8 Jam Kerja Bukan Hadiah!

 


Karawang – 4 april 2017. Dicky Kastanya, Bendahara Umum Federasi SERBUK Indonesia menyatakan bahwa hari ini buruh sudah mendapatkan hak 8 jam kerja sesuai konvensi ILO. Hal itu, dimungkinkan karena perjuangan masa lalu yang sangat revolusioner. Betapa tidak, May Day yang sebentar lagi akan kita peringati dengan berbagai perayaan tersebut adalah awal perjuangan lahirnya ketentuan 8 jam kerja.

“Dulu, buruh bisa bekerja melebih 8 jam. Bisa 12, 18 atau bahkan 20 jam kerja di perusahaan sehingga dapat dikatakan buruh kehabisan waktu untuk dirinya, keluarganya dan anak-anak karena habis harus bekerja dengan jam kerja yang panjang,” kata Dicky, yang di kalangan pengurus SERBUK Indonesia populer dipanggil Opa Dicky.

Lebih lanjut Dicky menerangkan bahwa tanpa ketentuan 8 jam kerja, dipastikan akan terjadi kekacauan politik dimana-mana. “Apa yang terjadi kalau buruh perempuan kerja di pabrik garmen 12 jam? Guru mengajar 16 jam? buruh tambang kerja 21 jam?” gugat Dicky. Untuk itulah, May Day adalah momentum yang pantas untuk mengenang kembali hasil perjuangan yang revolusioner tersebut.

Tapi, dalam pandangan Dicky, kondisi itu sekarang bergeser ketika 8 jam kerja bukan lagi hal yang “sakral” bagi buruh sebab para majikan merampok kembali dengan berbagai cara. Buruh di Pabrik bisa kerja melebihi 8 jam dengan alasan lembur. Buruh “ngotot” kerja lembur sebab upahnya kecil dan tidak mencukupi. Atau di pabrik garmen, jam kerja berarti target. Kalau sebuah line produksi belum tercapai target, maka buruh wajib lembur dan ironisnya, ini dianggap sebagai hukuman oleh majikan karena kesalahan.

Dicky, memberikan pesan penting berkaitan dengan 8 jam kerja. “8 jam kerja bukan hadiah dan sekarang sedang dibajak, maka mari rebut kembali,” ungkap Dicky dengan nada lantang.