Revolusi 4.0, Perdagangan Bebas, dan Keadilan bagi Buruh: “KITA HIDUP DI TENGAH KEPUNGAN HARIMAU LAPAR”

 


Mungkin sebagian dari kita berpikir, bahwa Indonesia, negeri yang kaya raya ini seharusnya hidup dalam situasi berkecukupan. Tak ada yang tidak tersedia di Negeri ini, mulai dari sumber daya alam yang melimpah hingga ketersediaan sumber daya manusia, semuanya ada.

Koes Ploes, Grup Band Legendaris bahkan mengambarkan dengan sangat ekstrim tentang kekayaan Negeri ini. Bayangkan saja, tongkat kayu yang ditancapkan di sembarang tempat, akan tumbuh menjadi tanaman. Batu jadi tanaman. Ini merupakan ilustrasi yang menggambarkan betapa Negeri ini, subur, kaya raya, dan tentu saja berlimpah sumber daya. Tapi, kenapa semua berjalan dalam arah yang berkebalikan? Tentu ada yang salah selama ini.

Staf Departemen Pendidikan dan Bacaan Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) Indonesia Hepy Nur Widiamoko menjelaskan fenomena ini terjadi karena mahzab neoliberal yang dianut Pemerintah Indonesia. Menurut Hepy, sebenarnya kebijakan neoliberal itu sedang menghadapi krisis legitimasi karena ketimpangan global telah mencapai rekor tertinggi dan kesenjangan antara Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan upah buruh semakin melebar. “Perjanjian perdagangan raksasa seperti Transatlantic Trade and Investment Partnership (TTIP/Kemitraan Perdagangan dan Investasi Transatlantik) dan Trade in Services Agreement (TISA/Perjanjian Perdagangan Jasa) menghadapi perlawanan yang luas, termasuk dari gerakan buruh,” jelas Hepy.

Senada dengan Hepy, Divisi Kampanye Building and Wood Workers’ International Regional Asia Pasifik Edward Miller menyatakan bahwa Kebijakan Neoliberal telah gagal. “Meskipun janji-janji pertumbuhan yang adil atau inklusif, liberalisasi perdagangan dan investasi, deregulasi dan privatisasi terus dilakukan secara agresif di Wilayah Asia Pasifik, tapi tak ada hasil apapun bagi kesejahteraan kaum pekerja,” ungkap Edward. Pernyataan tersebut diungkapkannya dalam sesi diskusi dalam Pelatihan untuk Pelatih bertajuk KEADILAN PERDAGANGAN DI INDONESIA yang berlangsung di Hotel CICO, Bogor, 28-30 Agustus 2018. Menurutnya, dorongan untuk menghidupkan kembali Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Transpasifik yang baru-baru ini diadopsi, atau TPP 11 yang berasal dari pemerintah di kawasan dan ASEAN ditambah 6 negara, bermaksud untuk menyepakati negosiasi mengenai Kemitraan Ekonomi Komprehensif Kawasan (RCEP/Regional Comprehensive Economic Partnership) tahun ini. “Cepat atau lambat, kesepakatan ini akan berdampak terhadap lebih dari setengah populasi dunia,” ujarnya.

Staf Departemen Hukum, Advokasi, dan K3 SERBUK Indonesia, Yanto Sugianto juga memberikan catatan kritis atas kebijakan ini. Dalam pandangannya, perjanjian perdagangan milenia baru ini mewakili ekspansi neoliberalisme secara brutal dan mengancam pembatasan ruang kebijakan bagi pemerintah untuk mempromosikan, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak pekerja, layanan publik, dan barang-barang penting untuk pemenuhan hak asasi manusia dan untuk melestarikan lingkungan. “Gerakan buruh di Indonesia harus selalu meningkatkan kekuatannya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan terkait dengan perjanjian perdagangan dan investasi,” tegas Yanto.

Hepy memberikan analisis kritis atas perdagangan bebas ini. Menurutnya, perjanjian perdagangan bebas atau yang lazim disebut Free Trade Agreement (FTA), tanpa kesiapan pemerintah hanya akan menyengsarakan buruh. “Sebut saja kelahiran Revolusi Industri 4.0 yang berbasis internet, aplikasi, dan otomatisasi akan mengusir buruh semakin ke pinggir,” ungkapnya. Ketika industri ini dijalankan, dapat dipastikan akan lahir jenis pekerjaan baru yang menggunakan teknologi modern, pengurangan jumlah tenaga kerja, dan sektor jasa yang maju pesat. “Revolusi ini menghasilkan jenis industri yang smart, adaptif, dan new service. Pada gilirannya, pabrik besar, dengan jumlah buruh yang banyak, dan kolosal akan mati,” imbuhnya.

Dampak selanjutnya, Indonesia yang memiliki limpahan sumber daya alam dan sumber daya manusia tersebut akan terdesak ke pinggir, semakin jauh dari akses ekonomi. Kita, tak punya persiapan khusus mengadapi semua tantangan itu dan diperparah dengan komitmen pemerintah yang juga rendah. Menurut Yanto Sugianto, Pemerintah selalu berkoar-koar mengenai Revolusi 4.0, tapi tidak melakukan antisipasi yang memadai. Salah satu buktinya, pemerintah hanya sibuk memberikan karpet merah terhadap investasi dengan kebijakan-kebijakan ramah investasi, tapi abai terhadap buruhnya sendiri. “Lihat saja, paket kebijakan Pemerintah Jokowi-JK sangat pro pengusaha dan anti buruh seperti Peraturan Pemerintah 78/2015 tentang upah. Semua didesain memojokkan kehidupan buruh,” ujar Yanto. “Kita seolah hidup di tengah hutan yang menyediakan semua kebutuhan kita, tapi tanpa disadari, semuanya sia-sia belaka sebab kita akan mati tak berdaya diterkam harimau,” tegas Yanto menutup pernyataan.