Pasca-Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023: Apa Yang Harus Kita Lakukan?

 

Kamis, 31 Oktober 2024 lalu menjadi momentum penting perjuangan buruh, dimana Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan Pengujian UU No. 6 Tahun 2023. Gugataan uji materi tersebut diajukan oleh Partai Buruh, beberapa organisasi buruh, serta individual buruh yang merasa hak konstitusinya sebagai pekerja terlanggar dengan berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-undang yang sejak awal pembahasannya telah ditolak oleh berbagai kalangan masyarakat. Sebagai pengingat Undang-Undang Cipta Kerja awalnya diundangnya melalui UU No. 11 Tahun 2020, yang setahun kemudian dinyatakan inkonstitusional bersyarat melalui putusan MK yang dibacakan pada 25 November 2021. MK juga memerintahkan pembuat undang-undang (DPR RI) untuk memperbaiki proses penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja.

Alih-alih memperbaiki baik secara proses maupun substansi, pemerintah justru “potong kompas” dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang kemudian Perppu tersebut disahkan oleh DPR RI menjadi Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 dalam sidang paripurna 21 Maret 2023. Atas terbitnya undang-undang tersebut berbagai organisasi buruh kemudian mengajukan gugatan uji formil dan uji materi. Permohonan uji formil tidak dikabulkan oleh Majelis Hakim, sementara terhadap uji materi (substansi) Majelis Hakim mengabulkan sebagian dari permohonan yang diajukan. Beberapa ketentuan/aturan yang diajukan permohonan uji materi diantaranya outsourcing, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, hak cuti, pengupahan, dan Tenaga Kerja Asing (TKA). Putusan sepanjang 687 halaman itu tentu memiliki dampak besar terutama bagi buruh. Beberapa hal penting dalam Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 akan diuraikan secara singkat sebagai berikut:

Mengenai Tenaga Kerja Asing (TKA)

Permohonan uji materi yang dikabulkan sebagian yakni Pertama, persyaratan mempekerjakan tenaga kerja asing dan kriteria tenaga kerja asing harus disusun dalam Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang dimana pengurusan RPTKA dilakukan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini MK memperjelas yang dimaksud Pemerintah Pusat adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan.

Kedua, terkait dengan penggunaan Tenaga Kerja Asing yang tidak dibatasi sehingga berpotensi menjadi pintu masuknya TKA yang tidak terampil (unskilled labour) secara massif juga dikhawatirkan membuat hak pekerja di Indonesia yang tidak diprioritaskan oleh Negara dalam memperoleh pekerjaan dibandingkan dengan warga negara asing. Argumentasi tersebut kemudian dipertimbangkan oleh Majelis Hakim bahwa penggunaan TKA harus didasarkan pada kebutuhan yang jelas dan terukur, serta tidak boleh merugikan kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia. Pertimbangan tersebut yang digunakan untuk mengubah Pasal 81 angka 4 UU 6/2023 sehingga menjadi berbunyi “Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.”

Mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Pertama berkenaan dengan Pasal 81 angka 12 UU No. 6/2023 yang mengubah Pasal 56 UU No. 13/2003 dan menghapuskan Pasal 59 ayat (4) UU No. 13/2003 dimana dalam ketentuan tersebut dimuat mengenai batasan jangka waktu PKWT. Sebelumnya dalam UU No. 13/2003, jangka waktu PKWT dituliskan secara tegas yakti 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk waktu paling lama 1 tahun. Sedangkan dalam Pasal 81 angka 12 UU No. 6/2023 hanya dituliskan PKWT didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan, tanpa mengatur batasan jangka waktu yang dimaksud. Ini menjadi aturan yang tidak dijelas dan berpotensi buruh dapat dipekerjakan dengan PKWT dalam waktu yang sangat lama. Terhadap permohonan uji materi pasal tersebut, Majelis Hakim memberikan pertimbangan dan putusan demikian:

1.      Jangka waktu PKWT merupakan norma yang sangat penting untuk diatur dalam undang-undang karena berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia sehingga pengaturannya tidak bisa dilakukan dalam aturan di bawah undang-undang. Oleh karena penentuan secara definitif lamanya jangka waktu PKWT, menurut Mahkamah hal tersebut merupakan wilayah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang, maka Mahkamah dalam pertimbangannya memerintahkan pembentuk undang-undang (DPR RI) mengatur secara definitif lamanya jangka waktu PKWT (bukan mengaturnya dalam bentuk PP atau aturan lain di bawah undang-undang).

    Untuk memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh sebelum dilakukan perubahan Pasal 81 angka 12 UU 6/2023, Mahkamah memutuskan pengaturan jangka waktu PKWT yaitu tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun termasuk jika terdapat perpanjangan PKWT.

Kedua berkenaan dengan kewajiban Pasal 81 angka 13 UU No. 6/2023 yang mengubah Pasal 57 UU No. 13/2003 terutama berkenaan dengan “Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.” Sebelumnya dalam Pasal 57 UU No. 13/2003 terutama ayat (2) “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.” Ketentuan ini dihapuskan dalam UU No. 6/2023 sehingga diajukan permohonan uji materi karena dengan hilangnya konsekuensi hukum dari PKWT yang tidak tertulis menyebabkan hubungan kerja pekerja menjadi tidak pasti. Majelis Hakim kemudian memberikan pertimbangan demikian:

1.    Bagi pekerja/buruh yang telah bekerja dengan PKWT yang tidak tertulis sebelum berlakunya UU No. 6/2023 maka berdasarkan Pasal 57 ayat (2) UU 13/2003 “dinyatakan menjadi PKWTT.”

2.  Sementara bagi pekerja/buruh yang bekerja dengan PKWT setelah berlakunya UU No. 6/2023 “Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.”

Mengenai Outsourcing

Berkenaan dengan tidak adanya landasan hukum yang jelas dan pasti mengenai jenis pekerjaan yang dapat dialihkan melalui alih daya (outsourcing) sehingga hal tersebut dapat menimbulkan kekhawatiran bagi pihak-pihak yang terlibat dalam skema alih daya. Menurut Mahkamah, undang-undang di bidang ketenagakerjaan harusnya membuat aturan yang lebih jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam praktik alih daya. Hal demikian dapat mencegah adanya kesalahan dalam mengalihkan pekerjaan, yang dapat menyebabkan persoalan hukum. Sehingga untuk mengatasi kekosongan hukum tersebut (karena undang-undang belum mengatur secara tegas jenis pekerjaan yang dapat dialihkan), Hakim Mahkamah Konstitusi menetapkan Pasal 81 angka 18 UU No. 6/2023 harus dimaknai “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam  perjanjian tertulis alih daya.” Dengan demikian jenis dan bidang pekerjaan yang dapat dialihkan tidak boleh untuk semua jenis pekerjaan namun akan dibatasi oleh Menteri.

Mengenai Cuti

Pertama, mengenai Pasal 81 angka 25 UU No. 6/2023 telah mereduksi hak pekerja/buruh untuk memperoleh istirahat panjang atas dedikasi dan loyalitas pekerja/buruh kepada pengusaha, karena dalam Pasal 81 angka 25 ayat (5) UU No. 6/2023 dinyatakan “….Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang…” Uji materi dimohonkan dengan mempersoalkan kata “dapat” yang dalam hukum tidak bersifat memaksa tapi opsional sehingga tidak ada jaminan bagi pekerja/buruh untuk mendapat hak atas istirahat panjang. Menurut pertimbangan Mahkamah, aturan tersebut akan menimbulkan ketidakpastian bagi pekerja/buruh karena para perusahaan akan memiliki kebijakan istirahat panjang yang berbeda. Oleh karenanya, menurut Mahkamah kata “dapat” dalam Pasal 81 angka 25 ayat (5) UU No. 6/2023 dinyatakan inkonstitusional dan menyatakan Perusahaan wajib memberikan istirahat panjang bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 tahun berturut-turut pada perusahaan yang sama.

Kedua, berkenaan dengan waktu istirahat dalam Pasal 81 angka 25 ayat (2) UU No. 6/2023 yang hanya mengatur istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam seminggu. Aturan ini menimbulkan ketidakjelasan bagi pekerja/buruh yang bekerja 5 hari kerja dalam seminggu. Sehingga Mahkamah berpendapat untuk memberikan kepastian dan perlindungan hak istirahat bagi pekerja/buruh, Mahkamah menambahkan aturan Pasal 81 angka 25 ayat (2) huruf b UU No. 6/2023 menjadi “Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat huruf a wajib diberikan kepada Pekerja/Buruh paling sedikit meliputi istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Mengenai Pengupahan

Uji materi dimohonkan berkenaan dengan kewenangan kebijakan pengupahan yang ada pada pemerintah pusat serta perubahan terhadap Pasal 88 ayat (3) dan ayat (4) UU 13/2003 sangat mendasar, karena menghilangkan struktur dan skala pengupahan yang proporsional. Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah memberikan pertimbangan demikian:

1.  Pasal 81 angka 27 ayat (1) UU No. 6/2023 yang menyatakan “Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Meskipun ketentuan tersebut tidak diajukan permohonan uji materi, namun Mahkamah memberikan pertimbangan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.

2.   Kebijakan pengupahan tidak bisa ditetapkan hanya oleh pemerintah pusat, peran dewan pengupahan memegang peran penting tidak hanya untuk memberikan saran dan pertimbangan namun juga terlibat aktif dalam merumuskan kebijakan pengupahan. Terlebih, unsur dari dewan pengupahan tersebut sesuai dengan tingkatan daerahnya adalah pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, pakar dan akademisi. Oleh karenanya, Mahkamah mengubah Pasal 81 angka 27 ayat (2) UU 6/2023 menjadi “Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak Pekerja/Buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan.

3.     Perubahan Pasal 81 angka 27 ayat (3) huruf b UU No. 6/2023 yang bunyi aturannya menjadi “kebijakan pengupahan meliputi struktur dan skala upah yang proporsional.

4.  Hapusnya ketentuan upah minimum sektoral dalam Pasal 81 angka 28 UU No. 6/2023. Menurut Mahkamah upah minimum sektoral merupakan salah satu instrumen penting dalam rangka menjamin kesejahteraan pekerja di sektor-sektor tertentu yang memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda dari sektor lainnya. Pengaturan upah minimum sektoral memberikan perlindungan yang lebih spesifik dan adil kepada pekerja di sektor-sektor tersebut. Oleh karenanya, Mahkamah mengubah Pasal 81 angka 28 UU No. 6/2023 menjadi “Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota.”

5.      Berkaitan dengan frasa “indeks tertentu” dalam Pasal 81 angka 28 UU No. 6/2023 yang tidak diberikan penjelasan. Sehingga menurut Mahkamah, untuk menghilangkan ketidakjelasan mengenai “indeks tertentu” dalam formula penghitungan upah minimum, Mahkamah memberikan penjelasan demikian “indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh.”

6.  Pasal 81 angka 28 UU No. 6/2023 yang menyatakan “Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum.” Kata “dalam keadaan tertentu” ini tidak ada penjelasan lebih lanjut yang berpotensi diterapkan secara sewenang-wenang. Sehingga untuk mencegah praktik yang demikian, Mahkamah memberikan tafsir Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

7.     Selanjutnya Pasal 81 angka 31 UU No. 6/2023 yang semula ketentuannya “Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di perusahaan” menjadi “Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan.”

8.       Pasal 81 angka 33 ayat (1) yang semula ketentuannya “Pengusaha wajib menyusun strrrktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas” diubah menjadi “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.

9.       Berkaitan dengan pemenuhan hak-hak pekerja/buruh bila perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit. Mahkamah memberikan penjelasan demikian berdasarkan skala prioritas, jika terdapat utang berupa upah kepada pekerja/buruh, maka pembayarannya akan berada pada posisi pertama untuk didahulukan. Namun, jika terdapat utang berupa hak lainnya (pesangon, uang penghargaan, THR, serta penggantian hak cuti) kepada pekerja/buruh, maka pembayarannya berada pada posisi kedua setelah pembayaran kepada kreditur pemegang hak jaminan kebendaan. Sehingga dalam ketentuan Pasal 81 angka 36 ayat (3) UU No. 6/2023 menjadi “Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.”

10.   Berkenaan dengan fungsi Dewan Pengupahan yang tidak hanya memberikan saran dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengupahan namun Dewan Pengupahan punya fungsi dilibatkan secara aktif dalam menetapkan kebijakan pengupahan.

Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Pertama, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menambahkan aturan Pasal 81 angka 40 ayat (3) UU No. 6/2023 yang semula berbunyi “Dalam hal Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/ Serikat Buruh” ditambahkan menjadi “Dalam hal Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.

Kedua, berkenaan dengan aturan Pasal 81 angka 40 ayat (4) UU No. 6/2023 yang menyatakan “Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.” Menurut Mahkamah aturan tersebut tidak memberi kejelasan dan multitafsir sehingga Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengubah bunyi ketentuan tersebut menjadi “Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka Pemutusan Hubungan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap.” Dengan diubahnya ketentuan melalui putusan MK menjadi lebih jelas pula hak-hak pekerja bahwa sepanjang PHK belum memperoleh penetapan dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) maka sebagai konsekuensinya Pengusaha wajib membayarkan upah pekerja/buruh dan hak-hak lainnya.

Ketiga, penjelasan aturan dalam Pasal 81 angka 49 ayat (3) UU No. 6/2023 yang semula berbunyi “Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai tingkatannya.” Kata ‘sampai dengan selesainya’ ini tidak memberikan kejelasan sampai kapan sehingga dalam putusan, Mahkamah Konstitusi memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan ‘sampai dengan selesainya’ harus dimaknai ‘sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI.’

Mengenai Uang Pesangon, Uang Penggantian Hak, dan Uang Penghargaan Masa Kerja

Berkaitan dengan penghitungan uang pesangon dan penghargaan masa kerja dalam 81 angka 47 UU No. 6/2023 yang menggunakan frasa “….diberikan dengan ketentuan sebagai berikut….” Aturan yang berbunyi demikian telah menutup kemungkinan bagi perusahaan yang mampu membayar uang pesangon kepada pekerja/buruh lebih dari batas yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Padahal di beberapa perusahaan dimungkinkan untuk membayar uang pesangon melebihi dari ketentuan undang-undang apalagi perusahaan-perusahaan yang telah memiliki PKB. Aturan yang ada justru berpotensi menurunkan kualitas PKB yang telah menyepakati perhitungan pesangon di atas aturan undang-undang yang ada. Untuk memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh yang terkena PHK maka Majelis Hakim menyatakan frasa “….diberikan dengan ketentuan sebagai berikut….” Diubah menjadi “….paling sedikit sebagai berikut….” Artinya penghitungan pesangon minimal mengacu pada aturan undang-undang, namun pekerja/buruh atau serikat buruh dapat merumuskan penghitungan pesangon di atas aturan undang-undang sepanjang terdapat ada kesepakatan dengan perusahaan.

Sebagai tambahan catatan dalam putusan Mahkamah Konstitusi ini, Majelis Hakim juga memberikan dua pandangan/pendapat yang sangat penting [baca putusan halaman 675-677] untuk dicatat, diperhatikan oleh serikat buruh, dan kemudian menjadi acuan dalam merumuskan tindakan-tindakan ke depan menanggapi putusan ini.

Pertama, bahwa materi/substansi undang-undang ketenagakerjaan (baik UU No. 13/2003 maupun UU Cipta Kerja) telah berulang kali dimohonkan pengujian ke Mahkamah. Setidaknya ada 37 kali permohonan dimana 36 permohonan telah diputus yang mengabulkan 12 permohonan diantaranya. Sehingga materi pengaturan undang-undang ketenagakerjaan tidak lagi utuh dalam satu kesatuan, ada setidaknya 3 aturan besar yang mengatur UU No. 13/2003, UU No. 6/2023, dan berbagai putusan MK di bidang ketenagakerjaan. Pengaturan yang terfragmentasi dalam banyak aturan berpotensi terdapat pertentangan atau ketidaksesuaian antara satu dengan yang lain. Oleh karenanya, menurut Mahkamah Konstitusi pembentuk undang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU No. 6/2023 untuk mengatasi persoalan pengaturan yang terfragmentasi tersebut, selain itu juga merujuk pada pertimbangan Mahkamah Konstitusi dimana sejumlah aturan yang semestinya diatur dalam undang-undang dan tidak dalam peraturan di bawah undang-undang.

Kedua, menurut Mahkamah Konstitusi waktu paling lama 2 (dua) tahun cukup bagi pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang ketenagakerjaan baru yang substansinya menampung materi UU No. 13/2003 dan UU No. 6/2023, serta sekaligus menampung substansi dan semangat sejumlah putusan Mahkamah terkait ketenagakerjaan dengan melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja/serikat buruh.

Membaca, mencermati, dan menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, SERBUK sebagai serikat buruh menyuarakan:

1. Mendukung dan mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi atas pertimbangan hukum dan putusan yang memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh.

2. Meminta semua pihak terkait terutama DPR RI, pemerintah, dan Pengusaha untuk tunduk menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi tanpa syarat.

3. Mendesak DPR RI untuk transparan dan membuka ruang partisipasi yang luas bagi serikat buruh dalam pembahasan dan pembentukan undang-undang ketenagakerjaan yang baru.

4. Putusan ini tidak akan muncul tanpa perjuangan dari serikat buruh, oleh karenanya SERBUK menyerukan kepada rakyat, buruh dan serikat buruh untuk melanjutkan perjuangan yang telah kita tempuh dengan melakukan konsolidasi, mengajukan kebijakan-kebijakan penting yang berorientasi pada perlindungan pekerja/buruh, dan terlibat aktif mengintervensi dan memberikan usulan-usulan dalam pembentukan undang-undang ketenagakerjaan oleh DPR RI sebagai mandat putusan Mahkamah Konstitusi. 

November, 2024

Komentar