Kita Butuh Pemimpin yang Berani!

Oleh: Khamid Istakhori*

Kekalahan United semalam, sangat menyakitkan. Dipermalukan 5 gol tanpa balas oleh Liverpool di kandang sendiri. Siapapun yang menyatakan diri sebagai penggemar United, merasakan itu. Secara pribadi, saya mendapat cemoohan bertubi-tubi, paling banyak lewat pesan-pesan langsung melalui WhatsApp, DM,atau inbox. Nadanya sama: mereka bertepuk tangan karena United kalah. Beruntung, Barcelona juga keok dalam laga El Clasico, sehingga meskipun mereka juga ikutan membully saya, tapi gayanya gak terlalu belagu seperti biasanya. 

Apakah saya akan berpindah menjadi penggemar Liverpool? No! Seandainya seseorang menawari saya untuk membayari langganan WiFi selama 6 tahun berturut-turu, buat saya tetap tidak. Apalagi klub sebelah bernama Manchester City. Hahahahaha.

Saya sudah menggemari United sejak King Cantona menjadi Kapten. Terlebih sesudah peristiwa ikonik ketika dia melayangkan tendangan kungfu ke arah Matthew Simmons, suporter Crystal Palace yang menghinanya sesaat sesudah menerima kartu merah akibat pelanggarannya kepada bek Crystal Palace, Richard Shaw, pada menit ke-48 dalam laga bertangal 25 Januari 1995. Ucapan bernada kasar dan rasis yang diucapkan Matthew Simmons, memaksa King Cantona berbelok arah, berjalan ke arahnya dan melancarkan tendangan kungfu. Kejadian itu sudah berlalu 26 tahun. Artinya, saya sudah menjadi penonton setia United lebih dari setengah umur saya. Hahahahaha. Jadi, seandainya United terdegradasi ke liga kelas dua sekali pun, saya akan tetap menjadi penggemar United. 

Kembali ke King Cantona. Perisitwa tendangan kungfu tersebut berimbas dan mempersulit hidupnya. Sanksi berlapis-lapis dia terima. Sanksi internal Manchester United berupa denda senilai 20.000 pound (sekitar Rp300 juta). Tak cukup, Federasi Sepak bola Inggris (FA) menjatuhkan sanksi pembekuan selama delapan bulan serta denda 10.000 pound (sekitar Rp 150 juta). Di ajang internasional, bahkan Timnas Perancis juga menolak kehadirannya dalam skuad. 

Belasan tahun kemudian, Cantona angkat bicara soal tendangan kungfu fenomenalnya. Dia mengaku salah, tapi menikmati momen tersebut sebagai bagian dari kehidupan serta karier di lapangan hijau.

Nah, dari rentetan kekalahan yang diderita United, benang merahnya kelihatan: United kehilangan pemimpin. Di lapangan, Harry Maguire sama sekali tak menunjukkan diri sebagai kapten. Jiwanya loyo dan tak menggambarkan petarung di lapangan.Coba bandingkan dengan kapten sebelumnya seperti Roy Kane, Nemanja Vidić, Gary Neville. Manajer yang sekarang memang seorang legenda bagi klub, tapi Ole Gunnar Solskjær juga tidak segera mengubah gaya kepemimpinannya yang terlalu lunak. Bahkan, dibandingkan dengan Mourinho, kalah abu!

Nah, terakhir, saya mau menutup tulisan pendek ini dengan refleksi sebagai serikat pekerja. Saya belajar berserikat juga dengan meneladani perjalanan klub United yang paling banyak haternya, bukan saja di Inggris Raya, tapi di muka bumi. Tapi, jumlah hater yang jutaan tersebut, sejatinya menunjukkan satu hal bahwa klub ini sangat terkenal, bahkan diklaim sebagai klub paling populer di jaga raya.

Dalam berserikat, saya belajar dari United ketika menghadapi masa-masa sulit, terutama sejak latih SAF dan masa sesudahnya. Lalu, saya menemukan beberapa kunci penting di sana. Selain karena kaderisasi yang mandeg, ditunjukkan dengan hobi berbelanja pemain-pemain mahal ketimbang memajukan bibit-bibit baru dari akademinya yang bagus sekelas Rashford, United juga kehilangan sosok pemimpin lapangan yang tangguh. Kita butuh pemimpin-pemimpin lapangan yang tegak dan tegar sekelas King Cantona. Bukan saja keras kepada skuad di lapangan, tapi sekali-kali harus berani men-sleeding orang-orang yang berbuat tidak pantas kepada tim kita.

Belajar dari kelalahan United semalam, belajar dari kekalahan dalam pertarungan melawan Omnibus Law, mari kita refleksi kembali.

Semoga akan lahir pemimpin-pemimpin serikat buruh yang pemberani!


*Penulis adalah kordinator Departemen Pendidikan SERBUK Indonesia