Bincang dengan Luviana, Ridlo, Gonjes : BAND INI HARUS KITA DOKUMENTASIKAN!

 

Oleh : Khamid Istakhori

Bersama Luviana, salah seorang pengurus AJI Jakarta yang kemarin hadir dan bersolidaritas dalam Konser Perlawanan SERBUK Indonesia, saya terlibat dalam perbincangan sederhana. Tapi, saya berpikir keras sesudah pulang ke rumah. Ini, mengenai band-band indie yang tersebar dimana-mana. Perbincangan terjadi, ketika Husain dan Ridlo sedang memamerkan kolaborasi puisi dan lagu. Saya, begitu GR, sebab pembuka pembicaraan kami berdua adalah sebuah lagu yang sedang dipentaskan Ridlo. Liriknya, berasal dari puisi yang saya tulis berjudul Anak-anak  Bukan Semen. Lagu yang saya dedikasikan untuk anak-anak di Kampung Timbrangan dan Tegaldowo, ditulis pada Desember 2014 di Rembang. Ridlo butuh waktu lebih dari 5 bulan untuk mengaransemen lagu itu menjadi seperti sekarang.

“Mari kita hitung,” demikian Luvi membuka pembicaraan,”  Ada berapa Grup band dalam pentas siang ini?”. Menjawab pertanyaan Luviana, saya menyebutkan beberapa grup band yang tampil : PKP Band (Pindo Deli), Bfriend (Siamindo), BMJ Band (Bukit Muria Jaya), Diponers 74 (LBH Jakarta), Gambar Tempel (Subono dkk),  Ridlo Sorak (SERBUK Jogja) dan Red Squad (FPBI). Saya menuliskan nama Red Squad paling akhir sebab –diantara sekian Band yang tampil– merekalah Band yang paling populer kemarin, indikasi sederhananya adalah semua penonton tumpah ke tengah ketika mereka perform di (sialnya) semua penonton hafal lagu mereka! Nyonyor Numpang Tenar, Kepal Genk dan Marjinal tidak saya masukkan dalam kelompok ini sebab mereka telah lebih “mapan” dengan reputasi yang lebih jauh.

Apakah kita butuh Festival Band Indie? Saya bertanya setengah menyelidik. Apapun, Mas! Jawab Luvi dengan singkat. Kita bisa memulai dengan cara yang lebih sederhana. Misalnya melakukan inventarisir. Dalam event pagi ini saja ada 7 grup band, padahal belum semua kita undang. Lalu, meminta rekaman dari penampilan versi mereka untuk kita dokumentasikan. Nah, langkah selanjutnya adalah meminta kawan yang memang paham musik untuk membuat semacam klasifikasi sederhana. Tugas selanjutnya lebih mudah ketika kita sudah punya data yang lebih lengkap.

Saya, jadi teringat perbincangan dengan Wilson beberapa tahun lalu ketika bertemu dalam sebuah mini konser di Jakarta, waktu itu Fajar Merah sedang perform. Wilson, mengusulkan sebuah kompilasi album yang berisi grup band dari berbagai federasi. 10 Federasi, 10 Grup Band, 20 lagu, 1 lagu perjuangan yang sudah populer, 1 lagu ciptaan mereka sendiri. Ide itu kemudian mandeg sebab lama tak kembali dibicarakan.

2 hari sebelumnya, Ridlo berbincang dengan saya disela pembukaan Kongres 2 SERBUK. Dia bertanya tentang apa yang bisa dilakukan oleh seorang seniman musik untuk pergerakan buruh? Pertanyaan ini, lebih saya maknai sebagai sebuah kegelisahan. Ridlo, anak muda yang belia. Pernah menelusuri metromini, kopaja, mikrolet dan bis di seputaran Terminal Blok M sebelum kemudian tinggal di Jogja. Entah bagaimana mulanya ia bertemu dengan Husain dkk tergabung dalam SERBUK Jogja yang sekarang terlibat pengorganisasian buruh konstruksi di Jogja. Saya mencoba menjawab pertanyaan susah itu dengan ilustrasi sederhana bahwa setiap orang punya peran masing-masing, tapi tetap dalam kerangka pikir yang sama : BERJUANG. Buruh yang bekerja di pabrik, telah menunjukkan kelasnya dengan berjuang. Berserikat. Aksi. Melakukan perlawanan. Merekalah pelopornya! Waktu mereka sudah sedemikian habisnya untuk bekerja dalam jam kerja yang panjang, dalam himpitan majikan yang kejam, setengahnya lagi mereka gunakan waktu untuk berserikat, bersosialisasi, berdiskusi. Hanya sedikit yang tersisa untuk hidup bersama keluarga di kontrakannya. Pulang ke kampung menengok orang tua. Jangan paksa mereka untuk melakukan pekerjaan lain yang ada diluar jangkauannya semisal melakukan riset kecil tentang kebutuhan upah, melakukan penelitian tentang kebutuhan kalorinya. Jangan paksa mereka mendokumentasikan perjuangannya sebab tak ada lagi waktu untuk itu. Kepada Ridlo, saya mengatakan dalam perbincangan akhir bersamanya : Tugasmulah wahai anak muda, sebagai seniman untuk hidup ditengah mereka, mendengar keluhan mereka,  merekam kemarahan mereka, mencatat setiap kata perlawanan mereka dan kemudian menyebarkannya sebagai suara perjuangan melalui lagu yang keluar dari mulutmu! Ridlo terdiam, entah paham atau malah semakin bingung.

Saya, ingin menutup tulisan provokasi ini dengan rekaman perbincangan malam sebelumnya bersama Gonjes dan Thole (KEPAL Genk) malam sebelumnya ketika pada pukul 3 dini hari mereka datang dari Jogja dan menginap di Sekretariat SERBUK. Perbincangan yang lelah dan ngantuk sebab satu jam sebelumnya kami harus dibangunkan dari tidur lelah kami akibat mobil yang mereka tumpangi kecempung selokan di dekat sekre kami. Gonjes dan Thole kurang lebih mengatakan seperti ini : kami –KEPAL Genk—akan kembali bertemu dengan semua kawan. Buruh, Petani, Miskin kota, mahasiswa. Terlalu lama, kami hidup dalam ruang sempit dengan diri kami. Kami harus mendengar kembali dengan seksama, penuh kerendahan hati, bersabar mencatat semua kehidupan mereka. Kami, harus bertemu dengan semua buruh, tak peduli dari serikat manapun sebab pada dasarnya semua buruh adalah sama. Ini, adalah awal sebuah kerja bersama yang besar. Mengabarkan perlawanan mereka dengan lagu, lukisan, mural di tembok kota, sablonan kaos, cerpen atau apapun.

Sepertinya perbincangan ini akan berbuntut panjang. Saya belum mendengar komentar Nyonyor, saya belum bertanya pada Agung, saya belum juga berdiskusi dengan Alghiffari Aqsha tentang hal ini.

ENTAH, LALU APA SESUDAH INI?