Refleksi May Day 2020: Ke Mana Suluh Penuntun Gerakan Buruh Hari Ini?

 


May Day atau peringatan hari buruh internasional yang jatuh pada 1 Mei, diperingati setiap tahun oleh klas pekerja di Dunia sebagai manfestasi atas nilai juang klas pekerja dalam menuntut 8 jam kerja. 8 jam kerja dalam sehari, menjadi tonggak terbebasnya manusia dari perbudakan yang sebelumnya mendera. Jauh sebelum itu, kaum pekerja dipaksa bekerja dalam jam kerja panjang, 16 bahkan hingga 18 jam kerja sehari. Jadi, bisa dikatakan, monumen 8 jam kerja menjadi kemenangan fenomenal bagi klas pekerja sedunia. Sisanya, 8 jam digunakan untuk beristirahat dan 8 jam untuk bersosialisasi.

8 jam kerja itu juga, yang apabila ditelusur lebih dalam, akan menjadi legitimasi atas hak upah yang lebih layak. Bukan saja perhitungan upah, tapi juga dalam menghitung upah lembur. Dan apabila kita bandingkan dengan kondisi sekarang, sebenarnya kondisinya sedang mengalami penurunan yang sistematis. Sebagai contoh, pengalaman SERBUK Indonesia mengorganisir pekerja konstruksi di proyek infrastruktur PLTU Sumsel 1 di Muara Enim. Para pekerja di sana mengalami jam kerja yang panjang. Tidak ada hari libur dan upahnya dihitung per jam; hanya sebesar lima belas ribu rupiah saja. May Day, yang sebentar lagi akan kita peringati dalam situasi pandemi global Covid-19 ini, rasanya menjadi perenungan penting bagi kita, kenapa kita selalu kalah?

Kalau ada pertanyaan, di mana pertama kali peringatan hari buruh di Asia diperingati? Sejarah akan memberikan jawaban: Indonesia. Negeri yang kala itu masih di bawah kekuasaan kolonialisme Belanda itu, sudah menggelar peringatan May Day pada 1 Mei 1920. Dikutip dari Tirto.id, disebutkan bahwa menjelang peringatan May Day 1 Mei 1918, tokoh sosialis Belanda yang juga merupakan anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) Adolf Baars berpendapat seluruh pabrik gula di Jawa adalah milik sekelompok kecil orang yaitu kaum kapitalis. Mereka menghisap rakyat dengan hanya membayar upah yang sangat kecil, menyewa tanah untuk perkebunan, dan memaksa buruh bekerja dalam tekanan besar.

Semaun, pada 1 Mei 1918 juga menulis di Sinar Hindia, sebuah tulisan berjudul “Bestuurstelsel dan Demokratie” yang menyebutkan bahwa anggota parlemen Belanda Tweede Kamer memiliki interest atas pabrik-pabrik gula tersebut. Pada intinya, kongkalikong pemerintah Belanda, pemodal, dan dengan dukungan parlemen, melanggengkan kekuasaan untuk mengakumulasi kekayaan. Apa bedanya dengan situasi sekarang, ketika Omnibus Law dipaksakan?

Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara, yang di kemudian hari menjadi Menteri Pendidikan Pertama Indonesia, kemudian memberikan sumbangsihnya ketika menerjemahkan “Internationale” ke dalam bahasa Melayu. Internationale, sebagai lagu kebangsaan kaum miskin sedunia, kemudian dinyanyikan dalam peringatan May Day Pertama pada 1 Mei 1920, dalam arak-arakan yang diikuti dengan pengibaran bendera merah, simbol keberanian dan perlawanan. Babak baru sejarah perlawanan dimulai.

May Day pada Era Soekarno

Lebih tegas, Soekarno mematerialkan peringatan May Day sebagai hari libur resmi melalui UU Kerja No. 12 Tahun 1948, pada pasal 15 ayat 2, dinyatakan bahwa “Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban kerja.” Peraturan tersebut, menjadi dasar atas peringatan May Day setiap tahunnya. Artinya, sudah sejak lebih dari 90 tahun yang lalu May Day telah diakui sebagai harinya kaum buruh di Indonesia.

Dalam catatan sejarah, pada masa pemerintahan Soekarno, setidaknya dalam dua kali peringatan May Day Soekarno memberikan pidatonya. Pertama, pidato Soekarno terjadi pada 1 Mei 1946 di Yogyakarta dan kedua pada 1 mei 1962 di Istana Negara, Jakarta. Pernyataan Presiden Soekarno menyiratkan arti pentingnya perayaan hari buruh. Perjuangan kaum buruh membawa hasil yang dinikmati oleh masyarakat luas.

Simak, apa yang digelorakan oleh Soekarno pada peringatan May Day 1962 berikut: “Perajaan hari internasional buruh 1 Mei bukanlah perajaan Komunis, tetapi perajaan oleh seluruh kaum buruh internasional. … Ja, untuk merajakan kemenangan ini, bahwa kaum buruh dapat mentjapai djam kerdja satu hari 10 djam, jang tadinja sampai 18-19 djam sebagai hasil daripada perdjuangan kaum buruh jang bersatu, bahkan sebagai hasil daripada perdjuangan kaum buruh internasional, maka ditetapkan 1 Mei sebagai satu hari internasional.”

Dalam pandangannya, Soekarno menegaskan bahwa Revolusi Indonesia tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sejarah pergerakan buruh. Masa penting perjalanann perjuangan anti kolonialisme terjadi dengan diiringi kesadaran untuk membangun gerakan politik massa dan jumlah kaum buruh yang sangat besar kala itu. Soekarno menegaskan bahwa kehadiran gerakan buruh adalah perkembangan yang menakjubkan dalam suasana revolusioner di Indonesia.

Bersama tokoh-tokoh penting gerakan buruh kala itu, Soekarno mengedepankan pemikiran-pemikiran progresif. Semua pemikiran besar itu, tentu saja sebagai pengaruh atas pergaulannya yang luas dengan pemimpin gerakan buruh di Eropa seperti Karl Kautsky, Ferdinand Lassalle, Sidney dan Beatrice Webb di Inggris, dsb. Selain itu, Soekarno juga memandu dirinya dengan teori revolusioner mulai dari Pieter Troelstra di Belanda, Jean Jaures di Perancis, hingga Lenin, Stalin, dan Trotsky di Rusia. Ide-ide besar Soekarno, semakin terasah dalam sebuah tulisan berjudul “Bolehkan Sarekat Sekerja Berpolitik?” Tulisan tersebut menjadi semacam jawaban atas pemikiran yang hendak memisahkan gerakan buruh dari politik. Lebih jauh lagi, Soekarno juga mengatakan, jika kaum buruh menginginkan kehidupan yang layak, naik upah, mengurangi tempo-kerja, dan menghilangkan ikatan-ikatan yang menindas, perjuangan kaum buruh harus bersifat ulet dan habis-habisan. Jika perubahan nasib menjadi tujuan utama gerakan buruh, tak ada jalan lain kecuali memusatkan kekuatannya pada serikat buruh dan membangkitkan kekuasaan politik di dalam perjuangan. Tidak ada kompromi dalam perjuangan massa aksi sebagaimana ditegaskan dalam pidatonya,”Politik minta-minta satu kali akan berhasil, tetapi sembilan puluh sembilan kali niscaya akan gagal”.

May Day Era Soeharto

Zaman Soeharto, May Day menjadi aksi yang dilarang; dianggap aktivitas subversif, karena May Day selalu dikonotasikan dengan ideologi komunis. Tuduhan Soeharto tentu saja salah, sebab May Day dirayakan dan diperingati banyak negara, tanpa memandang ideologi Negara. Banyak negara yang menetapkan 1 Mei sebagai peringatan hari buruh. Alasan penting Soeharo melarang peringatan May Day, tentu saja karena ketakutannya atas kesolidan buruh di Indonesia, terutama perayaan May Day yang bisa mengkonsolidasikan ribuan buruh. Sebagai gantinya, Pemerintah Soeharto menyodorkan peringatan Hari Pekerja Nasional pada 20 Februari, sebagai momentum peringatan ulang tahun Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), satu-satunya wadah perkumpulan buruh yang diakui masa Orde Baru. Pemerintah lalu menetapkan hari lahirnya SPSI sebagai Hari Pekerja Nasional.

Dualisme peringatan 20 Februari vs 1 Mei tentu saja membingungkan, sebab memang sejak awal peringatan Hari Pekerja tidak pernah diniatkan sebagai upaya untuk menunjukkan keberpihakan pada kesejahteraan pekerja Indonesia. Tanggal 20 Februari secara politik digunakan untuk menggerus ideologi buruh dan menggantinya dengan peringatan 20 Februari atas berdirinya FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia), di tahun 1973. FBSI sendiri, merupakan peleburan 21 serikat buruh yang selamat dari pembantaian terhadap aktivis-aktivis buruh yang beraliran kiri atau dianggap beraliran kiri sepanjang tahun-tahun awal berdirinya Orde Baru. Sejak saat itu, ide besar Soekarno yang mendorong buruh harus berpolitik, rontok. Dalam prakteknya, Soeharto justru menjauhkan buruh dari kehidupan politik, dalam arti yang sebenarnya.

Kehadiran FBSI, sedari awal memang dimaksudkan untuk memberangus buruh dan menutup dunia politik bagi buruh. Ideologi yang dikenakan oleh FBSI adalah ideologi kemitraan, yakni antara buruh dan pengusaha harus ada ketenangan, tidak boleh ada konflik. Para pengurus teras FBSI juga selalu merupakan tokoh-tokoh yang dekat dengan militer dan Golkar. Dengan komposisi kepengurusan semacam ini, FBSI juga berfungsi sebagai pendulang suara bagi Golkar dalam tiap pemilu. Di satu sisi melarang buruh untuk berpolitik, di sisi berbeda memobilisasi suara buruh untuk mendukung Golkar.

Apa Kabar May Day Kita Hari Ini?

Sepanjang masa reformasi, meskipun kebebasan berserikat terbuka saat Presiden Abdurrahman Wahid berkuasa ketika Undang-Undang 21 Tahun 2000 diteken pada 4 Agustus 2000. UU 21/2000 memberikan kemudahan bagi buruh untuk membentuk serikat buruh sesuai dengan ide dan gagasannya, tak ada lagi serikat tunggal seperti masa Soeharto. Kemerdekaan berserikat inilah yang mendorong tumbuhnya berbagai serikat dengan warna dan ideologi yang beragam, baik yang tumbuh dari lapangan pengorganisasian maupun yang terbentuk sebagai akibat perpecahan dengan SPSI.

Seiring dengan terbukanya kemerdekaan berkumpul, berpendapat, dan berorganisasi tersebut, penerimaan terhadap May Day sebagai peringatan hari buruh internasional mulai diterima secara luas; bahkan oleh serikat-serikat di bawah afiliasi SPSI yang secara politik awalnya menolak May Day. Perkembangan lain yang cukup menggembirakan misalnya, ketika melihat serikat-serikat SPSI mengusung poster-poster Marsinah sebagai Pahlawan Buruh, padahal, seperti diketahui bersama Marsinah adalah Buruh Perempuan di Sidoarjo yang harus meregang nyawa karena banyak mengkritik SPSI kala itu. Salah seorang organiser buruh yang mendampingi pemogokan Marsinah kala itu Bianto menyebutkan bahwa salah satu alasan terkuat kematian Marsinah karena kritik pedasanya kepada DPC SPSI Sidoarjo yang dipimpin Tentara.

Kepemimpinan Presiden Megawati tidak memberikan warisan berharga bagi gerakan buruh Indonesia meskipun dialah yang paling rajin memajang foto Soekarno dan selalu mengagung-agungkan sebagai keturunan Soekarno. Soekarno tak lebih dipakai hanya sebatas “vote getter” dalam masa pemilu saja. Membangkitkan kenangan masa lalu kejayaan Soekarno sebagai Bapak Bangsa, tapi ajarannya tak lagi dijalankan. Pada masa Megawati, justru lahir Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang kental dengan neoliberalisme. Fleksibilitas tenaga kerja yang menjadi hantu menakutkan bagi buruh justru marak sejak pemberlakuan UU 13/2003, di masa kepemimpinan Megawati.

Beralih kepada Susilo Bambang Yudhoyono, kondisi tak berubah. Meskipun antara Megawati dan SBY terkesan saling berseberangan, pada kenyataannya tidak berbeda dalam menerapkan kebijakan. Upah murah, kontrak outsourcing, PHK, dan pemberangusan serikat pekerja masih sama saja. Kalau kemudian SBY menetapkan 1 Mei sebagai hari libur peringatan Hari Buruh Internasional, banyak kalangan menilai itu dilakukannya semata demi merebut simpati buruh dan mendulang suara menjelang dalam pemilu 2014. Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 24 tahun 2013 tentang Penetapan Tanggal 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional, buruh Indonesia kembali mendapatkan hak yang lama dirampas orde baru.

Di bawah kepemimpinan rezim Joko Widodo, peringatan May Day justru menemukan jalan buntu. Selain melahirkan kebijakan-kebijakan pro investasi dan anti buruh, tercatat pada rezim Jokowi buruh mengalamai hambatan berarti dalam melaksanakan peringatan hari buruh, meskipun sudah menjadi hari libur resmi. Sebut saja pada peringatan May day 2019, untuk pertama kalinya, sepanjang sejarah reformasi, peringatan May Day dihadang tentara dan polisi dan gagal mencapai titik lokasi seberang Istana Presiden. Belum lagi berbagai represi yang terjadi dalam peringatan di berbagai daerah, menambah buruk saja situasi.

Kalau pada May Day 2019 protes didominasi kebijakan pengupahan yang merugikan buruh sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015, memasuki periode kedua kekuasaannya, protes massa banyak diwarnai sebagai wujud penolakan terhadap rencana Pemerintah menerbitkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Sejak awal diwacanakan Jokowi, omnibus law memicu banyak perdebatan di tingkat nasional. Istilah omnibus law di Indonesia pertama kali akrab di telinga setelah pidato pelantikan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019 lalu. Omnibus law ini sejatinya lebih banyak kaitannya dalam bidang kerja pemerintah di bidang ekonomi. Apabila diberlakukan, Omnibus Law dipastikan akan langsung mengamandemen pupuhan UU sekaligus. Pemerintahan Presiden Jokowi sendiri mengidentifikasi sedikitnya ada 74 UU yang terdampak dari omnibus law.

Tarik ulur omnibus law seolah menjadi drama tersendiri, misalnya saja ketika beberapa hari lalu, Jokowi menyatakan menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan dalam Omnibus Law. Hal ini, diapresiasi oleh beberapa serikat pekerja, tapi mendapat penolakan luas. Bagi gerakan buruh Indonesia (secara luas), yang dituntut bukan sekedar menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan atau menghilangkannya, tapi pembatalan Omnibus Law adalah tuntutan utamanya. Protes terus mengemuka sebagai bentuk perlawanan, termasuk hari-hari menjelang May Day 2020 yang tak dapat diperingati dengan turun ke jalan karena situasi pandemi global Covid-19.

May Day yang akan diperingati dengan segala keterbatasannya pada 1 Mei mendatang, juga menjadi semacam penghubung jarak yang semakin jauh dengan ide-ide besar yang pernah digagas Soekarno. Sedangkan Jokowi, yang dalam berbagai kesempatan mengklaim dirinya sebagai penganut Marhaenisme ajaran Soekarno dan secara tegas menyatakan Soekarno sebagai mentornya, justru semakin jauh dari apa yang diajarkan Soekarno.

Jokowi mengagung-agungkan Marhaenisme sebagai ajaran Soekarno yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa dan perjuangan untuk mengangkat kehidupan rakyat kecil yaitu petani dan buruh dari cengkeraman orang kaya dan penguasa, tapi dalam praktiknya dia justru menjalankan nilai-nilai yang ditentang Soekarno. Apa yang diungkapkan oleh tokoh sosialis Belanda yang juga merupakan anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) Adolf Baars yang menyatakan bahwa seluruh pabrik gula di Jawa adalah milik sekelompok kecil orang yaitu kaum kapitalis. Mereka menghisap rakyat dengan hanya membayar upah yang sangat kecil, menyewa tanah untuk perkebunan, dan memaksa buruh bekerja dalam tekanan besar. Bukankah itu semua yang sekarang hendak dibangkitkan kembali oleh Jokowi melalui Omnibus Law?

May Day tinggal dalam hitungan jam, tapi kita, kaum buruh Indonesia seperti didera derita berkepanjangan, bukan saja karena wabah Covid yang melanda dunia dan Omnibus Law yang mengancam, tapi lebih karena kita kehilangan suluh yang menjadi ideologi penuntun gerakan buruh hari ini.

Apa kabar May Day?

Jakarta, 30 April 2020.