Sebelah Mata Asisten Rumah Tangga


Oleh : Endang*

Saya lahir di Gunungkidul tahun 1995. Karena keterbatasan biaya, saya tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Jadi saya cuma tamatan SMP.

Lulus sekolah saya cuma di rumah. Sampai suatu hari ada yang menawarkan kerjaan menjadi PRT atau istilah sekarang ART. Katanya kerjaannya enak, hanya nyapu, ngepel, masak, dan menyetrika. Terkait jumlah nominal gaji, awalnya berapa dia tidak bilang. Katanya, tidak tahu jumlah pastinya berapa.

Saya pikir-pikir daripada nganggur di Rumah mau ngapain malah ngrepotin orang tua, Saya terima tawaran menjadi ART. Saya mulai bekerja menjadi ART yang berlokasi di Sleman, Jalan Kaliurang km 4,5. Pada awal bekerja, saya merasa nyaman karena bos atau juragannya baik dan ramah, kerjaan juga sesuai dengan apa yang dijanjikan kepada saya sebelumnya.

Belum genap sebulan bekerja, saya mulai tidak nyaman dikarenakan kerjaan tiba-tiba bertambah melayani pesanan memasak. Di awal, katanya cuma masak buat keluarga. Tetapi ini malah bertambah memasak untuk katering.

Saya memutuskan untuk bertahan bekerja. Mungkin nanti ada tambahan gaji. Tapi menjelang puasa, belum ada tambahan gaji itu dan malah mucul kejutan lagi. Bosnya mendapat pesanan kue kering. Setiap saya selesai bersih-bersih, saya diminta tambahan bekerja untuk membantu proses pembuatan kue keringnya.

Menjelang lebaran, kaki saya sakit bertepatan dengan pesanan kue kering yang dan masih juga ditambah melayani pesanan katering untuk buka bersama. Meskipun kondisi saya demikian, saya masih tetap mengerjakannya.

Saat itu saya tidak mendapatkan pengobatan sama sekali. Saya masih bertahan sampai pada satu malam ketika saya jaga kedai burger bersama teman saya dengan lokasi dan bos yang sama juga. Ada bapak-bapak yang mau gabung mengobrol dan rumahnya di samping rumah bos saya. Si Bapak tersebut melihat ke arah kaki saya yang sakit.

"Kakinya kenapa mbak kok sampai kaya gitu? Sudah diobatin belum itu? Kasian mbaknya jalannya sampai pincang kaya gitu?".

Saya jawab apa adanya, "Sakit Pak, nggak tahu kenapanya, belum saya obati Pak, Oh ya, obatnya apa ya Pak?, Besok saya mau ke apotik saja karena kalau mau ke Dokter nanti malah ngrepotin, kayaknya cuma luka ringan aja".

"Alhamdulillah kalo cuma luka ringan aja, ini bapak punya obat", Katanya, "Tunggu sini, jangan masuk rumah dulu, tak ambilkan obatnya".

Selama menunggu bapak mengambil obat dirumahnya, saya ngobrol dengan teman saya.

"Kakimu sebenarnya kenapa to Nduk?, kok sampai kaya gitu lukanya, Bapak sama Ibu bos tahu apa nggak kalau kakimu sakit?"

Saya cuma jawab, "Nggak tahu Mas, tadinya cuma kayak ada bekas digigit serangga karena rasanya gatal, pas saya garuk tau-taunya malah jadi besar, terus kadang keluar cairan, terus bapak sama ibu bos sudah tahu Mas kalau kakiku sakit, tapi cuma tanya kenapa kakinya bisa kaya gitu, nggak ngasih obat atau ngasih saran untuk berobat di mana, malah kemaren disuruh beliin kertas minyak buat alas kue, terus saya minta tolong kamu Mas buat beliin karena untuk jalan lumayan jauh, saya nggak kuat".

Teman saya langsung ngomong, "Woalah Nduk, kalau nggak kuat ijin pulang aja daripada tambah parah".

Obrolan kami berhenti karena bapak yang tadi datang, "Ini Mbak obatnya dioles sekitar lukanya, tapi pas malam hari kalau mau tidur, mending Mbak besok pamit pulang aja, si bos tahu karyawannya sakit kok dibiarin kerja dobel gak diajak berobat dulu atau gimana".

"Terimakasih Pak obatnya, besok saya coba izin pulang".

Mungkin bapak tadi mendengar obrolanku dengan teman kerjaku. Dan si bapak malah emosi jadinya.

Selang Dua hari saya izin pada bu bos untuk pulang dan berobat di Rumah. Beliau cuma berpesan agar kembali bekerja lagi jika sudah sembuh, tanpa memberi uang buat berobat bahkan tanpa uang gaji ataupun ongkos untuk pulang.

Sampai dirumah saya langsung berobat, Seminggu setelahnya, kaki saya berangsur sembuh. Saya putuskan untuk istirahat di Rumah sampai hari lebaran.

Di Rumah, saya bertemu dengan teman yang satu kerjaan dengan saya. Katanya ada titipan gaji dari bu bos selama bekerja. Saya terima titipan amplop yg dibungkus rapi itu, setelah saya buka isinya 200.000. Kerjaan segitu banyaknya yang harusnya Satu bagian Satu orang, tapi ini malah Tiga bagian hanya dikerjakan Satu orang.

Lebaran lebih Lima hari, saya memutuskan untuk berhenti bekerja menjadi ART. Walaupun awalnya bu bos tidak mengizinkan, saya tetap berhenti. Saya beralasan akan membantu saudara jualan Mie Ayam di dekat Rumah, di Gunungkidul. Karena alasan itu, akhirnya bu bos mengizinkan saya untuk tidak kembali bekerja di tempatnya.

ART atau Asisten Rumah Tangga sampai hari ini masih sering dipandang sebelah mata. Sebutan kasarnya untuk ART ini sering orang sebut dengan istilah Babu Cuci dan Babu yang mudah disuruh.

ART juga ini merupakan pekerja yang sering mendapatkan kekerasan fisik dan pelecehan seksual dari para majikan. Babu yang statusnya adalah korban malah dijadikan sebagai tersangka.

Sampai saat ini pun masih banyak kita temui kasus seperti penyiksaan, pelecehan, dan upah yang tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Seorang ART yang mendapatkan Kekerasan Pelecehan dan upah rendah seringkali bungkam karena memandang dirinya hanyalah seorang Babu rendahan dan tidak ada yang percaya dengan apa yang dialaminya.

Kebanyakan berpendapat "Sama juragan ngeyel nggak nurut", "Paling babunya yang merayu duluan", "Kerja nggak rajin kok minta gaji besar".

Untuk yang sampai saat ini masih banyak memandang ART dengan sebelah Mata. Semoga mata yang sebelahnya lagi segera terbuka.


Gunungkidul, Juni 2021

*Penulis adalah Anggota SBKI-SERBUK