Kecelakaan Kerja: Pidanakan Dirut PT. Waskita Karya!



Kecelakaan kerja yang terjadi pada proyek konstruksi pada beberapa perusahaan di bawah pengawasan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih berbuntut panjang. Sebagaimana diberitakan oleh HYPERLINK “http://www.cnnindonesia.com” cnnindonesia.com, Deputi Bidang Usaha Konstruksi dan Sarana dan Prasarana Perhubungan Kementerian BUMN Ahmad Bambang menegaskan rencana perombakan jajaran Direksi pada PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) perseroan yang akan diselenggarakan pada 6 April 2018, jajaran direksi akan dirombak sebagai sanksi atas maraknya kecelakaan kerja akhir-akhir ini. “Kami sudah sampai pada kesimpulan perombakan Waskita Karya harus segara dilakukan,” tegas Bambang di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Rabu (28/2).

Menanggapi rencana tersebut, Direktur Utama Waskita Karya Muhammad Choliq membeberkan kondisi proyek-proyek yang mengalami berbagai kecelakaan itu. Menurutnya, nilai proyek Waskita Karya yang mengalami kenaikan nyaris 100 persen per tahun menyebabkan beban kerja produksi meningkat signifikan sehingga mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja.”Peningkatan besaran proyek tanpa diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang cukup juga merupakan faktor terjadinya kecelakaan,” ungkap Choliq berkilah. Waskita Karya, menurutnya, hanya menambah SDM sebesar 20-30 persen dalam tiga tahun belakangan sehingga tidak sebanding dengan percepatan beban kerja proyek yang mencapai mencapai Rp 45 triliun.

Pernyataan Choliq terkait minimya SDM dalam pengerjaan proyek infrastruktur menegaskan adanya pengabaian terhadap aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Peningkatan nilai produksi itu pun kini tengah dievaluasi oleh direksi Waskita Karya, terutama berfokus pada direksi di level kualitas keselamatan, keamanan, kesehatan dan lingkungan (QHSSE) dan divisi operasi.

Pencopotan Direktur, Cukupkah?

Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) Indonesia Subono menanggapi pernyataan Choliq dari sudut pandang yang berbeda. Menurutnya, pengakuan Choliq merupakan bukti awal bahwa memang terjadi pengabaian dalam pelaksanaan proyek infrastruktur dan harus dijadikan bukti permulaan untuk mengusut berbagai kecurangan yang marak terjadi dalam berbagai proyek konstruksi. Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (UU K3) Nomor 1 tahun 1970 yang sangat ketinggalan selalu menjadi alasan sehingga kita perlu mencari terbososan yang lebih berani.

“Kalau hanya berkutat pada UU K3, semuanya akan berhenti di tengah jalan. Harus ada terobosan pengungkapan kasus ini melalui perangkat hukum lain, misalnya saja menggunakan pasal-pasal dalam KUHP atau Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” tegas Subono di Karawang (2/3).

Pernyataan Ketua Umum SERBUK Indonesia tersebut sangat beralasan apabila dikaitkan dengan ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Polisi bisa menggunakan pasal 359 KUHP dengan ancaman penjara lima tahun karena kelalaian yang menyebabkan kematian orang lain. “Pasal 359 KUHP mengatur bahwa tindakan seseorang yang lalai (alpa) dan menyebabkan kematian, dapat dihukum penjara lima tahun,” desak Subono.

Lebih lanjut, Subono menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Choliq dengan mengabaikan aspek K3 merupakan sebuah kelalaian fatal. Pengusutan secara tuntas oleh aparat kepolisian akan memberikan jaminan kepastian hukum sehingga tragedi serupa tidak akan terjadi lagi.

Selain menggunakan delik yang ada dalam KUHP, seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga bisa mengambil inisiatif penyelidikan atas kasus ini. Terkait hal tersebut, Subono menyatakan analisis tajamnya bahwa penambahan SDM yang hanya 20-30 persen, sedangkan kenaikan nilai proyek mencapai hampir 100 persen menegaskan adanya dua kesalahan sekaligus, yakni potensi penyelewengan dana proyek dan memberikan beban kerja berlebih pada buruhnya.

“Dengan alasan penghematan dan keinginan meraup keuntungan berlebih, Waskita Karya memberikan beban kerja berlebih pada buruhnya. Dilarikan ke mana dana besar itu? KPK harus berani mengungkap hal ini,” tegas Subono. SERBUK Indonesia meyakini bahwa proyek konstruksi merupakan lahan basah terjadinya korupsi sebab di sana ada kucuran dana yang besar dengan pengawasan yang minim sehingga potensi terjadinya korupsi seperti yang terjadi pada proyek Hambalang sangat mungkin terulang kembali.

Terkait dengan pernyataan Deputi Bidang Usaha Konstruksi dan Sarana dan Prasarana Perhubungan Kementerian BUMN Ahmad Bambang yang akan mencopot jabatan Choliq dan melakukan perombakan direksi di PT Waskita Karya, SERBUK Indonesia menyatakan bahwa pencopotan jabatan dan pergantian direksi saja tidak mencukupi, tindakan lebih tegas harus diambil oleh aparat penegak hukum dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kasus ini dan menyeret pihak paling bertanggung jawab atas berbagai kecelakaan yang menyebabkan kematian itu harus dibawa ke ranah pidana.


Quo Vadis Kementerian PUPR dan Kementerian Ketenagakerjaan?

Angka kecelakaan kerja di Indonesia sangat tinggi. Peningkatan angka kecelakaan kerja terus menerus mengalami peningkatan. Sebagaimana data dari Kementerian Ketenagakerjaan, pada 2010 kecelakaan kerja mencapai 98. 711 kasus dan terus mengalami kenaikan. Pada 2013, angkanya mencapai puncaknya dengan 129. 111 kasus.

Dari total kecelakaan kerja, sektor konstruksi merupakan sektor yang paling mematikan dengan memberikan kontribusi 39 persen kasus. Angka sebenarnya bisa lebih tinggi karena banyak kecelakaan kerja tidak tercatat.

Pemerintah terlalu lambat dalam menanggapi berbagai kecelakaan kerja pada proyek infrastruktur tersebut. Ada riak-riak kecil dari Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) ketika menanggapi berbagai tragedi kecelakaan kerja dengan memutuskan untuk menghentikan sementara berbagai proyek infrastruktur tersebut. Langkah berikutnya, Kementerian PUPR menugaskan pada Komite Keselamatan Konstruksi untuk melakukan audit, meskipun tanpa kejelasan apa target besar yang hendak dicapai dan berapa lama dikerjakan.

Sementara, Kementerian Ketenagakerjaan juga menunjukkan sikap yang sama dengan hanya bergumul pada alasan zaman old dengan menyatakan jumlah pengawas yang minim.

Padahal, jika menilik pada kebijakan K3 pada Kementerian Ketenagakerjaan kita akan temukan beberapa kebijakan mendasar terkait K3. Kebijakan itu meliputi: perlindungan dan keselamatan kerja terhadap tenaga kerja, perlindungan jaminan sosial tenaga kerja, penegakan hukum, serta perlindungan masyarakat dan sumber daya lingkungan.

Dalam tataran implementasi, kebijakan tersebut selalu dibenturkan pada kondisi yang tidak ideal sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PPK dan K3), Sugeng Priyanto yang menyatakan bahwa hingga saat ini, belum ada sanksi yang tegas.”Belum ada sanksi tegas yang diberikan kepada perusahaan konstruksi karena kendala penegakan hukum yang masih mengacu pada Undang-Undang nomor 1 tahun 1970.,” ujarnya sebagaimana dikutip oleh KBR (20/2).

Sinergi dua Kementerian untuk merespon kondisi darurat K3 sangat dibutuhkan. Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah menyoroti hal itu sebagai hal strategis yang seharusnya masuk dalam prioritas kerja Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian PUPR. “ Melihat kondisi K3 yang darurat, kecelakaan kerja yang marak terjadi dan prioritas Pemerintahan Jokowi yang menjadikan proyek infrastruktur sebagai program utamanya, seharusnya mereka bersinergi secara serius,” tegas Ilhamsyah di Jakarta (2/3).

KPBI menyoroti kinerja Kementerian Ketenagakerjaan yang lambat bukan hanya pada kasus-kasus K3, tetapi juga pada kasus lain yang tunggakannya semakin menggunung. “Kita harus terus menggugat Kementerian Ketenagakerjaan yang kehilangan perspektif dalam melindungi buruh. Selain masalah K3, dia juga meninggalkan banyak pekerjaan rumah terkait masalah PHK buruh, upah, status hubungan kerja, dan juga masalah union busting. Semuanya mangkrak tak terselesaikan,” gugat Ilhamsyah.

Koordinasi, konsolidasi, dan sinergi seharusnya bukan hal susah untuk dua Menteri ini. Bukankah semua itu bisa dikerjakan bersama-sama ketika mereka ngejam bersama ketika latihan dalam grup “Elek Yo Band” ? Meskipun, akhirnya saya surut kembali ketika memaknai secara harfiah arti nama grup band itu: jelek biar saja.