Teladan Pak Rozak

Oleh Khamid Istakhori, Anggota Federasi SERBUK

“Saya berharap, Pak Khamid bisa menjalankan ibadah puasa Ramadan di sini,” ucap Pak Rozak ketika saya berpamitan untuk kembali ke Jakarta, pada 28 Maret 2022. Hari itu, saya dan beberapa kawan harus kembali ke Jakarta setelah menyelesaikan pendidikan Bapor di Muara Enim. Saya benar-benar tidak menduga, percakapan tersebut manjadi percakapan terakhir saya dengan Pak Rozak. Dia telah mendahului menghadap sang Khalik yang Maha Welas Asih, pada sebuah pagi di akhir Ramadan, sebelum salat Jum’at, dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. 

Saya mengingat, pertama kali bertemu dengannya pada Februari 2020, ketika pademi Covid-19 sedang mengawali serangannya. Waktu itu, saya berangkat ke Muara Enim untuk beberapa agenda pendidikan, advokasi, dan aksi penolakan Omnibus Law. Selama beberapa hari, sepanjang saya berada di Muara Enim, saya menginap di Sekretariat SERBUK Sumatera Selatan, yang tak lain adalah rumah Pak Rozak. Setiap pagi, sebelum memulai aktivitas, Pak Rozak rutin membuatkan saya kopi; lebih sering tanpa teman kudapan. Secara jenaka, dia menyebutkan kopi sebagai orkes dan kue-kue sebagai biduan. “Ada orkes, tapi tak ado biduan,” candanya untuk menyebutkan permintaan maaf karena hanya kopi yang disajikan. Bagi saya, segelas kopi yang ditaruh di atas piring kecil dengan tutup gelas berwarna oranye itu, adalah kemewahan. Bagi saya, semua ketulusan yang praktikan oleh orang-orang biasa yang dengan segenap hatinya memberikan kebaikan bagi orang lain, adalah kemewahan.

Setelah menghabiskan sebatang dua batang rokok “Gudang Baru” (merk rokok lokal) yang harga per bungkusnya hanya 8 ribu rupiah, biasanya dia akan berpamitan untuk tidur. “Saya tidur dulu ya, Pak,” ujarnya sembari masuk ke kamarnya. Biasanya dia baru pulang dari kebun sekitar jam 5, setelah menyadap karet. Malam antara jam 10 hingga lepas Subuh dia akan bekerja menyadap karet di kebun tak jauh dari rumahnya. “Pohonnya cuma dikit, tapi lumayan untuk kebutuhan sehari-hari,” ujarnya sambil melepas kumparan asap dari rokok kretek yang dihisapnya. Karena pekerjaan “menyadap” itulah, saya berseloroh memanggilnya sebagai “AKBP”. Panggilan itu, kemudian seringkali menjadi panggilan akrab “AKBP Rozak”, serupa intel polisi yang kerjanya menyadap percakapan orang. Dia sangat menyukai panggilan itu. Rona wajahnya menunjukkan kebahagiaan tatkala kami memanggilnya “AKBP”. Selain panggilan AKBP, saya juga memanggilnya “Bro” karena semangat mudanya yang masih kental. Kesupelannya dalam bergaul dengan anggota serikat yang relatif muda dan seusia anaknya. Juni, salah satu anaknya adalah sekretaris serikat di PLTU Sumsel 1. Saya, adalah satu-satunya yang memanggilnya dengan sebutan Bro.

Dia sangat senang ketika rumah yang ditempatinya digunakan sebagai sekretariat serikat. Rumah tersebut, sebenarnya merupakan rumah kakaknya, seorang mantan Kepala Kejaksaan yang sudah meninggal. Ada 6 kamar dan ruang utama yang cukup luas untuk aktivitas serikat. Saya, mendapatkan kehormatan menempati kamar di belakang yang cukup, luas. Kamar-kamar itu, akan selalu dibersihkannya ketika banyak tamu yang menginap. Rumah itu, menjadi semacam hotel mewah untuk kami yang berkunjung. Uda Nanang dan beberapa kawan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  yang kami undang pada September 2020 dalam sebuah acara di Muara Enim, merasakan kenyamanan kamar-kamar hotel ala sekretariat itu. 

Ketika pengurus dan anggota akan mengadakan rapat, Pak Rozaklah yang membersihkan ruangan, mempersiapkan papan tulis dan spidol, dan tentu saja menyajikan kopi yang dituangkannya satu per satu ke dalam gelas plastik. Sambil menikmati sebatang rokoknya, dia akan selalu ikut dalam rapat, duduk di depan pintu kamarnya. Semua kenangan itu, terekam dalam ingatan kami. Kenangan yang selalu muncul dalam benak kami, tentang pribadinya yang hangat dan pekerja keras. Ruangan sekretariat yang rapi, dapur yang selalu bersih, dan halaman yang setiap pagi dibersihkannya dari guguran daun mangga, dan tumpukan sampah yang dibakarnya setiap 3 hari sekali. 

Pak Rozak adalah keramahan yang tulus. Perasaan itu juga terekam dalam pengakuan Jarpo, Kiting, dan Andi yang cukup lama berinteraksi dengannya. Mereka adalah pengurus-pengurus SERBUK yang pernah menginap di sekretariat Muara Enim dalam waktu yang cukup lama. Biasanya, kami mengirimkan pengurus untuk melakukan pendidikan dan advokasi ke Muara Enim, meraka akan tinggal di sana 3-4 minggu. Saya selalu tertawa ketika mendengar ceritanya saat berinteraksi dengan pengurus-pengurus muda tersebut. “Kapan Jarpo akan ke sini lagi?” ujarnya suatu saat. Kedatangan anak-anak muda tersebut, tentu saja menyenangkan buatnya karena menjadi teman ngopi di waktu pagi, teman bersendau gurau di siang hari, dan teman ngobrol selepas malam.  Bagi saya, kebaikan-kebaikan Pak Rozak tak akan habis diceritakan. Selalu hadir dalam kesegaran.

Hari ini, adalah hari ketujuh kepergianya. Saya mengenang dalam kesedihan yang mendalam. STerlintas dalam benak saya pagi itu, 29 April 2022 ketika Tajudin, Korwil SERBUK wilayah Sumsel mengabarkannya kepergiannya yang terlalu cepat melalui sebuah percakapan video. “Pak Rozak meninggal,” ucapnya singkat dari seberang telepon. Lama kami terdiam dan tidak ada suara apapun. 

Kami harus menerima kenyataan atas kepergiannya pada akhir Ramadan, pada Jumat yang mulia itu. Kami akan mengenangnya dan tentu saja menyebutnya dalam doa kami. “AKBP” Rozak yang bersahaja dan penuh teladan itu telah pegi. Perasaan saya benar-benar runtuh. Remuk.

Al Fatihah.


Jakarta, 5 Mei 2022