Selamat Jalan, Irfa.


 Namanya Irfa, perempuan berusia 29 tahun. Buruh perempuan pada pabrik garmen di kota kecil, Temanggung; bertetangga dengan rumah Ibuku. Saya mengetahui bagaimana Irma kecil lahir, tumbuh dalam masa kanak-kanak, bersekolah, dan kemudian menikah. Lalu, saya mendapatkan banyak cerita dari adik saya, yang juga bekerja dalam pabrik yang sama.

Cerita di pabrik itu, tentu saja tak bahagia. Berangkat ketika matahari belum nampak dan pulang ketika matahari juga tak nampak. 12 jam, bahkan lebih. Beban kerjanya tak usah ditanya, kurang istirahat, kurang minum, kurang istirahat, dan segudang duka lainnya. Kontraknya diperbarui setiap dua tahun, kalau kurang beruntung diputus semaunya mandor, atas perintah bos besar. Alasannya bermacam rupa. Bisa karena dianggap malas, bisa karena dianggap tidak produktif, bisa juga karena alasan lainnya, seperti mulai banyak bertanya dan banyak mengeluh. Lalu, bisa dibungkus dengan alasan klasik: order berkurang. Lingkaran setannya, ada di situ-situ saja.

Buruh-buruh perempuan di pabrik garmen itu, tak punya kuasa dan daya. Pernah beberapa kali, saya mendengar Mereka saling berkeluh kesah, lalu sekali dua kali saya menimpali. Tapi, buru-buru mereka mencegah ketika saya mulai berkomentar lebih jauh. Mereka tahu, saya terlibat aktif dalam berbagai advokasi buruh, mereka tak mau diadvokasi. Lebih tepatnya, tak mau kehilangan pekerjaan. “Biarlah, upah kecil, yang penting ada hasil,” timpal mereka.

Cerita itu, berlalu terus menerus. Setiap saya pulang ke Temanggung, setiap saya bertelepon ke rumah Ibu, atau berbagi kabar dengan mereka, ceritanya selalu sama. Tapi, tak berdaya. Sama, saya juga tak berdaya. Lalu, melalui cerita mereka, saya menemukan semacam refleksi kisah. Orang-orang itu, tak mau berjuang bukan karena tak mau berubah nasibnya, tapi karena ketertakutan kehilangan pekerjaan. Uang! Lalu, pada sebuah catatan kecil saya menulis, berubah, bukan sekedar keberanian individu, tapi membangkitkan kesamaan nasib pada kolektif. Itu titik terberat dalam berserikat.

Hari ini, 2 Januari 2020, 21:06, ketika baru saja hujan menyapu pepohonan di pelataran rumah, sebuah pesan WhatsApp masuk. Dari adik saya di Temanggung: Irma meninggal. Saya lemas, meletakkan handphone, dan tak mampu berkata-kata. Hanya bergumam, entah apa. Seperti tertampar, terlempar, terhempas. Tak berdaya. Benar-benar tak berdaya!

Saya mengingat, beberapa hari sebelumnya, pada Sabtu sore,saya mendengar kabar bayinya meninggal, tak lama setelah dilahirkan. Pada adik saya, saya bertanya, apakah dia masih bekerja ketika hamil? Tak ada cuti? Tak cukup istirahat? Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya lebih mirip ‘interogasi’….. Semua jawaban, membuat saya miris. Saya menduga-duga, salah satu faktor, kalau bukan faktor terbesar, kelelahan tentu menjadi penyebabnya… Sebuah kabar duka yang menyayat. Lima hari berikutnya, kabar duka lara yang lebih menyayat itu harus saya dengar. Kesehatan reproduksi bagi perempuan di pabrik garmen (dan pabrik lainnya) menjadi barang langka. Sesudah cuti haid dihalangi, cuti melahirkan juga tak lagi berharga.

Lalu, sesudah ini apa? Sungguh, PR kita terlalu banyak.

Selamat jalan Irma, maafkan kami yang selalu tak berdaya.

Jakarta, 3 Januari 2020, 00:31.

Duka buat Irfa.

Khamid Istakhori