Husain dan Ridlo SORAK : Dari Jogja Untuk KPBI!

 


Anak-anak bukan semen

Yang bisa kau olah

Menjadi patung yang meski elok

Tetap tanpa jiwa

Atau mengecor jalanan

Lalu mengeras dan terlindas

Dan beterbangan debunya.

Anak-anak bukan patung semen

Di tanah mereka

Ia bertumbuh menjadi dirinya

Bersama hijau lestari

Dan masa depan yang tak berpolusi janji

Bawa semenmu kemana saja kau suka

Tapi jangan kau renggut ceria anak-anak kami.

Tiba-tiba, suasana panggung menjadi hening ketika Husain dan Ridlo, 2 organiser Serikat Buruh Kerakyatan Yogyakarta itu mulai memainkan aksi teatrikal mereka di Panggung deklarasi Kongres 1 KPBI, di Bogor pada 2 September 2016. Meski suara mereka bertarung melawan suara hujan yang mendera, suara Ridlo mengiris sore yang dingin itu. Petikan gitar akustik yang dimainkan Ridlo, memainkan nada-nada yang energik mengiringi berbait puisi yang dibacakan oleh Husain dengan improvisasi yang apik.

Husain, saat ini tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri, Sunan Kalijaga Yogyakarta, sementara Ridlo adalah buruh pada sebuah toko HP di Yogyakarta. Mereka, tergabung bersama sekitar 30 orang anak-anak muda di Jogja yang menggerakkan berbagai aktivitas. Sebut saja, kegiatan pendampingan belajar anak-anak pinggir kali Code, membangun rumah baca TURUNAN –nama ini berarti Turun-an, atau tempat yang curam sebab perpustakaan ini memang berada di sisi jalan yang menurun–, berteater dan juga membangun basis produksi. Aktivitas pertama mereka dimulai saat peringatan hari Buruh Internasional di Jogja, 1 Mei 2016 lalu.

Pramono, salah seorang mentor yang berperan membangun tim di Jogja menjelaskan bahwa sejak awal, para organiser muda ini memang dididik dengan pemahaman dasar bahwa mereka harus mencari referensi utama dari masyarakat, bukan sekedar buku di rak perpustakaan. Masyarakat, rakyat, Buruh, anak-anak pinggir kali adalah sumber literasi yang bergerak dinamis memperkaya ketajaman perasaan mereka sehingga mereka akan menjadi lebih peka. Tanpa interaksi langsng dengan rakyat yang bergerak, intelektualitas mereka hanya pemahaman kosong semata.

Sesudah pementasan itu, Husain bercerita lebih lengkap mengenai aktivitas mereka di Jogja. Rumah Baca Turunan sudah mulai lengkap buku-bukunya, salah satunya berasal dari sumbangan beberapa kawan. Kami tetap bersemangat mengajak anak-anak pinggir kali Code itu belajar meskipun bulan depan kontrakan akan habis. Selain membaca di perpustakaan, anak-anak juga kami ajak berpetualang menyisir kali, menemukan sumber belajar yang beragam dan aktivitas lainnya semisal melukis, menulis dan berteater.

Sementara Ridlo, buruh toko Handphone yang sudah mengaransemen beberapa lagu hasil karyanya sendiri adalah pengamen di bilangan Blok M Jakarta sebelum kemudian memutuskan ke Jogja untuk bergabung bersama kawan-kawannnya. “Saya berasal dari Gresik. Sebuah kota yang sudah mulai rusak karena industrialisasi. Gotong royong mulai tergerus dan individualistik menjadi pilihan paling mudah,” jelas Ridlo sore itu. Tangannya asyik mengatur nada gitar, sambil mematutkan suara. “Lagu pertama yang saya nyanyikan tadi, lirik dan arransemennya saya buat sendiri,” sambung dia bercerita tentang beberapa karyanya.

“Kami ingin belajar dari kawan-kawan buruh,” kata Husain. Kemudian Husain juga bercerita lebih panjang mengenai interaksinya dengan buruh. Buruh itu asyik, mereka berkelompok dalam serikat. Mereka belajar berserikat sambil menguatkan dirinya melawan penindasan di tempat kerjanya. Nah, kami yang masih belajar di kampus harus melibatkan diri dengan mereka agar kami mendapatkan pembelajaran langsung, bukan sekedar adu teori saja. Selain aktivitas mengorganisir dan berkesenian, Husain, Ridlo dan kawan-kawan SERBUK Jogja juga sedang membangun sebuah kegiatan ekonomi. “Kami belajar berproduksi. Ada satu home industri yang memproduksi roti. Ketika tidak kuliah kami ikut menjadi “buruh” disana. Merasakan wajah kami terbakar panas oven. Sore ketika kami kuliah, kami menjual roti tersebut di lingkungan kampus. Pengalaman ini sungguh menjadikan kami berdaya,” jelas Husain antusias.

Sore segera berganti malam. Sambil masih ditingkahi rintis gerimis yang berkejaran mematuk atap gedung Nusa Bangsa, kami masih terus berbincang mengenai banyak hal. Ridlo, kembali menggumamkan bait-bait lagu berjudul Anak-anak Bukan Semen. Menurut Ridlo, lagu Anak-anak bukan Semen dia arransemen cukup lama. Saya butuh waktu hampir 4 bulan sehingga didapatkan nada yang pas. Lagu ini, berisi semangat solidaritas kepada para pejuang Penolak Semen di Rembang yang hingga kini bergulat melawan arogansi PT. Semen Indonesia.

Anak-anak, pada gilirannya akan menjadi korban paling nyata dari konflik ini. Mereka, kelak akan kehilangan lingkungan yang lestari dan juga polusi yang meracuni mereka…..

Anak-anak bukan patung semen

Di tanah mereka

Ia bertumbuh menjadi dirinya

Bersama hijau lestari

Dan masa depan yang tak berpolusi janji

Bawa semenmu kemana saja kau suka

Tapi jangan kau renggut ceria anak-anak kami.


Terima kasih Husain, terima kasih Ridlo. Kegigihan kalian, kelak akan berbuah hebat. Teruslah bergerak berama buruh yang berlawan (khi)