SERIKAT BURUH YANG KUAT, K3 DAN KEKUATAN PARA KORBAN

 


Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mencatat rata-rata 1 buruh meregang nyawa setiap 6 jam. Tahun 2015, terjadi 2.375 dari total 105. 182 kecelakaan kerja yang berakibat kematian buruh. Padahal, data ini belum mencakup pekerja informal dan pekerja formal yang tidak tercatat pada BPJS Ketenagakerjaan. Peningkatan angka kecelakaan kerja adalah tren yang harus diturunkan.

Kementrian Ketenagakerjaan mencatat kenaikan kecelakaan kerja meningkat hinga 5% setiap tahunnya. Sebagian besar laju peningkatan itu berasal dari angka kecelakaan kerja berat.

Lebih jauh lagi, sektor konstruksi dan manufaktur masih merupakan penyumbang terbesar kecelakaan kerja di Indonesia. Dua sektor industri tersebut menyumbang 31,9 % dan 31,6 % dari total kecelakaan kerja di Indonesia. Angka ini disusul dengan angka 9,3 % dari sektor Transportasi.

Selain kecelakaan kerja, kematian akibat kerja yang dihasilkan dari masih digunakannya bahan Asbestos di Indonesia. Padahal asbestos sendiri sudah dilarang oleh sebagian negara di dunia karena terbukti menjadi penyebab kanker. Korea Selatan, pada tahun 2009 dan Singapura pada tahun 1989 sudah melarang total asbes. Asbestos, hanya salah satu contoh bahan berbahaya.

Saya meyakini sebuah slogan yang menyatakan bahwa “Hukum Kuat – Penegakan Kuat – Serikat Kuat.” Hal ini dinilai penting sebagai solusi membangun kesadaran bersama dan mendesak pemerintah untuk menurunkan angka kecelakaan kerja di Indonesia. Lebih dari itu, saya menilai penguatan serikat buruh menjadi garda depan untuk mengawasi para pengusaha tidak mengurangi keamanan demi mengejar laba.

Saya menolak berbagai kebijakan liberalisasi ekonomi Presiden Joko Widodo karena berpotensi menambah jumlah buruh tewas akibat kecelakaan kerja. Liberalisasi ekonomi Jokowi memaksakan kemauan investor dalam bungkus “iklim investasi kondusif” dan buntutnya melumpuhkan gerakan buruh. Dengan begitu pengawasan terhadap pengusaha nakal oleh serikat buruh menjadi semakin lemah.

Selain karena undang-undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (UU no. 1 tahun 1970) yang lemah dan tidak up date, tiadanya political will dari pemerintah (baca : pengawas) dan kurangnya Serikat Buruh yang berjuang dan bertarung secara serius untuk urusan K3 ini.

Dalam tubuh serikat buruh independen permasalahan utamanya adalah keterbatasan sumber daya yang memadai secara akademik sehingga tidak dapat bertarung di tripartit nasional.

Poin pentingnya dalam perjuangan melahirkan K3 yang semakin baik adalah :

1. Penguatan Serikat Buruh. Serikat Buruh harus kuat agar dapat berperan dalam mendorong lahirnya berbagai kebijakan baru yang lebih berpihak. Selama ini, Serikat Buruh yang ada di berbagai tripartit nasional tidak berhasil menjalankan peran itu.

2. Mendorong para Korban berorganisasi. Para korban K3 dan juga keluarganya merupakan aktor sebenarnya yang harus diperkuat dengan mendorong mereka bersuara lebih keras.

3. Memasifkan kampanye dan perjuangan dampak buruk asbestos dan bahan berbahaya lainnya serta perjuangan para korban K3.

4. Dengan kekuatan yang lebih besar kita harus mendesakkan perubahan yang lebih sistematis yakni perubahan mendasar atas lahirnya UU K3 baru yang lebih progresif.


(Khamid Istakhori)