Penonton di Tanah Leluhur Kami


Oleh: Rudianto*

Kepada pemerintah negeri makmur ini. Kemanakah lagi kami akan mengadu tentang negeri ini. Kami layaknya karang yang dihempaskan ombak. Bertahan menanti harapan yang tak kunjung pasti. Apa hendak dikata terbuai manis mimpi-mimpi yang indah. 

Betapa sulitnya masuk di perusahaan-perusahaan yang berdiri di tanah kelahiran nenek moyang ini. Begitulah wajah pribumi meratapi nasib yang kian tak terperi mengadu kepada pemerintah negeri. Kami memang terbatas akan kemampuan pengetahuan latar belakang pendidikan. Lantas, apakah mereka yang berdasi, yang bersepatu hitam berpakian rapi, dan yang duduk di dalam ruangan bersih tak pernah melihat masyarakat desa yang di dekat perusahaan berdiri kokoh saat ini. 

Janji yang diingkari layaknya seorang kekasih hati yang tak menepati janji. Begitu pula dengan yang kami rasakan. Pribumi yang bertempat di kabupaten Muara Enim ini tak banyak bicara melihat hal nyata ini. Kami yang bekerja dengan tenaga otot rasanya tak mampu bersanding dengan mereka yang berpendikan tinggi. 

Mimpi kami telah hilang. Apalah daya semua ini. Di balik usaha jerih payah bekerja kuli kasar ini tak pernah dipandang pasti oleh tuan rumah perusahaan yang berdiri saat ini. Konon katanya kami yang bekerja dengan otot keringat melawan matahari akan ada posisi yang layak untuk diduduki di kemudian hari. Tapi dengan seiring waktu berjalan, kami pekerja harian ini lantas tak bisa berbuat banyak selain terbuai mimpi. Kalah dengan mereka yang berpendidikan tinggi. 

Di balik semua ini dampak yang kami rasakan benar-benar terjadi. Limbah di udara beterbangan di atas tanah subur nan makmur ini. Sungai yang dahulu menjadi tempat kami mandi kini tak layak lagi untuk kami konsumsi. Begitu pula dengan lelulur nenek moyang kami menangis melihat peristiwa yang terjadi.


*Penulis adalah anggota Barisan Pelopor (Bapor) di SERBUK PLTU Sumsel 1