Kado Kemerdekaan Untuk Perusahaan Outsourcing!

 


Catatan Pagi...

Menteri Ketenagakerjaan telah menandatangai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenker) No. 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, tanggal 1 Agustus 2019 lalu. Peraturan ini mulai berlaku sejak diundangkan yaitu tanggal 5 Agustus 2019.

Setelah membaca Permenaker no. 11 Tahun 2019 ini, saya menilai proses perijinan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan perusahaan pemborongan (selanjutnya disebut perusahaan outsorcing atau perusahaan OS) yang dilakukan secara elektronik atau via online single submission adalah hal yang baik, sehingga proses perijinan manual benar-benar diminimalisir. Saya kira kemajuan teknologi memang harus berdampak positif terhadap proses perijinan yang lebih baik.

Namun demikian ada beberapa hal yang perlu dikritisi di permenaker yang baru ini, yang memberikan kemudahan berlebihan untuk proses perijinan perusahaan OS, yaitu, pertama, dihapuskannya ketentuan “draft perjanjian kerja antara perusahaan OS dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya sebagi syarat pendaftaran perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan (user) dengan perusahaan OS, yaitu di Pasal 20 Permenaker no. 11 tahun 2019, yang di Permenaker sebelumnya ada, menjadi celah bagi perusahaan OS untuk tidak melakukan perjanjian kerja dengan pekerja/buruhnya. Adanya ketentuan tentang darft ini menjadi langkah awal bagi Disnaker untuk meriview draft tersebut agar tidak ada pasal yang melanggar. Faktanya saat ini banyak pekerja yang dipekerjakan tanpa perjanjian kerja, dan bila ini dihapuskan maka potensi terjadi pelanggaran semakin massif. Pekerja yang akan menjadi korban.

Kedua, permenaker yang baru ini lebih “menghaluskan” sanksi yang diberikan. Bila di permenaker yang lama dikenakan sanksi pencabutan ijin operasional maka sanksi di permenaker yang baru ini adalah sanksi administrative yaitu teguran tertulis yang dilakukan sebanyak dua kali, dan pembekuan kegiatan usaha.

Pasal 23 permenaker yang lama, proses pencabutan ijin operasional menjadi kewenangan Dinas Ketenagakerjaaan (Disnaker) Propinsi secara langsung namun pada ketentuan yang baru proses sanksinya melalui sanksi administrative yaitu teguran tertulis yang dilakukan sebanyak dua kali oleh Disnaker propinsi, dan pembekuan kegiatan usaha oleh Menaker RI. Disnaker propinsi tidak berhak lagi melakukan pencabutan ijin operasional, karena itu sudah menjadi kewenangan Menaker.

Selain itu, membaca perubahan di Pasal 23, juga mengubah pengenaan sanksi secara lokasi bukan institusi perusahaan OS secara keseluruhan. Hal ini bisa dilihat di Pasal 23 C yang menyatakan  pembekuan kegiatan usaha untuk waktu tertentu dan di wilayah terjadinya pelanggaran. Jadi sifatnya terlokalisir, padahal pelanggaran yang terjadi biasanya akibat keputusan direksi perusahaan OS, bukan keputusan manager lokal.

Pengalihan kewenangan pemberian sanksi dan melokalisasi penerapan sanksi akan berdampak pada proses pemberian sanksi menjadi lebih lama dan membuka peluang terjadinya ketidakpastian hukum.

Ketiga, di Pasal 24 Permenaker yang baru, ketentuan berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) dihapus dan diganti hanya dengan badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak spesifik berbentuk PT. Demikian juga ketentuan-ketentuan lainnya seperti memiliki tanda daftar perusahaan; memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan; memiliki izin operasional; mempunyai kantor dan alamat tetap; dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan, dihapus di ketentuan yang baru. Tentunya tidak diwajibkan hal-hal tersebut di atas akan membuka peluang pengelolaan perusahaan OS dilakukan sekadarnya saja seperti oleh sekelompok pensiunan di sebuah perusahaan.

Keempat, Pasal 25 di Permenaker baru memastikan ijin usaha perusahaan OS berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Bila di permenaker yang lama dimana ijinnya dikeluarkan disnaker propinsi, ijin operasionalnya hanya berlaku di kabupaten/kota di wilayah propinsi tersebut. Dengan ketentuan baru ini maka Disnaker propinsi akan kehilangan kewenangannya melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap perusahaan OS tersebut.

Kelima, Pasal 26 di Permenaker lama yang mensyaratkan ijin operasional berlaku 3 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama DIHAPUSKAN, dan di permenaker yang baru dinyatakan ijin usaha berlaku selama perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh menjalankan usaha.

Tentunya dengan dihilangkannya masa berlaku ijin ini maka proses evaluasi kinerja perusahaan OS akan tidak ada lagi, padahal evaluasi kinerja perusahaan OS menjadi syarat disetujui atau ditolaknya permohonan ijin yang baru, seperti diatur di Pasal 26 yang dihapus tersebut. Penghapusan jangka waktu ini melebihi kebiasaan proses perijinan yang biasa selama ini terjadi, bukankah SIUP, TDP, dan ketentuan lain ada masa waktunya.

Keenam, terkait isi Pasal 27 ayat (3), diketentuan lama menyatakan “Dalam hal perjanjian kerja tidak dicatatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi mencabut izin operasional berdasarkan rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota, NAMUN di Permenaker yang baru hal ini dihapuskan sehingga pelanggaran pencatatan perjanjian kerja tidak ada lagi sanksinya.

Penghapusan sanksi izin operasional tersebut akan berpotensi menyuburkan pelanggaran kewajiban mencatat perjanjian kerja ke instansi ketenagakerjaan. Dan hal ini tentunya akan menyulitkan proses pengawasan dan akhirnya merugikan pekerja lagi.

Dari ulasan di atas, saya menilai Pemerintah cq. Kemnaker RI telah meliberalkan proses pengurusan ijin perusahaan OS, yaitu dengan sangat mudah sekali, yang tidak ada lagi jangka waktu ijin, menghapus persyaratan di Pasal 24, dsb.

Dengan proses liberalisasi ini maka akan berdampak negatif terhadap proses pelaksanaan sistem kerja OS yaitu, pertama, akan muncul semakin banyak perusahaan OS yang tidak berkualitas sehingga terjadi persaingan tidak sehat di komunitas perusahaan OS. Dengan bermodalkan relasi dan modal dana ala kadarnya akan banyak muncul perusahaan OS yang tidak profesional sehingga mengganggu perusahaan OS yang memang benar-benar profesional.

Kedua, dengan potensi munculnya perusahaan OS yang ala kadarnya tersebut maka perusahaan penyedia pekerjaan (user) akan berpotensi kena “getahnya”, akan digugat oleh pekerja OS karena ketidakpastian perusahaan OS yang menjadi mitranya.

Ketiga, proses evaluasi dan pengawasan ketenagakerjaan akan dibatasi sehingga mendorong percepatan ketidakpatuhan pengusaha OS terhadap ketentuan ketenagakerjaan yang ada. Saat ini saja pengawasan ketenagakerjaan masih sangat lemah, apalagi dengan ketentuan baru ini, akan semakin paripurnalah kelemahan pengawasan ketenagakerjaan kita.

Keempat, akibat dari keseluruhan tersebut maka pekerja/buruh menjadi korban paripurna di perusahaan OS.

Seharusnya Pak Menteri membuat regulasi yang memastikan perusahaan OS menjadi profesional dan berkualitas sehingga ekosistem ketenagakerjaan di perusahaan OS menjadi baik. Lahirnya Permenaker no. 11 Tahun 2019 ini sepertinya luput dari “kesadaran” teman-teman LKS Tripartit dari unsur SP/SB.

Permenaker No. 11 tahun 2019 ini merupakan “kado” kemerdekaan dari Kemnaker RI kepada perusahaan OS, yang diberikan kemerdekaan lebih merdeka lagi. Kado kemerdekaan untuk buruh apa dong, ya kadonya adalah penangkapan 21 aktivis buruh kemarin, yang ingin mendatangi Gedung MPR/DPR/DPD sebagai rumah rakyat namun ditolak.

Semoga Permenaker baru ini dikaji ulang dengan pembahasan yang melibatkan juga SP/SB, sehingga Permenaker yang baru tersebut mampu mewujudkan SDM Unggul dan Indonesia Maju. Selamat HUT ke-74 Republik Indonesia. Dirgahayu Indonesia.


Pinang Ranti, 17 Agustus 2019.

Tabik,

Timboel Siregar.