Beberapa waktu terakhir, publik dibuat prihatin sekaligus menyoroti persoalan runtuhnya bangunan mushala di kompleks Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo. Diskusi berkembang pada persoalan legalitas, perizinan, dan bagaimana atau siapa yang membangunnya. Namun, pada bagian yang terakhir ini jarang sekali pembicaraan menyinggung hal yang paling mendasar: apa yang menjadi standar utama dari siapa-siapa saja yang membangun semua itu?
Sejauh mata memandang, di balik setiap dinding yang berdiri dan atap yang terpasang, ada tangan-tangan pekerja konstruksi, tukang, dan kuli bangunan yang bekerja dalam teriknya panas, pekatnya debu, dan kerentanan yang dilengkapi risiko tinggi. Sayangnya, perhatian terhadap nasib pekerja konstruksi, para kuli bangunan, sering kali hanyalah imbalan yang tidak seberapa, bukan kebijakan nyata yang melindungi hidup mereka.
Pekerja yang Tak Pernah Diformalkan
Mayoritas pekerja konstruksi di Indonesia masih bekerja tanpa kontrak kerja tertulis. Mereka direkrut secara lisan, dibayar harian atau mingguan, dan dapat diberhentikan kapan saja tanpa kejelasan. Kondisi ini menjadikan mereka sangat rentan terhadap ingkar janji pembayaran, upah yang dibawa kabur oleh mandor, atau penundaan pembayaran tanpa kepastian.
Bahkan, di beberapa kasus, ketegangan akibat keterlambatan atau penghilangan upah bisa berujung pada pengancaman dan kekerasan. Di lapangan, banyak pekerja yang tak tahu kepada siapa mereka bisa menuntut keadilan, karena secara hukum mereka “tidak ada” tidak terdaftar, tidak tercatat, tidak memiliki dokumen kerja apa pun.
Sektor Konstruksi: Risiko Tinggi, Perlindungan Rendah
Sektor konstruksi adalah salah satu sektor dengan risiko kecelakaan kerja tertinggi di Indonesia. Data terbaru menunjukkan bahwa pada tahun 2024 terjadi 462.241 kasus kecelakaan kerja. Dari jumlah tersebut, 0,92 persen di antaranya berasal dari sektor jasa konstruksi. Mungkin tampak kecil secara persentase, tapi dalam angka absolut, ini berarti lebih dari 4.000 pekerja konstruksi mengalami kecelakaan kerja dalam satu tahun.
Namun angka itu bisa jauh lebih besar. Banyak kecelakaan di proyek infrastruktur tidak dilaporkan karena pekerja tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Akibatnya, ketika kecelakaan terjadi, mereka tidak mendapat santunan, perawatan, atau jaminan sosial apa pun. Di mata sistem, mereka bukan pekerja padahal justru merekalah yang membangun pondasi fisik negeri ini.
Rantai Subkontrak yang Mencekik
Masalah lain yang jarang dibicarakan adalah sistem sub–sub kontraktor yang menjadi wajah industri konstruksi modern. Dalam banyak proyek, kontraktor utama menyerahkan sebagian pekerjaan ke subkontraktor, lalu diteruskan ke subkontraktor lain, hingga ke tingkat paling bawah (pekerja harian).
Rantai panjang ini menciptakan tumpang tindih tanggung jawab dan sering kali menyebabkan pembayaran upah yang tersendat. Pekerja di lapisan terbawah menjadi korban dari sistem yang tidak adil upah mereka bisa terpangkas, ditunda, bahkan hilang karena permainan di level atas.
Kurangnya pengawasan dan lemahnya penegakan kontrak di setiap tingkat membuat pekerja konstruksi menjadi pihak yang paling mudah dirugikan, tapi paling sulit menuntut.
Yang Harus Diformalkan: Hubungan Kerjanya, Bukan Hanya Gedungnya
Kita sering bicara tentang bangunan yang tak berizin, tetapi lupa bahwa pekerja tanpa perlindungan jauh lebih darurat. Negara seharusnya tidak hanya menertibkan IMB atau izin proyek, tapi juga memastikan bahwa setiap pekerja yang terlibat dalam proyek Pembangunan itu memiliki status hukum dan hak dasar yang diakui.
Pemerintah perlu membuat kebijakan yang mengakui pekerja konstruksi informal sebagai bagian dari dunia kerja formal, disertai kewajiban kontrak kerja antara pemberi kerja dan pekerja, serta larangan membayar di bawah upah minimum. Selain itu, perlu ada pelatihan bersertifikat yang mudah diakses agar pekerja konstruksi dapat meningkatkan keterampilan dan memperoleh pengakuan profesional yang layak.
Membangun Keadilan, Bukan Sekadar Bangunan
Bangunan yang kokoh tidak cukup berdiri di atas pondasi beton, tapi juga di atas pondasi keadilan sosial. Kita tidak bisa terus membiarkan ribuan pekerja konstruksi bekerja tanpa perlindungan, sementara mereka yang di atas menumpuk keuntungan dari hasil kerja mereka.
Sudah saatnya menempatkan standar yang tepat untuk para pekerja konstruksi, kuli bangunan, di manapun. Langkah penetapan standar ini harus dimulai dengan serius. Seminimal memastikan setiap pekerjaan pembangunan telah menjamin kontrak tertulis, upah layak, jaminan sosial, dan keahlian yang sesuai dari para pekerja konstruksi, kuli bangunannya.
Sudah saatnya kita bertanya ulang: ketika negara menertibkan bangunan tanpa izin, siapa yang menertibkan ketidakadilan terhadap pekerja yang membangunnya?
Apakah gedung-gedung, mushala, bahkan kota-kota terbaik di negeri ini bisa berdiri, jika tidak ada tangan-tangan pekerja yang membangunnya? Apa yang sudah negara berikan pada pekerja-pekerja yang membangunnya tersebut? kecuali nasib buruk, kerentanan, dan angka kecelakaan kerja yang terus meningkat pesat setiap tahunnya.
Oleh: Wahyu Nur Huda*
*Penulis adalah Kordinator Departemen Pendidikan Federasi SERBUK Indonesia