Korupsi Menjerat Kehidupan Buruh

(Sebuah catatan pada Hari Anti korupsi)

Oleh: Khamid Istakhori* 

9 Desember 2018, selamat memperingati Hari Anti Korupsi! Sehari lebih awal, kemarin, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menggelar aksi. Tajuknya aksi nasional, yang sudah rutin digelar dua tahun berturut-turut. Karena aksi nasional digelar pada Desember, beririringan dengan momentum besar lainnya, isunya juga beragam; tak sekedar menyuarakan isu sektoral. Sebut saja isu anti kekerasan, penculikan aktivis, kelestarian lingkungan, penegakan HAM, dan juga korupsi.

Bagi kalangan serikat buruh, aksi di luar isu perburuhan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sebut saja, pada 24 Mei 2015, Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) Indonesia menggelar Konser Perlawanan Korupsi di GOR Adiarsa Karawang yang dihadiri tak kurang 3000 orang. Bambang Widjayanto, Komisioner KPK kala itu, memberikan orasi membakar semangat didih para peserta. SERBUK juga senantiasa hadir dalam berbagai aksi, menggalang dukungan dan desakan pada kepolisian atas mandegnya penyelesaian kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.

Korupsi, bagi buruh bukan isu baru. Buruh memaknai setiap upaya majikan dan pemerintah untuk mengubah regulasi, mengurangi hak, melanggar normatif, pasti berpotensi korupsi. Intinya, buruh merasakan jerat korupsi sejak pertama kerja, bahkan jauh sebelumnya, sejak mereka sekolah, yang rata-rata cuma SMA. Tak kuliah karena mahalnya biaya.

Menyambut hari anti korupsi 2018, mendukung pengusutan tuntas kasus penyiraman air keras kepada Novel, mendukung kerja keras KPK dalam menghancurkan setiap perilaku koruptif, berikut sedikit cerita bersumber dari pengalaman nyata buruh perempuan, bekerja di pabrik garmen yang berasal dari Magelang Jawa tengah dan sekarang hidup di Karawang.

Bacalah kisahnya:

Aku Suryanti, seorang buruh perempuan lulusan SMEA di Magelang, Jawa Tengah, numpang hidup di rumah kakak yang bekerja di pabrik kertas di Karawang. Di kotaku minim lapangan pekerjaan. Kalau pun ada, upahnya kecil! Untuk bekerja di kota Karawang, aku harus mengurus surat ijin domisili dan  SKCK di kepolisian, betapa susahnya mengurus dokumen dalam waktu singkat. Maka, untuk mempercepat proses, aku  harus membayar sejumlah uang; uang pelicin pada petugas di kelurahan.

Sesudah itu, atas bantuan tetangga kakakku, aku menemui calo tenaga kerja. Calo ini, biasanya berasal dari: Pegawai Disnaker, orang dalam perusahaan (HRD), aparat desa, tokoh ormas, atau tokoh parpol yang biasanya mendapat koneksi perlindungan dari aparat polisi/tentara yang menjadi keamanan di pabrik-pabrik.  Aku harus menyerahkan uang jaminan sebesar 1-3 juta rupiah, padahal status kerjaku hanya kontrak 3-6 bulan saja. Akhir bulan, aku menerima upah yang jumlahnya dibawah UMK. Sebagai balas jasa, aku masih harus memberikan uang rokok kepada calo.

Dalam bekerja, aku  seharusnya mendapatkan 3 stel baju seragam (gratis), tapi, pada kenyataannya aku  hanya mendapatkan 2 stel saja dan itu dipotong paksa dari upahku. Di tempat kerjaku, seharusnya aku mendapatkan peralatan K3 seperti masker, pelindung mata, sarung tangan, sepatu safety, dll, tetapi semua barang itu tidak ia dapatkan. Sesekali, kalau ada kunjungan dari buyer atau pegawai Disnaker, baru aku memakainya; agar audit berjalan lancar dan aman.

Pada saat aku mengalami haid, sebenarnya hakku dijamin undang-undang, istirahat alias tidak diwajibkan bekerja. Tapi, tetap saja aku  harus bekerja meskipun seluruh badan sakit dan demam. Kenapa aku harus tetap bekerja? Sebab, tidak masuk bekerja karena haid sama saja tidak produktif, dianggap bolos, dan itu artinya kontrakku terancam putus secepatnya. Upahku juga dipotong kalau tidak kerja.

Apabila buruh diketahui hamil, kontraknya diputus sepihak. Alasannya, buruh perempuan yang hamil tak bisa diandalkan kerjanya. Teman-temanku banyak yang mengalaminya. Ketika buruh mengadu kepada serikat, tidak ada solusi. “Terima saja nasibmu, masih untung bisa kerja,” kata pengurus serikat buruh ketika menerima pengaduanku. Sikapnya lembek sebab mereka sudah mendapat berbagai sogokan dan fasilitas bagus dari perusahaan.

Ketika kesadaran buruh mulai tumbuh dan mencari berusaha mencari solusi dengan membentuk serikat buruh yang lebih berpihak, akan berhadapan dengan berbagai halangan. Pendirian serikat buruh akan berujung pemecatan, pemimpinnya bisa “dipolisikan” dengan berbagai tuduhan. Pemidanaan pasti melibatkan aparat. Ketika kegelisahan di pabrik memuncak, biasanya akan terjadi aksi. Di situlah perusahaan akan meminta bantuan aparat untuk meredam aksi dengan tuduhan mengganggu investasi, menurunkan produktivitas, dan mengancam kondusivitas. Sudah bisa ditebak, aparat dibayar untuk melakukan represi.

Ketika buruh tidak puas, pegawai Disnaker akan bilang, “Ke PHI saja, pengadilan akan menyelesaikan masalah kalian.” Masuklah kami pada sistem penyelesian kasus melalui PHI alias Pengadilan Hubungan Industrial. Di sana sudah menghadang hakim yang mudah disogok. Korupsi di pengadilan? Ah itu sudah jamak! Coba ingat baik-baik, ketika Hakim Imas Dianasari ditangkap KPK karena jualan kasus.

Hidup jadi buruh sangat susah. Apalagi buruh perempuan. Beban dan masalahku berlipat. Jam kerja panjang, istirahat kurang, segala rupa dilarang, upahku juga murah. Kenapa upahku buruh? Sebab dalam penyusunannya, ada anggota dewan pengupahan senang berkongkalikong dengan pengusaha dan pemerintah menyepakati UMK yang nominalnya rendah.

Coba hitung, ada berapa jenis korupsi dalam ceritaku di atas?

Selamat  memperingati Hari Antikorupsi. Jangan pernah berhenti melawan korupsi!

 

Jakarta, 9 Desember 2018.

*Penulis adalah Ketua Departemen dan Penelitian Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) Indonesia

(tulisan ini diposting ulang untuk tujuan pendidikan antikorupsi bagi anggota SERBUK)