Mengurai Benang Kusut Praperadilan

 

Ketukan palu Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi dalam sidang praperadilan pada 16 Februatri 2015 sontak melepaskan belenggu yang menjerat Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan. Jenderal Polisi yang akrab disapa BG itu mengajukan praperadilan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka. Penetapan tersangka oleh lembaga antirasuah tersebut menyasar mantan Ajudan Presiden Megawati itu atas dugaan kepemilikan rekening gendut yang mencurigakan. Partai berkuasa meradang. Situasi politik gaduh. Dunia hukum terbelah dan polemik terus bergulir.

Menanggapi pro dan kontra putusan tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) buka suara. Melalui keterangan tertulisnya, Peneliti PSHK Miko Ginting menilai bahwa putusan Sarpin telah melampaui kewenangannya dalam memutus perkara. Menurutnya, setidaknya ada dua alasan mendasar kesalahan Hakim Sarpin. Pertama, Sarpin menggunakan pembuktian hukum pidana, yang seharusnya diperiksa pada persidangan pokok perkara, bukan praperadilan. Kedua, hakim Sarpin menggunakan dalil-dalil yang dipertimbangkan dalam pembuktian unsur-unsur tindak pidana mengenai pokok perkara.

Dua alasan yang dikemukakan Miko tersebut, melengkapi berbagai keluhan berbagai pihak atas kelemahan mekanisme praperadilan. Mengacu pada ketentuan pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa praperadilan berwenang untuk melakukan fungsi kontrol terhadap tindakan upaya paksa (penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan). Tetapi, pada kenyataannya, Lembaga Praperadilan ini masih banyak kelemahan.

Selain dua kesalahan yang dilakukan Sarpin –sebagaimana disampaikan oleh Miko Ginting– kritik juga dilontarkan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Ketua Badan Pengurus Perkumpulan ICJR Anggara menyebutkan bahwa kelemahan mendasar dalam proses praperadilan adalah pembatasan waktu. Menurutnya, praperadilan dalam persidangannya dibatasi oleh waktu, sesuai ketentuan yang diatur dalam KUHAP, tapi dalam pelaksanannya jarang ditepati. Waktunya sering molor. Menurutnya, 80% persidangan lewat waktu, 60% mencapai satu bulan, dan selebihnya mencapai 2 mingguan.

Benarkah mekanisme praperadilan memang menyisakan lubang yang menyebabkan terperosoknya para pencari keadilan? Selain tiga kelemahan yang telah disampaikan di atas, terdapat beberapa kelemahan lain yang merugikan masyarakat, yaitu:

Selama ini, praperadilan terlalu mengedepankan formalitas sehingga kurang bisa mengungkap kebenaran yang didalilkan pemohon. Hal ini sangat terkait dengan transparansi penegakan hukum. Transparansi itu terkait dengan keabsahan dokumen, sebab dokumen tersebut ada dalam penguasaan pihak kepolisian/penyidik dan ridak semua diberikan kepada tersangka/keluarganya.


Hakim bersifat pasif


Hakim baru dapat melakukan pemeriksaan sah tidaknya penangkapan atau penahanan apabila ada insiatif yang datang dari tersangka, keluarga, atau kuasanya. Untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, inisiatif datang dari penuntut atau pihak ketiga. Sementara permintaan ganti rugi dapat dilakukan oleh tersangka atau pihak ketiga.

Hak tersangka, keluarga, atau kuasanya gugur apabila perkara pidana sudah mulai disidangkan. Betapa mubazirnya lembaga peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang, apabila hanya karena alasan perkara pokok sudah mulai diperiksa lantas praperadilan harus dinyatakan gugur.

Tidak semua upaya paksa dapat diuji oleh hakim. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan, selain hanya berwenang memeriksa syarat formal, siapa yang berwenang melakukan pemeriksaan.

Lembaga praperadilan merupakan cangkokan dari konsep Hobeas Corpus, tapi pengaturan dalam KUHAP menyimpang dari konsep tersebut. Dampaknya, efektivitas hakim dalam mengawasi upaya paksa dan arogansi penyidik/penuntut umum tidak berjalan.

Adanya budaya masyarakat yang merasa enggan secara frontal berhadapan dengan parat penegak hukum sehingga membuat mereka memilih untuk tidak mempersoalkan keabsahan penahanan karena khawatir berpengaruh terhadap perkaranya di pengadilan.

Mengatasi berbagai kelemahan tersebut, setidaknya ada dua usulan yang mengemuka sebagai solusi alternatif. Pertama, praperadilan diganti menjadi hakim komisaris sebagaimana tertuang dalam konsep revisi KUHAP. Salah satu anggota tim revisi KUHAP T. Nasrullah mengemukakan bahwa hakim komisaris direkrut dari praktisi, akademisi, atau mantan jaksa. Berdasarkan konsep ini, wewenang hakim komisaris menjad lebih besar dibandingkan dengan praperadilan.

Kedua, tetap bertahan dengan mekanisme yang ada saat ini. Agar praperadilan lebih efektif, menurut Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat Sutaji perlu dilakukan perbaikan mendasar terhadap budaya dan struktur hukum yang ada saat ini. Lebih lanjut, Sutadi menyebutkan bahwa pengaturan praperadilan dalam KUHAP hanya perlu diperkuat dengan menegakkan berbagai peraturan yang sudah ada; salah satunya penerbitan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) secara konsisten.

Terlepas dari silang pendapat mengenai praperadilan, ada satu hal penting yang harus menjadi perhatian secara lebih serius, yakni terkait masalah hakim praperadilan. Seharusnya, hakim praperadilan benar-benar mampu menunjukkan keberpihakannya pada keadilan, berintegritas, dan dapat memahami maksud dan tujuan yang terkandung dalam praperadilan. Putusan hakim praperadilan, seharusnya bukan putusan yang mandul.


****

Ditulis Oleh: Khamid Istakhori.