MAYDAY 2018: BERGERAK MENUJU PUSAT KEKUASAAN!

 


May Day is a fun day (Hanif Dhakiri)

May Day (is not) Holiday (Prana Rifsana)

Dua kutipan berbeda yang membuka tulisan mewakili dua kutub yang bertolakbelakang akhir-akhir ini. Kutipan pertama, saya comot dari poster yang sangat masif diedarkan oleh Kementrian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Karena Hanif Dhakiri adalah orang nomor satu di kementrian tersebut, saya menyatakan bahwa ungkapan itu berasal dari dirinya, atau paling minimal mendapatkan restunya untuk menjadi tagline peringatan Hari Buruh Internasional versi Kemnaker.

Kalimat kedua , saya peroleh dari pernyataan Koordinator Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (Jarkom SP Perbankan) Prana Rifsana. Selain mengkoordinasi Jarkom SP Perbankan, Prana adalah Ketua Umum Serikat Pekerja Bank Permata. Prana menjelaskan poster itu dibuat sebagai upaya mendidik anggota serikat perbankan (yang populer disebut buruh kerah putih) di bawah koordinasinya yang memiliki perbedaan tradisi dengan buruh-buruh pabrik (terkenal dengan sebutan buruh kerah biru).

Buruh kerah putih banyak bekerja di kantoran, di ruangan, administratif, dan kecenderungan tidak mengandalkan otot sehingga memiliki tipikal berbeda dengan buruh kerah biru yang berotot, panas, keras, bekerja penuh tenaga, resiko, dan keringat. Selain untuk membedakan jenis pekerjaanya, saya mencurigai pengistilahan itu diproduksi untuk membuat mereka terpecah dalam dua kutub yang berjauhan; lalu bertolak belakang. Padahal, keduanya sama-sama buruh.

Prana menjelaskan bahwa Jarkom SP. Perbankan tengah bekerja keras melakukan sosialisasi secara serius, terus menerus, melalui berbagai cara untuk mengajak anggota sadar dan bergabung dalam peringatan Hari Buruh Internasional  dengan turun ke jalan menyuarakan tuntutan. “Dibanding tahun 2017, anggota yang berkeinginan mengikuti aksi May Day 2018 mengalami kenaikan tiga kali lipat,” ujarnya menjelaskan titik keberhasilan mengajak anggota.

Perang slogan versi Hanif Dhakiri versus Prana Rifsana, seolah menegaskan perang propaganda yang selalu terjadi. Perang antara kutub buruh yang berkehendak melakukan mobilisasi massa untuk menyambut May Day dan tarikan tak kalah bertenaga yang dilakukan Pemerintah melalui Kemnaker untuk menurunkan mobilisasi unjuk rasa may day. Sejatinya, pertarungan itu terjadi setiap hari, terus menerus, sejak lama, dan di masa mendatang, tapi menjelang May Day seolah menemukan puncaknya.

May Day dan Simbol Perlawanan Buruh

Bagi buruh, May Day adalah momentum dahsyat mengejawantahkan semangat perlawanan atas ketertindasannya. Ibaratnya, buruh bisa saja melakukan aksi setiap hari, mogok di pabrik-pabrik, tapi May Day tentu beda; inilah hari yang mereka tunggu untuk meledakkan kemarahan yang tersumbat. Peringatan yang bermula dari 1806, ketika terjadi pemogokan pekerja di AS yang pertama kalinya dan berlanjut ketika pekerja Cordwainers (perusahaan pembuat sepatu) melakukan mogok kerja.

Namun para pengorganisir aksi mogok kerja itu dibawa ke pengadilan untuk diproses hukum. Dalam pengadilan itu, terungkap fakta pekerja di era itu benar-benar diperas keringatnya. Mereka harus bekerja 19-20 jam per hari.

Di Indonesia, pengorganisiran pemogokan buruh secara massif baru terjadi pada sekitar 1920 dan seperti saudara buruh di Amerika, pemogokan massif pertama di Hindia Belanda juga berlangsung pada Mei. Pada 9 Mei 1923 buruh kereta api dan trem anggota VSTP di Semarang mogok dan berlanjut ke kota-kota lain hingga puncaknya 10 ribu dari total 50 ribu buruh kereta api di Jawa mogok massal. Pemogokan itu dimotori oleh Semaon, tokoh Partai Komunis Indonesia ketika itu.

Kedekatan gerakan buruh terbesar ketika itu, SOBSI, dengan Partai Komunis Indonesia, menyebabkan Orde Baru membunuh, menghilangkanpaksa, dan memenjarakan para aktivis buruh tersebut pada prahara pembantaian kaum kiri dan pendukung Soekarno pada 1965.

Ujung-ujungnya, Orde Baru melakukan pelarangan secara sistematik pada perayaan May Day dan menyematkan gelar komunis bagi yang tetap mengusungnya. Stempel komunis, adalah tanda bahaya bagi penyandangnya, sejak Orde Baru yang dipimpin Soeharto hingga sekarang.

Meskipun dalam UU Nomor 12 Tahun 1948, di mana 1 Mei dinyatakan sebagai hari libur, tapi Soeharto melakukan penghancuran watak internasionalisme gerakan buruh, Soeharto menetapkan 20 Februari sebagai Hari Pekerja Nasional, melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1991.

Pada era pemerintahan Megawati, mereka menolak May Day sebagai hari libur, alasannya sudah terlalu banyak hari libur dan alasan agar bangsa ini menjadi semakin produktif. Rezim Susilo Bambang Yudhoyono kemudian menetapkan 1 Mei menjadi hari libur resmi pada April 2013. Tapi bagi buruh jelas sekali maknanya: mendongkrak popularitas partainya yang mulai redup menjelang Pemilu 2014 dan desakan gerakan buruh yang tengah menguat semakin tidak terelakan.

Pertarungan sengit menjelang 1 Mei selalu terjadi. Dimulai dengan pengistilahan yang bertujuan untuk memoderasi serupa Hanif  Dhakiri versus Prana Rifsana sebenarnya terjadi bertahun-tahun lalu. peneliti dari Jaringan Kerja Budaya (JKB) Hilmar Farid menjelaskan terjadinya pertarungan istilah Peringatan dan perayaan. Pernyataan ini, dimaksudkannya untuk mengritik pesta yang digelar di Istora Senayan dengan tajuk May Day Fiesta. Hilmar Farid menyatakan bahwa May Day Fiesta adalah langkah yang pas bagi politisi, tapi bukan kaum buruh. Kehadiran Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan Anggota DPR Suripto dan sejumalh tokoh politik yang sebenarnya ikut bertanggung jawab atas kemelaratan hidup rakyat pekerja memberi warna politik yang jelas bagi perayaan itu.

Lebih tegas, Hilmar Farid kemudian menggugat istilah May Day Fiesta yang artinya jelas sebuah perayaan. “Pertanyaannya kemudian, merayakan apa? Sistem outsourcing makin merajalela, semakin banyak orang kehilangan pekerjaan tetap diganti dengan sistem kontrak. Upah tetap murah, harga-harga terus meroket, kesehatan dan keselamatan kerja masih jadi angan-angan. Jadi, kalau May Day Fiesta adalah perayaan, sebenarnya perayaan untuk apa?” gugat Hilmar Farid.

Pertarungan dalam penggunaan istilah rupanya bukan masalah sepele sebab dari istilah itu kemudian tergambar semangat yang melatarbelakanginya. Peringatan dan perayaan harus dibedakan karena keduanya tidak sama. Perayaan, bisa saja dilakukan sebagai upaya untuk memperingati sesuatu, sebut saja hari ulang tahun yang membahagiakan. Ketika membahas  May Day, ini sedang membahas sejarah yang berbeda, bukanlah ulang tahun gerakan buruh, tapi peringatan untuk melanjutkan perjuangan. Perayaan yang dibungkus dalam tajuk “May Day is a Fun Day” versi Hanif Dhakiri adalah ajakan untuk merayakan dan kemudian melupakan, menyiram kesedihan dengan pesta.

Pernyataan tegas yang disampaikan Prana saya kira menemukan konteksnya disini; May Day is not Holiday. Hari Buruh Internasional bukanlah hari libur seperti yang diserukan oleh pemerintah, polisi, tentara, Asosiasi Pengusaha Indonesia,  dan sialnya kemudian diamini serikat kuning yang menyatakan bahwa 1 Mei adalah hari libur, selayaknya dinikmati dengan piknik, jalan-jalan, istirahat, lomba masak, menanam pohon, atau aktivitas lainnya.

Saya setuju dengan pernyataan politik Prana: May Day bukan hari libur, tapi mengembalikan ketetapan hati untuk terus berjuang, terus berlawan!

May Day: Mobilisasi Massa Aksi

Hari Buruh Internasional 2018 membelah sikap serikat dalam dua barisan besar. Seolah tergoda dengan rayuan pemerintah, beberapa serikat sudah sejak awal menyatakan akan merayakan May Day bersama dengan Kemnaker. Mereka terlibat dengan berbagai acara yang digelar Kemnaker hingga akhirnya akan bergabung dengan perayaan di berbagai tempat, tapi tidak aksi ke depan Istana Presiden. Sedangkan berbagai serikat yang tergabung dalam Gerakan Buruh untuk Rakyat (GEBRAK) menyatakan sikap dengan tegas: mobilisasi massa aksi dari Bundaran Hotel Indonesia dan akan unjuk rasa menuju Istana.

Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah menegaskan bahwa para pemimpin serikat buruh bicara bergantian, mengenang pahlawan-pahlawan buruh yang telah mati sebagai martir, mengajak rakyat untuk mengingat tentang penderitaan akibat kebijakan ekonomi pemerintah yang neoliberal, cengkeraman imperialisme dan neoliberalisme, serta pentingnya buruh bersatu, berjuang, membangun alat perjuangan politik untuk bersama-sama mencari jalan keluar. Ribuan massa aksi akan bersama menyuarakan tuntuan,  tentu saja juga ada lagu dan puisi, teater, dan berbagai penampilan untuk mengingatkan orang bahwa gerakan buruh punya sejarah yang panjang.

Barisan panjang yang bergerak menuju Istana Presiden adalah  peringatan yang sebenarnya, yang tidak menghinoptis massa aksi dengan berbagai ilusi dan angin surga yang dihembus-hembuskan dengan penuh kebohongan. Sebuah seruan yang benderang di tengah kegelapan propaganda pemerintah yang kalang kabut menutupi berbagai kegagalannya. Kegagalan mensejahterakan buruh dengan terbitnya PP 78/2015 tentang Pengupahan, kegagalan melindungi rakyat dengan kebijakan pencabutan subsidi, dan tentu saja aroma pencitraan yang dikemas untuk menyongsong pemilu Presiden 2019.

Di tengah mandegnya konsolidasi, di tengah minimnya mobilisasi massa aksi buruh dan gerakan rakyat lainnya, dan di tengah gencarnya elit-elit serikat buruh kuning berlomba merapatkan dirinya pada partai politik dan para Calon Presiden yang akan bertaung pada  2019 saatnya gerakan buruh menunjukkan sikap dan watak kelasnya, melakukan mobilisasi ke pusat kekuasaan! Itulah makna utama peringatan May Day. Pada hari itulah massa buruh dan rakyat dari berbagai asal-usul datang dan berkumpul; berhimpun dan memperingati sejarah mereka yang panjang, dan bersama-sama melihat kemungkinan menyusun rencana perubahan agar dunia menjadi tempat yang lebih damai untuk semuan.

Mobilisasi massa aksi yang besar, bergerak menuju pusat kekuasaan , dan menyatakan sikap dengan tegas pada kekuasaan yang telah menindasnya bertahun-tahun akan menjadi modal berharga bagi gerakan buruh Indonesia menyatakan sikap politik dan watak kelasnya. May Day adalah hari menegaskan semua itu!