Argumen Hukum Mahkamah Agung Hapus Upah Proses Buruh
“Dalam hal terjadi perubahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), pekerja tidak berhak atas upah proses apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)” (Surat Edaran Mahkamah Agung 3 tahun 2018)
Mahkamah Agung (MA) merupakan lembaga tinggi negara, setingkat DPR dan lembaga kepresidenan. Lembaga yudikatif ini menaungi peradilan di Indonesia. Namun, MA tidak mencakup kejaksaan yang berada di bawah pemerintah atau eksekutif. Oleh karena itu, MA menaungi para hakim-hakim. Semua hakim, termasuk hakim Pengadilan Hubungan Industrial, merupakan bagian dari MA. MA merupakan lembaga yang menentukan nasib seorang hakim. Lembaga ini mengatur pemberhentian hakim, kenaikan karir hakim, dan penempatan tugas hakim.
Mengenal Surat Edaran Mahkamah Agung
Untuk mengatur urusan internalnya, MA mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung atau SEMA. SEMA ini termasuk memberikan panduan bagi hakim dalam memutus perkara, termasuk soal upah proses. Ia menyodorkan penafsiran-penafsiran atas sejumlah regulasi.
Apakah SEMA Termasuk Peraturan Perundang-Undangan?
Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Ketentuan diatas tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa Surat Edaran termasuk salah satu jenis peraturan perundangan-undangan. Beberapa ahli berpendapat bahwa Surat Edaran bukan peraturan perundang-undangan melainkan peraturan kebijakan. Surat Edaran merupakan instrument administratif yang bersifat internal, ditujukan untuk memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai suatu norma peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.
Hakim Pengadilan Hubungan Industial dalam memutuskan perkara berpedoman pada Surat Edaran Mahkamah Agung karena itu sangat penting untuk memperhatikan isi surat Edaran dalam berperkara di Pengadilan Hubungan Industrial.
Apa yang terjadi jika hakim tidak taat pada SEMA tersebut? Jelas, ketidaktaatan ini berpotensi menghambat karir hakim. Hakim juga bisa “dibuang” ke tempat yang jauh dari semula dan di pengadilan dengan kelas yang lebih rendah. Seperti halnya hakim perempuan yang terkenal tegas pada koruptor, Albertina Ho. Hakim yang dikenal memiliki integritas itu dipindahtugaskan dari pengadilan Jakarta Selatan ke Kabupaten Sungai Liat, Bangka Belitung ketika menangani kasus-kasus yang menjadi perhatian publik.
Mengenal SEMA perburuhan tentang upah proses – Update PHI 2018
Sejak tahun 2012 sampai dengan 2018 Mahkamah Agung mengeluarkan rumusan pleno kamar Mahkamah Agung termasuk di dalamnya mengenai kamar perdata khusus pengadilan hubungan industrial. Keputusan itu di antaranya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 (SEMA 3/2018). SEMA ini menjadi perhatian khusus dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia karena membatasi pembayaran upah proses. Upah proses adalah upah yang harus dibayarkan pengusaha selama perkara PHK belum berkekuatan hukum tetap atau vonis akhir. Sebab, UU 13/2003 tentang Ketanagakerjaan mewajibkan baik pengusaha dan buruh untuk melaksanakan kewajiban hingga vonis berkekuatan hukum tetap.
Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA 3/2018 Tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, tanggal 16 November 2018.
Rumusan Hukum Kamar Perdata Khusus Pengadilan Hubungan Indutrial pada SEMA 3/2018 adalah:
1. Hak Pekerja Atas Upah Proses
Dalam hal terjadi perubahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), pekerja tidak berhak atas upah proses apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
2. Gugatan Perselisihan Hubungan Industrial yang memuat dalil Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Posita gugatan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) yang memuat dalil Perbuatan Melawan Hukum (PMH) tidak menyebabkan gugatan PHI menjadi kabur (obscuur libel) sepanjang dalam posita dan petitum menitik beratkan pada alasan Perselisihan Hubungan Industrial.
3. Upaya Hukum Perselisihan Hubungan Industrial
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial dalam perkara perselisihan kepentingan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap, sedangkan putusan mengenai perselisihan hak dan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dapat diajukan kasasi sebagai upaya hukum terakhir Pasal 56, Pasal 57, Pasal 109 dan Pasal 110, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga dalam perkara Perselisihan Hubungan Industrial tidak ada upaya hukum Peninjauan kembali.
Mengenai upah proses pada SEMA 3/2018 adalah tidak memberikan hak atas upah proses bagi pekerja/buruh PKWT (karyawan kontrak) yang berubah menjadi PKWTT (karyawan tetap) bila di-PHK. Hal ini menimbulkan kerugian dan ketidak adilan bagi buruh. Timbulkan pertanyaan sejak kapan PKWT berubah menjadi PKWTT? Bila merujuk pada Pasal 59 ayat (1) UU 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan maka seharusnya PKWTT diperhitungkan sejak adanya hubungan kerja, sebagaimana terlihat pada kata “demi hukum” pada pasal dimaksud. Bila dilihat dari putusan-putusan PHI maka terhadap perubahan PKWT menjadi PKWTT dan pekerja di PHK maka hakim memutuskan untuk membayar pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang dihitung sejak terjadinya hubungan kerja.
Dengan demikian SEMA 3/2018 tidak konsisten dalam menentukan sejak kapan terjadi perubahan PKWT menjadi PKWTT yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. PKWTT dihitung sejak adanya putusan hakim maka pekerja tidak berhak atas upah proses.
2. PKWTT dihitung sejak adanya hubungan kerja maka pekerja berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
Masih segar juga dalam ingatan kita bahwa sebelumnnya Mahkamah Agung melalui SE 3/2015 membatasi hakim untuk memutuskan upah proses paling lama 6 bulan padahal Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 37/PUU-XI/2011 memutuskan bahwa upah proses dibayarkan sampai putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Mengenai gugatan Perselisihan Hubungan Industrial yang memuat dalil Perbuatan Melawan Hukum (PMH) tidak menyebabkan gugatan menjadi kabur (obscuur libel) sepanjang posita dan petitumnya menitikberatkan pada alasan perselisihan hubungan industrial, adalah sudah tepat karena tidak ada alasan bagi hakim untuk memutuskan gugatan tidak dapat diterima (NO-Niet Ovankelijke Verklaard) sementara posita dan petitum sudah jelas-jelas menitik beratkan pada alasan perselisihan hubungan industrial bukan perbuatan melawan hukum (PMH). Hal ini juga sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya murah.
Mengenai tidak ada upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) pada perselisihan hubungan industrial tampaknya Mahkamah Agung menggunakan asas lex specialis derogat legi generali yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Dalam hal ini ketentuan pada UU No. 2/2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengkesampingkan pengaturan tentang PK sebagaimana diatur pada Pasal 67 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Hal ini setidaknya memberikan manfaat untuk mengurangi proses beracara di PHI dimana kita ketahui lamanya proses berperkara antara lain adalah karena upaya PK yang dilakukan pihak yang kalah untuk memperlambat eksekusi.
Kesimpulan:
Perubahan PKWT menjadi PKWTT yang mana pekerja yang di PHK tidak berhak atas upah proses adalah bertentangan dengan hukum dan keadilan.
Nelson F. Saragih
Posting Komentar