KPBI: Reformasi Agraria Akan Tingkatkan Upah Buruh.

 


Jakarta – Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menyatakan dukungan pada para petani dalam perjuangan reforma agraria. Pernyataan ini dinyatakan KPBI, bertepatan pada peringatan Hari Tani Nasional yang ke-56 pada 24 September 2016.

“KPBI mendukung program reforma agraria, karena persoalan petani di pedesaan karena sangat erat kaitannya dengan perjuangan hidup kaum buruh. Jika petani punya lahan garapan, para petani tidak perlu terpaksa lari ke kota menjadi kuli dan buruh industri,” ujar Michael, Sekjend KPBI.

Berlimpahnya tenaga upahan di pusat-pusat industri yang terbatas, membuat posisi tawar tenaga kerja menjadi lemah. “Hukum penawaran dan permintaan berlaku dalam skema pasar tenaga kerja. Jumlah pencari kerja melebihi lapangan kerja yang bisa disediakan. Disinilah kemudian politik upah murah, menekan upah buruh,” sambung Michael.

Michael menambahkan, kelebihan pasokan tenaga kerja selalu menjadi dalih praktek outsourching dan kontrak berkepanjangan yang menyalahi Undang-undang Tenaga Kerja 13/2003. “Jutaan orang menumpuk di sentra industri, mereka rela menerima kerja apa saja dan status kerja apa saja, demi bertahan hidup,” ujarnya.

Ia lebih jauh memaparkan, arus urbanisasi ke kota lahir dikarenakan kemiskinan yang meluas di pedesaan akibat ketimpangan struktur kepemilikan lahan. Pada tahun 2013, Rusman Heriawan, mantan wakil Menteri Pertanian, membeberkan data, 40 juta keluarga petani cuma menguasai lahan 0,3 hektar. Yang kemudian mengakinatkan arus urbanisasi yang reguler ke kota.

Untuk itu, KPBI juga menyerukan pada seluruh buruh untuk mendukung para petani mendesakan reformasi agraria. Dengan mempunyai lahan garapan kaum tani beserta keluarganya akan mampu memenuhi kehidupan dan meningkatkan daya belinya. Upah buruh tidak akan ditekan serendah-rendahnya.

Produksi buruh secara nasional juga akan terserap pasar karena meningkatnya daya beli masyarakat di desa. “Kerjasama dan koordinasi kerja antara buruh-tani dengan buruh-pabrik, akan memberikan corak istimewa pada perekonomian kita sekarang dan mendatang. Sehingga tidak lagi bergantung pada investasi luar dan mudah terombang-ambing krisis perekonomian global,” tuturnya.

Fungsi sosial tanah saat ini dinilai Michael telah hilang, diganti menjadi fungsi penumpukan kekayaan dan investasi modal. Seperti kembali berkuasanya perusahaan perusahaan raksasa perkebunan, pertanian dan tanaman industri. “Kehadiran mereka jelas meminggirkan petani. Perkebunan-perkebunan skala raksasa ini mendapatkan legitimasinya dari Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH),” katanya.

Legitimasi itu memunculkan konflik agraria yang kerap mengorbankan petani. Konflik agraria belum akan menunjukkan tanda-tanda akan menyusut. Pada periode tahun 2004-2014, terjadi perluasan konflik agraria. Sebanyak 1.354 petani ditangkap, 553 orang luka-luka, 110 orang tertembak peluru aparat dan 70 orang tewas. Sementara memasuki era rejim Jokowi situasi tidak jauh berubah.

Sementara itu, Ketua KPBI, Ilhamsyah mengatakan bahwa tercatat pada tahun 2015, terjadi 252 konflik agraria dengan melibatkan luasan lahan 400.430 ha dan mencakup 108.714 KK. Di era rejim Jokowi konflik agraria terbanyak terjadi di sektor perkebunan sebanyak 127 kasus (50%), infrastruktur 78 kasus (28%), kehutanan 24 kasus (9,60%), pertambangan 14 kasus (5,2%) dan lain-lain.

“Setidaknya terdapat tiga masalah besar dalam lapangan agraria kita. Pertama, ketimpangan struktur kepemilikan dan pengusahaan tanah sebagai akibat dari monopoli penguasaan tanah baik oleh badan usaha maupun perorangan. Kedua, masalah konflik agraria yang tak kunjung selesai dan bahkan terus betambah. Ketiga, kerusakan lingkungan akibat akumulasi primitif perusahan-perusahaan besar perkebunan, tambang dan Hutan Tanaman Industri (HTI),” ujar Ilhamsyah. Akibat dari ketiga hal tersebut banyak rakyat tani dan keluarganya yang terampas lahan garapannya beralih pekerjaan menjadi buruh kasar, kuli bangunan atau merantau ke kota.

Rezim yang saat ini berkuasa, Jokowi-JK meski telah mempunyai program Reforma Agraria, bahkan telah dibuat strategi nasional reforma agraria, namun seperti meneruskan program rezim sebelumnya, SBY, menganggap RA hanya soal bagi-bagi tanah. “Seperti jauh panggang dari api, membagi-bagikan tanah dalam program redistribusi 9 juta hektar dari tanah eks HGU yang telah habis masa berlakunya. Plepasan kawasan hutan tidak akan menyelesaikan tiga masalah besar agraria. Sementara perampasan tanah rakyat terjadi setiap harinya,” tegasnya.

Menurutnya, tanpa mengubah total struktur kepemilikan lahan disertai program ikutan lainnya, maka sertifikasi tanah hanya akan meluaskan Land Market atau pasar tanah. Kekuatan modal selanjutnya akan memangsa petani-petani kecil dalam arus jual beli lahan. Kosentrasi alat produksi, termaksud tanah, akan kembali jatuh ke segelintir orang. “Mari kita teliti lebih jauh mengenai persoalan ketimpangan lahan. Di Sulawesi Tengah, jumlah petani gurem sejak tahun 2003 hingga tahun 2013 meningkat 5,92%. Peningkatan jumlah petani gurem tersebut karena terjadinya perampasan lahan oleh perusahaan-perusahaan swasta untuk dibangun perkebunan skala besar,” tandasnya.

Dalam pernyataan sikapnya, KPBI mendorong kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia harus melihat persoalan agraria dalam perspektif politik yang jelas. “Reforma Agraria adalah penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria. Terutama tanah untuk kepentingan petani penggarap, buruh tani, dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah pedesaan,” pungkasnya. (gum)