Sebuah Pernyataan Untuk Cinta

Oleh : Adhi Pratomo*

Masih jelas teringat. Dua tahun yang lalu aku mengenalmu melalui jejaring media sosial. Entah kebetulan atau tidak, yang pasti Tuhan mengirimkan bidadarinya kepadaku, seakan menegaskan hatiku yang berkata,

“Inilah dia”.

Jujur bukan paras indahmu yang pertama terlihat. Tetapi ada perasaan yang lebih hebat dari sekedar kekaguman atas rupamu. Sulit untuk kujelaskan. Yang pasti sekilas aku melihat senyum Ibuku di bibirmu. Senyum yang tulus dan menenangkan hati. Setidaknya itu yang bisa aku jelaskan, karena terlalu sulit untuk dijabarkan.

“Hai salam kenal” 

Aku mengawali percakapan via pesan itu. Satu hari, dua hari, tiga hari berlalu tanpa ada respon darimu. Dalam hatiku berkata,

“Sudah pasti tidak akan dibalas”.

Namun sungguh tidak ada rasa kecewa atau rasa kesal dariku untukmu. Sebab bidadari sepertimu mana mungkin akan turun dan melihatku?. 

Hari-hari terus saja berlalu seperti biasa. Waktu terus berjalan tanpa memperdulikan diriku. Gagal dan dikhianati memang menjadi pengalaman yang semakin membuatku terjerumus dalam kubangan kepedihan. Pukulan takdir itu terus menjatuhkanku ke jurang yang tak berdasar. Sehebat apapun aku berusaha meraih pegangan, tetap saja tak pernah bisa menahanku. Aku hanya bisa pasrah dan menerima kehancuran saat mencapai dasar jurang.

“Salan kenal juga”.

Tiga kata darimu membangunkanku dari kepasarahan. Rasanya seperti Hero yang sudah sekarat dan tiba-tiba mendapat darah dari Hero Healer di dalam sebuah game. Aku begitu kaget. Ini adalah hal yang sulit aku percaya. Lalu aku coba mencubit lenganku, hanya sekedar memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi. Sakit. Ternyata benar, ini adalah kenyataan. 

Masih dalam suasana heran. Entah apa gerangan yang membuatmu mau membalas chatku, tapi sudahlah, Pikirku. Sebab bukankah Tuhan selalu punya caraNya.

Percakapan demi percakapan terus berlanjut di dalam layer ponsel. Hari demi hari tak lepas dari kata selamat pagi dan tak lupa mengucapkan selamat istirahat saat malam menjelang. Kita saling mendukung satu sama lain. Bahkan tak jarang, meskipun hanya melalui layar ponsel, kita saling setia menemani sampai larut malam. 

Semua berjalan semakin indah. komunikasi terus terjadi. Bahkan tak jarang aku selalu menerka-nerka apakah ada kode perasaan yang sama darimu di dalam kolom chat. Karena buatku, kau penyelamat. Tapi aku buatmu, aku tak tahu.

Sering kulempar kode-kode dalam kolom chat, tapi kau selalu datar dan bahkan tidak merespon. Entah kamu tidak tahu atau tidak mau tahu. Yang jelas, aku bukan orang bodoh yang tidak bisa merasakan perasaan. Aku sadar aku hanya teman pelipur sepimu dan tak lebih. Sialnya aku tak mau tahu dan peduli. 

Entah aku yang keras kepala atau aku takut akan kenyataannya. Lebih Sialnya lagi aku tak berani untuk mengungkapkan karena aku tahu jika itu kulakukan, kau akan marah dan pergi. Bagiku, melihatmu tersenyum walau dalam emoji chat saja, aku senang. Padahal belum tentu kamu sebenarnya tersenyum juga di Sana.

"Aahhh bodohnya, sial".

Kuputuskan untuk tetap menjadi bodoh agar bisa selalu kutemukan bahagia di setiap chat bersamamu. Mungkin rasanya seperti narkotika yang membuat candu.

Sampai suatu waktu kuberanikan untuk mengajakmu bertemu dan kau pun menyambut ajakanku. Rencana pun kubuat baik waktu dan tempatnya. Tetapi rencana hanya sekedar rencana, sebab Tuhan selalu punya rencanaNya.

Rencana pertama gagal. Kedua pun gagal. Sampai akhirnya Setahun Dua tahun berlalu tanpa pernah kita bisa bertemu. Jujur, aku sudah pesimis sebab komunikasi kita sudah tak selancar seperti sebelumnya. Bahkan jika aku tak memulai percakapan, kau pun menghilang tanpa jejak dan tak berusaha untuk memulai chat. 

Lagi-lagi aku menolak kenyataan pahit ini. Kenyataan bahwa kau sudah tidak peduli lagi denganku. Kau sudah memberi kode dengan tidak pernah memulai percakapan denganku lagi. 

Sekali lagi aku keras kepala. Entah kamu kini milik siapa, aku sungguh tak peduli. Bagiku menjadi badut dengan wajah putih serta hidung merah yang terus berusaha membuatmu tertawa adalah anugerah. Aku tak peduli dengan rasa sakit, sebab badut sepertiku pandai untuk berpura-pura tersenyum. Dan akan terus tersenyum hanya demi membuatmu tersenyum.

Untuk ketiga kalinya aku memberanikan diri mengajakmu bertemu. Setelah memilih-milih tempat untuk bertemu, kita sepakat bertemu di warung nasi bebek. Kupilih tempat itu selain memang aku suka dengan daging bebek, yang pasti harganya cocok juga dengan kantongku.

Ternyata Tuhan mengabulkan untuk aku dan kamu bertemu. Tepat jam 18.00, setelah pulang kerja dan bertepatan dengan buka puasa, aku dan kamu sepakat bertemu di Slana. Sebelum bertemu denganmu, aku sudah mewanti-wanti pada hati ini dengan berkata, 

“Siap-siap sakit hati, yaa” 

Sebab dalam sejarah tidak ada bidadari yang bisa hidup bersama selamanya dengan manusia. Aku sudah siap untuk sakit itu. Begitulah tekadku.

Kami pun bertemu. Aku sangat bersyukur pada Tuhan dikarenakan aku bisa melihat senyum ibu di parasmu dengan nyata. Obrolan terus mengalir walau aku tahu kau hanya sekadar menghargaiku saja. Aku tahu dalam hatimu ada rasa penyesalan ketika kita bertemu dan itu kubaca jelas di raut matamu serta pandanganmu yang sayu. Tetapi aku tak peduli, sebab aku tahu, tak akan ada kesempatan aku bisa bertemu atau berkomunikasi denganmu lagi. 

Waktu 45 menit itu kupuaskan hatiku dan setelahnya kuberanikan untuk pamit sebab raut wajahmu sudah terlihat jelas masam nya. Aku dan kamu pulang. Dan benar itu adalah hari dimana aku terakhir berkomunikasi denganmu. Semua sesuai prediksiku dan 100% akurat. Coba saja kalo ini adalah pertandingan bola, aku sudah kaya raya. Hehe. 

Segalanya tiba-tiba menghilang begitu saja, walau memang kau tak pernah menghapus atau block akun media sosialku. Tetapi rasa sadar diri, lebih kukedepankan sebab aku tahu kau tak ingin aku chat. Firasatku mengatakan demikian. 

Sehabis lebaran, tak lama kulihat di status media sosialmu, kamu dengan wajah bahagia berdiri dengan seorang pria. Caption saling mendukung melengkapi foto itu. Ah sial, sungguh beruntungnya dia. Pangeran yang baik hati dan tampan dengan kuda putihnya telah berhasil mendapatkanmu. 

Pahit karena kalah bertarung tanpa perlawanan adalah hal yang menjengkelkan. Entah aku yang terlalu bodoh atau kamu yang terlalu pintar menyembunyikan keadaan. Di saat aku merindukanmu, kamu sedang merindukannya. Bodohnya aku yang tak benar-benar melihat realita. Ingin sekali aku berdoa, “Mati saja kalian” tetapi tak mungkin aku melakukannya. Sebab kau berhak Bahagia tak peduli dengan siapa kau Bahagia. Dan yang pasti bukan dengan badut sepertiku.

Percayalah aku pasti akan tersenyum, karena tugas badut sepertiku hanya untuk menghibur manusia. Aku terus melakukannya sambil menunggu seseorang datang untuk membuatku benar-benar tersenyum dan melepaskan topeng ini. Dan tentu saja menghapus segala riasan kepalsuan yang telah begitu lama aku kenakan. 

______


*Penulis adalah Bendahara Umum Serbuk yang sedang mengingat kekonyolan masa lalunya :)