Hilangnya Pekerja di PILKADA DKI Jakarta 2017

 


Bicara pemilihan kepala daerah (Pilkada) tentu kita berbicara soal demokrasi, yang artinya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Begitu pula dengan Pilkada DKI Jakarta. Semua yang terjadi dari awal, proses hingga hasil Pilkada DKI Jakarta, muaranya harus untuk warga DKI Jakarta. Tidak terkecuali para pekerja di DKI Jakarta yang jumlahnya berkisar 5 jutaan orang.

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta sendiri telah memunculkan 2 pasangan calon yang akan maju pada putaran kedua, yakni pasangan Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Kedua pasangan tersebut maju setelah masing-masing mendapat 2.364.577 suara atau 42,99 persen dan 2.197.333 suara atau 39,95 persen. Sementara pasangan nomor urut satu, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni tersingkir karena hanya mendapat suara 937.955 suara atau 17,05 persen.

Tingkat partisipasi pemilih di Pilkada DKI Jakarta juga terbilang tinggi yakni 5.564.313 suara atau sekitar 75,75 persen. Jumlah itu merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Pilkada DKI Jakarta. Sebab, pada Pilkada 2007 hanya sebesar 66 persen dan Pilkada 2012 sebesar 65 persen.

Tentu kita perlu berterimakasih kepada semua pihak yang sudah bekerja keras yang sudah menyukseskan Pilkada DKI Jakarta. Di antaranya KPU Jakarta dan Bawaslu, serta para pasangan calon bersama tim suksesnya. Dan juga masyarakat Jakarta yang sudah secara sadar untuk berdemokrasi.

Banyak faktor memang yang mempengaruhi tingginya partisipasi pemilih di Pilkada DKI Jakarta 2017. Tapi, 2 faktor penting menurut saya yang juga menentukan yaitu program kerja dan debat yang digelar KPU Jakarta. Setidaknya ada 3 kali debat yang digelar oleh KPU DKI Jakarta pada putaran pertama. Beberapa isu yang diangkat dalam ketiga debat tersebut antara lain sosial ekonomi, lingkungan dan transportasi, pendidikan, reformasi birokrasi, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat Jakarta.

Sayangnya dari ketiga debat tersebut tidak ada satupun yang menyinggung soal upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta. Baik itu pertanyaan yang disediakan oleh tim KPU DKI Jakarta maupun ketiga pasangan calon yang maju dalam pilkada Jakarta. Padahal setidaknya ada 2 tema yang bisa menjadi pintu bagi KPU DKI Jakarta dan pasangan calon untuk membahas UMP yaitu sosial ekonomi dan peningkatan kualitas hidup masyarakat Jakarta.

Begitu juga dengan program kerja masing-masing calon. Belum ada yang menyebut secara spesifik soal UMP DKI Jakarta. Kedua pasangan calon masih berkutat pada persoalan kesejahteraan pada tataran normatif. Padahal UMP DKI Jakarta merupakan tolok ukur terdekat untuk menilai pekerja di Jakarta sudah sejahtera atau belum. Apakah pekerja Jakarta sudah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka atau belum dari upah bulanan.

Isu UMP DKI Jakarta juga penting dibahas oleh KPU DKI Jakarta dan kedua pasangan calon pada putaran kedua. Sebab UMP DKI Jakarta saat ini kalah atau tertinggal dari Kabupaten Karawang yang sebesar Rp 3.605.271 dan Kota Bekasi sebesar Rp 3.601.650. Sementara Jakarta yang merupakan ibukota negara dan pusat perekonomian di Indonesia, upah minimumnya hanya sebesar Rp 3.355.750. Angka ini hanya naik 8,25 persen dari UMP 2016 yang sebesar Rp 3,1 juta.

Karena tidak ada pembahasan UMP, artinya pada pemilihan putaran pertama, pekerja di Jakarta tidak memperoleh asupan informasi yang cukup soal rencana yang akan diambil calon gubernur jika terpilih. Jutaan pekerja itu hanya memilih pemimpinnya tak ubah seperti membeli kucing dalam karung. Sehingga ketika Gubernur DKI Jakarta baru terpilih, para pekerja di DKI Jakarta tidak memiliki pegangan apa-apa yang bisa dijadikan rujukan untuk membahas upah mereka.


Pekerja informal

Persoalan pekerja lainnya yaitu perlindungan terhadap pekerja informal di DKI Jakarta. Jumlah pekerja informal di berbagai daerah biasanya lebih besar jika dibandingkan dengan pekerja formal. Tidak terkecuali di Jakarta. Hal ini dipicu tidak seimbangnya lapangan kerja dengan angkatan kerja yang ada.

Berbeda dengan pekerja formal yang sudah mendapat jaminan dalam Undang-undang Nomor 2013 tentang Ketenagakerjaan, pekerja informal relatif tanpa jaminan apapun. Bahkan untuk hak-hak normatif yang sudah lumrah dinikmati pekerja formal seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenakerjaan dan upah minimum provinsi, sebagian besar dari mereka masih belum mendapatkan.

Jenis pekerja informal di Jakarta selain itu juga cukup beragam di Jakarta. Hal ini seiring dengan perkembangan teknologi digital yang berkembang pesat saat ini. Lapangan-lapangan pekerjaan baru bermunculan di industri kreatif, jasa dan sebagainya di Jakarta. Sayangnya, perusahaan-perusahaan lebih senang menggunakan pekerja informal dibandingkan memiliki pekerja tetap dengan beban biaya yang lebih besar.

Ini tentu menjadi tantangan sendiri bagi Gubernur DKI Jakarta terpilih nantinya. Bagaimana melindungi warganya yang bekerja di sektor informal. Bagaimana memastikan setiap warganya yang bekerja dapat terjamin kesehatannya dan mendapat pensiun seperti pekerja formal lainnya.

Pembahasan isu seputar upah minimum dan perlindungan pekerja informal tentu akan menarik jika disampaikan dalam sisa masa kampanye dan debat pilkada yang akan digelar KPU 12 April mendatang. Ini tentu jauh menarik daripada kita berbicara isu SARA yang terus menjadi perdebatan di Pilkada DKI Jakarta. Sebab, akan ada 5 jutaan orang yang memantengi debat program upah yang menentukan nasib mereka selama 5 tahun ke depan. (www.fspm-independen.org)


-Ketua Federasi Serikat Pekerja Media Independen, Sasmito-