Rentan Kecelakaan dan Upah Minim, Buruh Konstruksi Deklarasikan Serikat Buruh Konstruksi Indonesia (SBKI).

 


Siaran Pers, Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) Indonesia. Senin, 13 Maret 2017

Sebagian besar orang beranggapan serikat buruh hanya untuk pekerja formal di pabrik. Pemandangan kegiatan serikat jauh dari buruh konstruksi. Namun, anggapan ini tidak berlaku bagi para anggota Serikat Buruh Konstruksi Indonesia (SBKI). Menghadapi gaji yang sering disunat, tekanan kerja besar, dan lingkungan kerja berbahaya, para buruh anggota SBKI meneguhkan komitmen berjuang bersama melalui serikat buruh. Federasi Serikat Buruh Kerakyatan Indonesia mengadakan deklarasi SBKI tepat pada peringatan World Work Social Day 2017, Jumat, 10 Maret 2017 di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Buruh Konstruksi Penyumbang Utama Kecelakaan Kerja

Di hadapan 400 orang yang hadir dalam acara itu, Galeih Yudi Setiyawan, Ketua Panitia Deklarasi menyatakan panitia sengaja merangkaikan deklarasi dengan Seminar Nasional bertajuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai Hak Asasi Buruh. “Sektor Konstruksi, menyumbang angka terbesar hingga 30% pada kecelakaan kerja di Indonesia yang berujung pada kematian buruh,” tegas Galeih. Selain itu¸Galeih menegaskan bahwa kondisi K3 di sektor konstruksi yang sangat buruk menjadi faktor utama penyebab kecelakaan kerja.

Kondisi buruh konstruksi yang rentan bahaya, sudah berlangsung sangat lama. Ketiadaan regulasi yang melindungi mereka serta minimnya pengawasan dari Dinas terkait semakin memperburuk kondisi tersebut. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Propinsi DI. Yogyakarta Edris effendi mengatakan ada sekitar 3.400 perusahaan di Yogyakarta dengan hanya tersedia 17 orang pengawas. “Ini artinya, seorang pengawas harus mengawasi 200 perusahaan,” katanya.

Padahal, menurutnya, seorang pengawas dalam sebulan hanya mampu mengawasi 8 perusahaan saja, artinya ada 192 perusahaan yang tidak terawasi. Di luar perusahaan yang dibidang manufaktur, ada banyak proyek insfrastruktur yang berjalan tanpa pengawasan, disitulah buruh konstruksi berada.

Selain kecelakaan kerja yang mengancam, buruh konstruksi juga menghadapi permasalahan kompleks lainya semisal masalah upah, BPJS, jam kerja yang panjang dan hubungan kerja yang longgar.

Berkaitan dengan upah, buruh konstruksi mengalami masalah serius. Upah mereka sangat rendah sebab bisa jadi, upah mereka disunat berkali-kali. Dari perusahaan kontraktor harus melalui beberapa perpindahan tangan sampai ke tangan mandor dan baru diterima. “Buruh konstruksi terbiasa menerima 60 % saja dari upah yang semestinya dibayarkan,” kata Husain Maulana, Sekretaris Komite Wilayah SERBUK Indonesia wilayah Yogyakarta.

Upah yang rendah tersebut, diperparah dengan keterlambatan pembayaran. Biasanya, para mandor akan menahan upah untuk menekan agar para buruh menyelesaikan target pekerjaan lebih cepat. Konsekuensinya, buruh harus bekerja dalam jam kerja yang panjang dan melelahkan sehinga ancaman kecelakaan kerja lebih sering terjadi.

Menanggapi hal tersebut, Darisman –praktisi K3 dari Local Initiative on OSH Networking Indonesia—menanggapi secaraserius kondisi ini. Menurutnya, problem dasarnya adalah undang-undang K3 yang sudah usang. “Undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan kerja sudah usang, saat ini sudah berusia 47 tahun sehingga tidak lagi mampu merespon perkembangan sektor konstruksi yang sangat pesat. Maka, Undang-undang ini harus segera diperbaiki,” jelas Darisman dalam Seminar Nasional K3. Ketiadaan sanksi dan sanksi / denda yang sangat rendah membuat pengusaha konstruksi memilih abai terhadap resiko kecelakaan kerja.


Berdiri Sejajar dengan Pemberi Kerja

Slamet Raharjo, Ketua SBKI, dalam deklarasinya menyatakan bahwa dirinya dan buruh konstruksi menyadari ketiadaan daya tawar dihadapan majikan. Maka, kami membutuhkan alat perjuangan untuk mengubah kondisi tersebut. Alat itu, ya Serikat Buruh. “SBKI, kami harapkan menjadi alat kami untuk berdiri sejajar dengan majikan kami. Kami berharap, ada perubahan nasib kami sesudah berjuang dengan organisasi,” jelas Slamet penuh keyakinan. Slamet Raharjo, memimpin SBKI yang sebagian besar bekerja sebagai buruh konstruksi di berbagai proyek insfrastruktur milik pemerintah dan swasta. Mereka, berasal dari berbagai daerah di Jawa tengah dan Yogyakarta seperti Gunung Kidul, Wonogiri, Semarang, Temanggung, Purbalingga dan juga Solo.

Husain Maulana, Sekretaris Komite Wilayah SERBUK Indonesia wilayah Yogyakarta menjelaskan proses pengorganisasian yang cukup panjang selama setahun belakangan. Kesulitan demi kesulitan dihadapinya hingga berhasil meyakinkan para buruh konstruksi tersebut berserikat. “Masalah utama yang dihadapi para buruh adalah informalisasi yang berlangsung terus menerus, mereka hanya direkrut ketika ada proyek saja, sesudahnya mereka mengganggur,” jelas Husain. Buruh yang tidak lagi bekerja di sebuah proyek, akhirnya menganggur atau bekerja serabutan sebagai pedagang di pasar, bertani atau bekerja apa saja untuk menghidupi keluarganya.

Federasi SERBUK Indonesia menjelaskan pengorganisiran buruh konstruksi merupakan bagian dari fokus program perjuangan nasional untuk memperjuangkan K3. Serbuk Indonesia yakin pengurangan angka kecelakaan di sektor konstruksi akan mengerem laju kecelakaan kerja. “SERBUK Indonesia menduga, data yang ada ini hanya semacam puncak gunung es, sebab kejadian yang sebenarnya jauh lebih besar,” jelas Subono, Sekjen SERBUK Indonesia.

SERBUK Indonesia juga menyerukan serikat-serikat yang ada di Indonesia untuk bersatu mengatasi masalah kecelakaan kerja tersebut. SERBUK Indonesia juga menyerukan agar persoalan K3 menjadi arus utama perjuangan bersama serikat buruh di Indonesia.


Narahubung :

Husain Maulana, Sekretaris Komite Federasi SERBUK Indonesia wilayah Yogyakarta, 62 857-4588-6950

Happy Nur Widiamoko, Koordinator Federasi SERBUK Indonesia wilayah Yogyakarta, 62 878-3922-0345