BURUH PEREMPUAN : “PENTING, TAPI MENGAPA TERDISKRIMINASI ?”

 


Buruh perempuan memegang peranan penting dalam hubungan produksi. Dengan alasan mereka lebih ulet dan tekun, perusahaan memilih untuk melakukan perekrutan terhadap buruh perempuan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, jumlah buruh di Indonesia mencapai 114 juta dan perempuan mengambil porsi 38,25 persen dari keseluruhan buruh di Indonesia. Jumlahnya sekitar 46,3 juta buruh.

Persoalan utama yang dihadapi adalah, meskipun buruh perempuan memiliki peranan yang signifikan dalam relasi produksi, namun dalam kenyataannya tingkat kesejahteraannya justru masih rendah, tidak mendapat perlakuan yang semestinya. Hak-hak dasar yang seharusnya diperoleh buruh perempuan acap kali dilanggar, termasuk di dalamnya hak kesehatan reproduksi.

Misalnya saja dalam memberikan upah kepada buruh, kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan masih ada. Banyak perusahaan memberikan upah yang lebih rendah bagi buruh perempuan. Kenyataan ini pula juga diperkuat dengan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2017. Upah bersih yang diterima buruh perempuan rata-rata tercatat sebesar Rp. 2,3 juta/bulan. Besaran upah ini jauh di bawah buruh laki-laki.

BPS mencatat jarak pendapatan antara buruh laki-laki dan perempuan makin melebar pada Agustus 2017 yakni mencapai rata-rata 690.000/bulan. Sementara jam kerja yang diterapkan bagi buruh perempuan dan laki-laki sama, target yang dibebankan kepada buruh perempuan juga sama.

Selain upah persoalan lain juga dialami buruh perempuan ditempat kerja. Seperti tidak diberikannya hak cuti haid dan pemangkasan cuti melahirkan bagi buruh perempuan. Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) Indonesia Subono menyatakan bahwa sebagian besar perusahaan tidak memberikan hak cuti haid pada hari pertama dan kedua saat menstruasi bagi buruh perempuan. Padahal hak cuti haid merupakan hak dasar buruh yang dijamin di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dipaksanya perempuan tetap bekerja saat menstruasi berdampak pada kesehatan buruh perempuan itu sendiri. “Dampak langsungnya langsung terasa, sebagian besar dari mereka kemudian mengalami anemia karena pada waktu yang seharusnya mereka beristirahat, mereka justru dipaksa untuk tetap bekerja,” ujar Subono.

Hak reproduksi lain yang tidak diterima perempuan yang memiliki kodrat mengandung dan melahirkan. Beberapa buruh perempuan mengalami keguguran karena tetap harus bekerja keras di perusahaan. Berdiri berjam-jam dan tidak ada kelonggaran bagi mereka untuk beristirahat membuat sebagian dari mereka mengalami keguguran. Jika mereka beruntung tidak mengalaminya dan bisa mempertahankan kandungannya sampai pada waktunya melahirkan, seringkali mereka harus mengalami kesulitan mengajukan cuti melahirkan.

Beberapa perusahaan bahkan memaksa mereka untuk mengundurkan diri karena melahirkan. Penderitaan ini belum juga berakhir jika mereka masih bekerja di perusahaan setelah mereka melahirkan. Sebagian besar pabrik/perusahaan tidak menyediakan ruang menyusui (laktasi). Mengutip data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, di Indonesia ada sekitar 3.041 perusahaan, namun baru sekitar 152 perusahaan yang menyediakan ruang laktasi dan memberikan pelayanan yang baik pada buruh perempuan. Ketiadaan ruang laktasi ini memaksa buruh (ibu) membuang air susu (ASI) ke toilet atau bahkan ditahan berjam-jam ketika bekerja sehingga merembes ke pakaian mereka. Ini juga berdambak pada bayi yang akhirnya tidak memperoleh ASI eksklusif setidaknya dalam masa 0-6 bulan.

Rentetan penderitaan buruh perempuan ternyata tidak hanya cukup sampai disitu saja. Diskriminasi dan kekerasan berbasis gender kerapkali juga mewarnai perjalanan perempuan. Pelecehan seksual maupun kekerasan verbal baik sesama rekan kerja maupun yang dilakukan oleh atasan seolah menjadi cerita yang tidak kunjung selesai. Beberapa dari mereka akhirnya memilih mengundurkan diri, dan kalaupun mereka terpaksa tetap bertahan mereka selalu berada dalam tekanan dan ketakutan. Ketidakkuasaan untuk melaporkan dan melawan karena ketakutan diberhentikan dari perusahaannya.

Kondisi lebih buruk juga dialami oleh pekerja/buruh migran Indonesia yang didominasi oleh perempuan. Berdasarkan data BPN2TKI sebanyak 44 ribu lebih buruh migran Indonesia kembali ke tanah air dengan menghadapi masalah, baik perselisihan hubungan kerja, pelanggaran dan kekerasan. Beberapa kasus diantaranya adalah gaji yang tidak dibayarkan, penganiayaan dan penyiksaan, serta kekerasan seksual yang dilakukan oleh majikan.

Sampai saat ini persoalan-persoalan yang menimpa buruh perempuan Indonesia seperti benang kusut yang sulit terurai. Pemerintah pun seakan enggan dan tidak terlihat ada kerja keras untuk mencari jalan keluar bagi persoalan ini. Menanggapi kondisi buruk ini, Subono menyatakan bahwa Pemerintah seharusnya memberikan perlindungan yang lebih memadai. Menurutnya, kebijakan Pemerintah hanya ramah pada investor, tapi tidak peduli dengan buruh perempuan. “Buruh perempuan sejatinya merupakan tiang penyangga masa depan bangsa ini. Bagaimana masa depan generasi yang dilahirkan oleh buruh ini kalau kehidupan mereka jauh dari kesehatan dan keamanan?” Gugat Subono.

SERBUK Indonesia mendesak Pemerintah Indonesia untuk menjalankan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, mengawasi pelaksanaannya, dan memberikan perlindungan yang lebih optimal kepada buruh perempuan.