Cerita dari Serbuk SICP Karawang: 'Kalau Kami Ngopi, Kenapa Kalian Panik?'

Melalui rapat anggota dan koordinasi dengan Federasi, akhirnya serikat memutuskan untuk menggelar konsolidasi yang lebih luas dengan anggota di pabrik

Cerita ini tentang basis Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) Indonesia PT Siamindo Concrete Products (SCIP), terkait upah sektoral yang dituntut para buruh. Perusahaan, berkali-kali mengabaikan permohonan serikat untuk berunding, bahkan menolak.


“Kami sudah mengupayakan jalan perundingan, mengirimkan surat, dan meminta mereka berunding,” tegas Asep Ahmad, Ketua SERBUK SICP. Menurutnya, perusahaan bukan hanya kali ini saja mengabaikan serikat. Sejak lama, perusahaan juga menolak permohonan perundingan yang diajukan untuk membahas pasal-pasal dalam perjanjian kerja bersama (PKB). “PKB, malah sudah tiga tahun diabaikan,”ujar Kirman, Ketua SERBUK SICP sebelum dijabat Asep.

PT SICP, merupakan perusahaan yang memproduksi atap asbes bergelombang, beroperasi sejak 1997. Pada 2012, para buruh yang berstatus harian (daily workers) melakukan aksi mogok kerja, melumpuhkan operasional perusahaan. Tuntutannya agar perusahaan mengangkat mereka menjadi pekerja permanen di perusahaan, sesudah 14 tahun nasibnya tidak jelas. Pemogokan selama empat jam, akhirnya memaksa perusahaan memenuhi tuntutan. Kemenangan lain, seiring dengan pengangkatan tersebut, para buruh mendapatkan fasilitas lainnya, meliputi upah sesuai Upah Minimum Kabupaten (UMK), seragam,bonus tahunan, tunjangan hari raya (THR), dan hal normatif lainnya.

Berkaitan dengan tuntutan upah yang diajukan serikat, pada 2019, perusahaan juga melakukan pengabaian. “Mereka selalu mengatakan tunggu keputusan Bupati Karawang,” jelas Asep kesal. Perusahaan berlindung dalam ketentuan yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Pasal 49, PP 78 tahun 2015 menyatakan bahwa Gubernur dapat menetapkan Upah minimum sektoral provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan hasil kesepakatan asosiasi pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh pada sektor yang bersangkutan, dan ketika tidak ada perundingan pada Dewan Pengupahan Kabupaten Karawang, perusahaan menjadikan alasan tersebut untuk menghindar. “Dengan alasan ini, perusahaan hanya menawarkan kenaikan sebesar Rp. 250 rupiah saja,” ujar Asep.


Iwan Sutisna, Ketua Departemen Hukum dan Advokasi Federasi SERBUK Indonesia menyatakan bahwa perusahaan tidak konsisten dalam menerapkan ketentuan PP 78/2015. Menurutnya, sesuai dengan pasal 14 PP 78/2015, Perusahaan wajib menyusun struktur pengupahan. “Struktur pengupahan, sebenarnya memberikan peluang kenaikan upah yang lebih bagus bagi buruh, tapi pengusaha tidak melakukan,” tegas Iwan. Lebih lanjut, menurut Iwan, perusahaan yang abai terhadap penyusunan struktur dan skala upah, diancam dengan sanksi administratif, antara lain: teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, pembekuan kegiatan usaha.

Melalui rapat anggota dan koordinasi dengan Federasi, akhirnya serikat memutuskan untuk menggelar konsolidasi yang lebih luas dengan anggota di pabrik. “Kami menggagas aksi dengan mengundang seluruh anggota, ngopi bareng di depan gerbang pabrik, setiap sore sepulang kerja,” ujar Kirman menjelaskan tentang aksi di pabrik.

Aksi yang sudah dilaksanakan selama beberapa hari, akhirnya membuat perusahaan melayangkan ajakan berunding. Tetapi, bukan segera menetapkan kenaikan upah sesuai tuntutan serikat atau menawarkan penyusunan struktur upah di perusahaan, perusahaan –melalui pengacaranya- justru memproptes aksi serikat. “Mereka minta aksi ngopi bareng dihentikan karena membuat perusahaan panik,” ujar Asep.

Aksi sudah digulirkan, konsolidasi sudah dijalankan. Hanya ada satu pilihan, berjuang merebut hak atau akan tertindas. Sebenarnya, kalau perusahaan kooperatif dengan serikat, solusinya sederhana saja, berunding dengan bermartabat dan segera penuhi tuntutan kenaikan upah. Ngopi di gerbang pabrik, akan terus berlangsung, selama perusahaan abai.