EMID SUHARMIDIN, MAY DAY PERTAMA DAN PERJUANGAN DI TEMPAT KERJA

 


Emid Suhamidin, sore itu mengenakan kaos warna merah yang dipakainya dalam aksi May Day 2017. Itu adalah May Day pertamanya sepanjang hidupnya dan sepanjang karirnya sebagai buruh. “Saya bangga, bersatu dalam barisan panjang berwarna merah dengan panji-panji perjuangan serikat,” ujar Emid.

Peringatan May Day yang heroik, membekas dalam ingatannya sebagai buruh bahwa perjuangan tidak boleh terkungkung dalam tembok pabrik saja. Haruslah keluar dalam sekat-sekat dan bersatu dengan kekuatan yang lebih besar lagi dalam sebuah tema: ‘Buruh untuk Rakyat’.

Apa yang membuatnya berkeputusan untuk berserikat? Pertanyaan ini dijawab dengan sederhana saja. Dia dan kawan-kawannya tidak mau hidup dalam belenggu yang membuatnya bodoh. Di pabrik, tenaganya sudah diperas sampai habis keringat, sampai habis tenaga tapi hasil yang diperolehnya tidak sepadan. “Sebagai buruh yang bekerja di pabrik semen, seharusnya kami masuk upah sektoral yang lebih baik. Dari unsur kimia, pertambangan kami masuk ke UMSK 1 sesuai keputusan Bupati Bekasi,” gugatnya dengan geram. Entah ada permainan apa sehingga ia hanya mendapatkan upah 3,7 juta padahal seharusnya 4,1 juta.

Selain upah, sebagai buruh yang bekerja di pertambangan batu kapur sebagai bahan baku semen, hidupnya dilingkupi bahaya yang mengancam setiap saat. Di tempat kerja ia mesti bergelut dengan udara yang penuh debu, zat kimia berbahaya, suara yang bising, penyakit kulit ancaman lain yang harus dihadapi adalah longsoran dari tumpukan bebatuan yang sangat berbahaya. “Tempat kerja kami berbahaya, tetapi, kami tidak mendapatkan fasilitas K3 yang memadai,” jelasnya mengenai kondisi Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang buruk.

Building and Wood Workers’ (BWI) sebagai afiliasi internasional serikat buruh sektor konstruksi, termasuk di dalamnya semen, dalam risetnya merilis bahwa kesehatan dan keselamatan kerja merupakan kondisi buruk di pabrik semen yang tidak sehat. Ancaman ini, menjadi ancaman yang berbahaya bukan saja bagi buruh tetapi juga masyarakat sekitarnya.


Buruh Kontrak dan Outsourcing Tanpa Perlindungan dan Upah yang Murah

Emid, yang bekerja sejak awal pabrik berdiri, mulai bekerja sejak 16 Maret 2012. Dia bekerja sebagai pengawas alat berat yang memang menjadi keahliannya. Pada 2014, ketika pabrik melakukan uji coba proses produksi, dirinya diangkat menjadi buruh tetap di perusahaan yang memproduksi Semen merek GARUDA ini. Jabatannya adalah foreman yang mengawasi support bahan baku dan masih mengurus alat berat sesuai keahliannya.

Sebagai buruh tetap dengan jabatan foreman, upahnya tetap sama; hanya sebesar UMSK (upah minimum sektoral). Perusahaan sama sekali tidak memberikan tunjangan dan fasilitas dalam bentuk yang lain. Tugasnya, mengawasi pekerjaan di lapangan yang harus ditempuh dengan mengendarai motor, tanpa kendaraan dinas. Perusahaan tidak memberikan uang bensin sehingga dia harus membeli bensin dari kantongnya sendiri.

Berkaitan dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing di perusahaan, Emid menjelaskan bahwa hampir tidak ada perbedaan nasib. Buruh kontrak dan permanen tidak ada perbedaan nasibnya. Hanya mendapatkan upah sebesar UMSK saja sehingga kawan-kawan anggota berkesimpulan tidak ada bedanya menjadi buruh tetap atau menjadi outsourcing. “Kondisi ini sangat ironis, kami menolak tetapi tidak punya posisi tawar yang lebih baik lagi,” ujarnya menceritakan kondisi di pabrik yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu.


Perjanjian Kerja Bersama sebagai Kunci Perubahan

Setelah resmi mendirikan serikat buruh pada 16 Januari 2016 dan kemudian bergabung dengan Serikat Buruh Kerakyatan (Serbuk) Indonesia, dia mendapatkan banyak pemahaman baru. Emid pun mendapatkan kepercayaan sebagai ketua serikat buruh, PT Jui Shin Indonesia-Semen Garuda.

Serbuk secara rutin memberikan materi pendidikan berkaitan dengan hukum perburuhan dan pentingnya perjanjian kerja bersama (PKB). “Kami baru menyadari bahwa kondisi yang lebih baik akan terwujud seandainya kami memiliki PKB,” kata Emid. Dia menyadari bahwa ketika serikatnya kuat maka akan memiliki posisi tawar yang lebih baik di hadapan pemgusaha. Pada saat itulah, serikat bisa mengajukan tuntutan berdasarkan kebutuhan buruh secara nyata.

Untuk mewujudkan cita-cita berunding PKB, dirinya sekarang sedang menggalang dukungan dari semua buruh yang ada di perusahaan dan mengajak mereka untuk bergabung dengan serikat. Ketika anggota serikat bertambah banyak maka kekuatan serikat akan bertambah pula. Namun, niat itu tidak mudah terwujud sebab pihak perusahaan juga tidak berdiam diri. Mereka berusaha memecah kekuatan serikat dengan mendirikan serikat tandingan yang didirikan para bos di pabrik. Dengan berbagai cara, mereka merayu para buruh untuk bergabung dengan serikat tandingan itu. Tapi, Emid tidak menyerah. Dengan berbagai upaya dia meyakinkan bahwa serikat yang dibangun dari kesadaran dan keinginan anggota akan berjuang lebih baik.

“Kami sangat beruntung sebab berbagai kesulitan yang kami hadapi satu per satu dapat kami lalui. Serbuk sebagai federasi memberikan materi-materi pendidikan rutin yang sangat dibutuhkan dan rutin melakukan kunjungan. Kekuatan juga bertambah sebab kita memiliki afiliasi internasional bernama BWI. Banyak materi-materi pendidikan dan kampanye dari BWI yang menguatkan keyakinan anggota di lapangan.

Emid terus merangkai harapan yang kian besar. Sebagai Ketua Serikat di Pabrik Semen, dia berharap, kelak akan terjadi konsolidasi yang lebih besar dengan berbagai pabrik semen yang ada di Indonesia. “Ketika para pengusaha bersatu dalam satu tujuan, maka kami juga harus melakukan hal yang sama,” harap Emid.