Nelson Saragih: HRD yang Jadi Satpam dan Penggerak Pemogokan


 

Pada 2008, Nelson Saragih merupakan staf personalia atau Human Resource Department di perusahaan multinasional bergengsi, PT Tanjungenim Lestari Pulp and Papper. Tapi, pencapaian 15 tahun karir itu ludes karena keterlibatannya di serikat pekerja. Jabatannya merosot tajam dalam hirarki perusahaan menjadi satpam.

Perkara bermula dari keputusannya “ikut-ikutan” menjadi anggota serikat pekerja. Ketika itu baginya tak ada argumen khusus untuk berserikat, dan jangan juga dicari-cari paparan yang mendalam. Seorang sahabatnya, Irzan, yang tak lain ketua serikat buruh, mengajaknya bergabung. Organisasi yang baru terbentuk tersebut kekurangan tenaga. Nelson mengiyakan ajakan, dalihnya sekedar “ikut-ikutan”.

Beberapa orang memang menemukan jalan perjuangan melalui proses terjal, heroik dan keras. Beberapa yang lain mendapati dunia pergerakan bak ayunan kaki nan santai di minggu pagi. Nelson mungkin salah satunya.

Ketika masih menjabat staf HRD, Nelson Saragih mencoba menengahi kepentingan pengusaha dan buruh. Semula Nelson bermaksud menjalankan peran secara “seimbang”, menjembatani kepentingan pengusaha dan pekerja. Seringkali ini menjadi motif paling polos dalam memahami konflik kelas buruh dan kapitalis.

Seiring berjalannya waktu, Nelson lantas menyaksikan pemodal tak pernah bersungguh-sungguh membuat hubungan dengan pekerja menjadi “seimbang”. Mereka melancarkan hal-hal manipulatif secara intens. Ketika persoalan ketidakadilan ini ditunjukkan ke muka pemodal, malah kemarahan yang dituai Nelson. Manajemen menjatuhkan sanksi karena ia dianggap berpihak pada pekerja.

“Aku dipindahkan menjadi satpam”, kenangnya.

Perlakuan sewenang-wenang pemilik modal itu menjadi titik balik perjalanan hidupnya. Semenjak itu pria kelahiran tahun 1967 tersebut memutuskan menceburkan diri lebih dalam ke pusaran gerakan buruh. Apa yang secara filosofis dia nyatakan sebagai,

“Lakukan panggilan kita dan bantu orang lain menemukan panggilannya…”

Seorang pejuang tidak menjadi pejuang sejak hari pertama. Usai periode “ikut-ikutan” berlalu, Nelson tak bisa lagi tidak, kecuali menyaksikan persoalan perburuhan adalah masalah yang serius belaka.

Mengail Kesabaran dan Ketekunan dari Kolam Pancing

Saya berjumpa dengannya di bilangan Medan Merdeka Barat. Ketika aksi nasional Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI) dihelat, di muka gedung Radio Republik Indonesia kami berkesempatan bersua kenal. Untuk kali pertama, saya berjabat tangan dengan sosok bapak satu orang anak ini. Sebelumnya kami hanya menyambung pembicaraan lewat ponsel. Bertukar kata dan wacana secara terbatas.

Tidak serupa air mukanya yang sekilas terkesan gahar, pria kelahiran Pematang Siantar ini sosok yang terbilang ramah. Hangat bersikap, kesahajaan menjejak dalam gerak tubuhnya.

“Eeeh bung yang rajin menulis itu ya…”, ujarnya teriring senyum mengembang, sembari disempatkan menepuk pundak saya.

Nelson Ferdinand Saragih, nama lengkapnya. Putera Batak dari tujuh bersaudara. Ayahnya pegawai negeri sipil yang bekerja untuk Lembaga Pemasyarakatan. Ibunya, perempuan yang mengatasi semua pernak-pernik urusan rumah tangga dengan cekatan dan ulet.

Masa kecil Nelson mula-mula dihabiskan di Tangerang. Sejak menempuh pendidikan SMP dan SMA dia pindah ke Bandar Lampung. Saat bocah, Nelson sangat gemar memancing. Ketika bermukim di Tangerang, hari-hari senggangnya kerap dihabiskan untuk menyalurkan hobinya itu di empang dan sungai. Pun ketika pindah ke Lampung, kegemarannya sama sekali tak bergeser.

Di Lampung, pelabuhan menjadi tujuan favoritnya. Dia bisa tepekur berjam-jam demi menanti ikan menyangkut ke kail. Darisanalah Nelson remaja banyak belajar tentang makna kesabaran, tekad dan proses mencapai tujuan. Tiga hal yang kelak diperlukannya dalam gerakan buruh.

Selepas kuliah, pekerjaan pertama dijalani Nelson di PT Golden Adishoes yang memproduksi sepatu Reebok. Di pabrik yang berlokasi di Cikampek tersebut dia berposisi sebagai staf HRD. Itu adalah tahun 1993, ketika Nelson muda kali pertama menjual tenaganya sebagai pekerja upahan. Posisi sebagai HRD ini lah yang kelak dia geluti diberbagai perusahaan tempatnya bekerja.

“Ya, aku sudah menjalani semua bagian di HRD. Rekrutmen, training, karir, pengupahan, penilaian kinerja, perencanaan tenaga kerja dan terakhir hubungan industrial.”


Terlatih dari Pemogokan ke Pemogokan

Tak butuh waktu lama hingga konflik kelas itu pecah dan membuahkan pemogokan. Pada tahun 2011, Nelson terlibat pemogokan hampir seribu buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja PT. Tanjung Enim Lestari (TEL) Pulp and Paper, di Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan. Buruh-buruh menuntut kenaikan gaji dan kesejahteraan. Pemogokan berlangsung selama tiga hari dan berpangkal kemenangan. Pemogokan ini menarik atensi dan pemberitaan media nasional.

Dua tahun berselang, pemogokan tenaga sekuriti menyeretnya dalam marathon perlawanan. Ini adalah pemogokan yang panjang. Dua bulan lamanya. Mogok kerja dipicu sikap PT. Tangkas, outsourcing keamanan PT. TEL, yang melanggar Persetujuan Bersama. Pelanggaran yang tidak kunjung selesai membuat seluruh tenaga sekuriti murka. Sejumlah lebih dari 300 orang bersepakat untuk membulatkan tuntutan, “usir Tangkas!”. Pemogokan yang berlangsung selama bulan Februari dan Maret tahun 2013 ini mengguratkan kesan sangat dalam di lubuk hati Nelson. Dia mengingatnya, tanpa luntur.

Nelson Saragih, salah satu pendiri Federasi Serikat Pekerja Pulp Dan Kertas Indonesia ( FSP2KI ). Delapan belas tahun telah berlalu sejak rencananya “sekedar ikut-ikutan” di serikat buruh, Nelson tak jemu-jemu mengemban beragam tugas organsisasi. Ketua bidang Pendidikan SPPT Tel, Penasehat SPPT TeL, Sekjen FSP2KI, Penasehat FSP2KI dan belum lama ini ketua Bidang Hukum dan Advokasi KPBI. Kini, Bang Nel hampir menginjak usia 52 tahun. Dan dia masih bersama kelas buruh.


***