Keputusan pemerintah yang menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional melalui pengumuman resmi pada 10 November 2025 kembali membuka luka sejarah yang belum disembuhkan. Kebijakan ini dibingkai sebagai bentuk penghargaan atas “pembangunan”, “stabilitas”, dan “kemajuan” yang diklaim terjadi pada masa Orde Baru. Namun di balik upacara, medali, dan narasi besar itu, ada kenyataan yang jauh lebih penting: pembangunan Indonesia bukanlah karya seorang penguasa, melainkan hasil kerja kolektif jutaan buruh yang setiap hari bertarung dengan keringat dan risiko keselamatan demi berdirinya negeri ini.
Pembangunan Indonesia Tidak Pernah Berdiri di Atas Nama Satu Tokoh
Selama puluhan tahun, sejarah resmi negara kerap memusatkan perhatian pada para pemimpin. Tetapi kenyataannya, fondasi pembangunan Indonesia berdiri di atas tenaga buruh konstruksi, tukang bangunan, pengemudi truk proyek, pekerja pabrik semen, buruh baja, hingga pekerja informal yang mengangkut material dari pelosok ke pelosok. Merekalah yang membangun jalan raya yang menghubungkan kota, gedung-gedung pemerintahan yang dipakai melayani publik, jembatan yang menjadi urat nadi ekonomi, dan infrastruktur yang menjadi kebanggaan negara.Mereka bekerja dalam kondisi yang keras sering tanpa perlindungan memadai, tanpa kepastian kerja, tanpa jaminan keselamatan, dan tanpa pengakuan. Tidak sedikit yang kehilangan nyawa di lokasi proyek, namun tak satu pun nama mereka masuk dalam upacara kenegaraan. Pembangunan Indonesia adalah kisah panjang pengorbanan yang tidak pernah dihias dengan tepuk tangan.
Jika ada Pahlawan Pembangunan, maka merekalah orang-orang itu.
Pembangunan Bukan Monumen Kekuasaan, tapi Kerja Kolektif Rakyat
Bangunan megah dan proyek besar sering dipakai sebagai simbol keberhasilan penguasa. Tetapi siapa yang meletakkan bata-batanya? Siapa yang mengaduk semen? Siapa yang mengangkat besi bermeter-meter? Siapa yang turun ke tanah tempat fondasi ditanam?Sementara penguasa dipuji, buruh dibiarkan menjadi latar belakang. Narasi resmi negara kerap menghapus peran kelas pekerja, menempatkan mereka hanya sebagai “pelaksana”, bukan pencipta pembangunan. Keputusan pemerintah untuk mengangkat Soeharto sebagai pahlawan hanya memperkuat pola lama: memusatkan penghargaan pada kekuasaan, bukan pada rakyat yang berjuang di garis terdepan pembangunan.
Padahal, tanpa buruh, pembangunan hanyalah rencana di atas kertas.
Mengapa Kita Menolak Status Pahlawan untuk Soeharto
Penolakan ini bukan sekadar reaksi emosional, tetapi upaya mempertahankan integritas sejarah dan membela mereka yang menjadi korban kebijakan negara. Ada beberapa alasan mendasar:1. Jejak Pelanggaran HAM yang Tidak Bisa Dihapuskan
Dari pembantaian rakyat untuk kepentingan politik, pembungkaman kampus, penculikan aktivis, hingga represi terhadap gerakan rakyat masa kekuasaan Soeharto penuh dengan catatan kelam yang tidak bisa dipoles hanya dengan menyebut “stabilitas”.
2. Rezim yang Menindas Buruh dan Membatasi Serikat Pekerja
Orde Baru membatasi kebebasan berserikat. Serikat independen ditekan, gerakan buruh diawasi, dan perjuangan untuk upah layak dianggap ancaman. Buruh bukan diperkuat, tapi dibungkam.
3. Pembangunan yang Tidak Menyejahterakan Pekerja
Infrastruktur memang dibangun. Tetapi nasib buruh konstruksi, yang menjadi tulang punggung pembangunan, justru diabaikan. Mereka bekerja dalam risiko tinggi, tetapi tidak memperoleh perlindungan atau penghargaan yang setimpal.
Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto berarti mengabaikan fakta-fakta ini.
Pahlawan Pembangunan Itu Bernyawa, Bukan Sekadar Nama di Piagam
Kita harus menoleh kepada wajah-wajah buruh yang pulang dengan pakaian berlapis debu. Mereka yang memanjat struktur besi di bawah terik matahari. Mereka yang bekerja malam hari demi mengejar deadline proyek. Mereka yang hidup di bedeng sempit jauh dari keluarga. Mereka yang tak pernah masuk televisi, tetapi jasanya menyentuh setiap aspek kehidupan kita.Pahlawan pembangunan bukanlah mereka yang duduk di belakang meja tanda tangan proyek.
Pahlawan pembangunan adalah mereka yang memanggul batu, mengangkat besi, mengikat baja, dan mempertaruhkan nyawa di lokasi kerja.
Mengembalikan Penghargaan pada yang Berhak
SERBUK Indonesia berdiri bersama kelas pekerja untuk menegaskan bahwa pembangunan adalah hasil kerja rakyat, bukan legenda kekuasaan. Jika negara ingin membangun tradisi penghargaan, maka penghargaan paling pertama harus diberikan kepada buruh pahlawan sejati yang bekerja tanpa pamrih.Menolak Soeharto sebagai Pahlawan Nasional adalah bagian dari upaya memastikan bahwa sejarah tidak lagi ditulis dari sudut pandang penguasa, tetapi dari mereka yang menggerakkan roda pembangunan dengan tenaga dan nyawa.
Pembangunan Indonesia Milik Buruh. Penghargaan pun Seharusnya Milik Buruh.
Negara boleh mengukir nama penguasa di monumen. Tetapi sejarah Indonesia yang sesungguhnya diukir oleh buruh. Tidak ada Pahlawan Pembangunan yang lebih layak dihormati selain buruh kontruksi.Tolak Soeharto sebagai Pahlawan!
Hargai Buruh Kontruksi sebagai Pahlawan Pembangunan Sesungguhnya!