Ikuti kami di Instagram         Tetap Terhubung
Postingan

Perlunya Penegakan Hukum Ketenagakerjaan yang Lebih Menguatkan Posisi Buruh



Hukum ketenagakerjaan merupakan instrumen utama yang mengatur hubungan antara buruh dan pengusaha dengan tujuan menciptakan keseimbangan kepentingan serta keadilan sosial di dunia kerja. Namun, dalam praktik pelaksanaannya, terdapat dinamika yang menunjukkan bahwa proses hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial sering kali tidak memihak kepada buruh, bahkan cenderung melemahkan posisi mereka. Kondisi ini menjadi permasalahan serius dalam praktik hubungan industrial karena berdampak pada ketidakadilan dan ketidakseimbangan dalam hubungan kerja.

Secara teoritis, hubungan industrial idealnya didasarkan pada prinsip keadilan sosial dan keseimbangan kepentingan tripartit, yakni melibatkan pekerja, pengusaha, dan pemerintah sebagai regulator. Landasan normatif telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menjadi Undang-Undang, serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) beserta peraturan pelaksananya. Regulasi tersebut memberikan dasar hukum bagi perlindungan buruh, termasuk mekanisme penyelesaian perselisihan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan Badan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (BPHI). Namun, implementasinya belum sepenuhnya merealisasikan prinsip keadilan dan perlindungan buruh.

Faktor-Faktor yang Melemahkan Posisi Buruh dalam Proses Hukum :
  • Prosedur Penyelesaian yang Panjang dan Kompleks
Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial biasanya melewati tahapan bipartit, mediasi, hingga PHI. Mekanisme ini kerap memakan waktu lama dan berbelit, sehingga membebani buruh yang memiliki keterbatasan biaya dan waktu.

  • Ketidakseimbangan Akses dan Kapasitas

Buruh pada umumnya tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memperoleh pendampingan hukum profesional, sementara pengusaha relatif mudah mengakses jasa hukum berkualitas. Kondisi ini membuat posisi tawar buruh menjadi lebih lemah.
  • Dominasi Kepentingan Pengusaha dan Konflik Kepentingan
Dalam praktik, mediator atau aparat penyelesaian perselisihan terkadang diduga tidak independen serta lebih berpihak pada pengusaha. Hal ini bisa dipengaruhi oleh tekanan politik, ekonomi, atau patronase tertentu yang mengakibatkan keputusan tidak adil bagi buruh.
  • Lemahnya Penegakan Hukum
Sanksi terhadap pelanggaran hak-hak buruh sering tidak dijalankan dengan tegas dan konsisten. Penundaan bahkan pengabaian penegakan hukum membuat pengusaha tidak jera, sehingga pelanggaran berulang.
  • Minimnya Perlindungan Sosial bagi Buruh Penggugat
Buruh yang mengajukan gugatan kerap menghadapi tekanan ekonomi dan sosial, termasuk kehilangan pekerjaan atau intimidasi. Kondisi ini semakin melemahkan keberanian buruh dalam memperjuangkan haknya.
 
Konsekuensi terhadap Hubungan Industrial
Ketidakberimbangan proses hukum tersebut menimbulkan ketidakpercayaan buruh terhadap mekanisme penyelesaian perselisihan yang disediakan pemerintah. Akibatnya, banyak buruh memilih jalur aksi langsung seperti mogok kerja atau demonstrasi. Langkah ini berpotensi memperburuk iklim hubungan industrial sekaligus memengaruhi stabilitas sosial. Fenomena ini mencerminkan adanya ketidakadilan struktural dalam sistem ketenagakerjaan yang mendesak untuk segera dibenahi demi terciptanya hubungan kerja yang harmonis, adil, dan berkelanjutan.
 
Upaya Reformasi dan Rekomendasi
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, diperlukan reformasi komprehensif dalam sistem hukum ketenagakerjaan, khususnya dalam mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Beberapa langkah yang dapat ditempuh antara lain:
  • Penyederhanaan dan Percepatan Proses Hukum
Memangkas birokrasi yang berbelit agar proses penyelesaian lebih cepat dan efisien, sehingga tidak membebani buruh.
  • Peningkatan Akses terhadap Bantuan Hukum
Menyediakan layanan bantuan hukum gratis dan memperkuat peran serikat pekerja dalam mendampingi buruh, termasuk akses pada advokat profesional dengan biaya terjangkau.
  • Penguatan Independensi Lembaga Penyelesaian
Membangun mekanisme transparan, akuntabel, dan bebas intervensi dalam mediasi, konsiliasi, maupun arbitrase agar keputusan berorientasi pada keadilan.
  • Penegakan Hukum yang Tegas dan Konsisten
Menerapkan sanksi tegas terhadap pelanggaran hak-hak buruh untuk menciptakan efek jera bagi pengusaha yang melanggar.
  • Perlindungan Buruh Selama Proses Perselisihan
Menjamin adanya perlindungan sosial, larangan diskriminasi, serta kewajiban pengusaha membayar upah buruh selama proses perselisihan berlangsung.
 
Kesimpulan
Meskipun hukum ketenagakerjaan bertujuan melindungi buruh, realitas menunjukkan bahwa mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial masih memiliki kelemahan yang justru melemahkan posisi buruh. Prosedur yang kompleks, akses hukum yang timpang, lemahnya independensi lembaga, serta inkonsistensi penegakan hukum menjadi faktor utama. Oleh karena itu, reformasi sistem penyelesaian perselisihan dan penegakan hukum yang adil mutlak diperlukan guna mewujudkan hubungan industrial yang seimbang, adil, dan berkelanjutan.

Ditulis oleh : Surya Pranata Tambunan  



Serbuk adalah serikat buruh yang di dirikan pada 11 Desember 2013.

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.