Bersama,” pungkasnya. (*)