UPAH BURUH DAN KONDISI DI TEMPAT KERJA

 

Tulisan Mengenai Upah Buruh seri ke-3:

Dalam Bab ini, akan dipaparkan informasi-informasi yang didapat dari hasil wawancara dengan para pihak yang mewakili tripartid, yaitu pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan, pengusaha dalam hal ini perwakilan dari PT. Pabrik Mobil Terkenal Indonesia, dan buruh dalam hal ini perwakilan dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI).

Adapun beberapa fokus yang akan dimuat dalam paparan dibawah ini, yaitu: pandangan para pihak tripartid tersebut mengenai fakta-fakta tentang perubahan indikator pengupahan dari KHL menjadi inflasi dan pertumbuhan ekonomi; ketidakpatuhan perusahaan dalam penerapan upah; keterwakilan buruh dalam menyuarakan ketidaksepakatannya terhadap kebijakan terkait indikator penentuan upah minimum berdasarkan PP 78 tahun 2015; dan pendapat masing-masing perwakilan pihak tripartid mengenai kebijakan indikator penentuan upah minimum berdasarkan PP 78 tahun 2015.

A. Sikap Pemerintah atas Kondisi Upah Buruh

Berdasarkan wawancara dengan Umar Kasim, Kepala Biro Hukum Kementerian Ketenagakerjaan, diubahnya indikator penghitungan upah minimum dari KHL ke inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak serta merta begitu saja terjadi. Pemerintah menilai banyaknya polemik yang terus bergulir soal penghitungan upah minimum karena tidak adanya standar pasti yang digunakan untuk menentukan harga dari setiap barang yang digunakan sebagai bagian dari indikator penghitungan upah minimum. Sehingga hal tersebut membuat perwakilan pengusaha, perwakilan buruh, dan perwakilan pemerintah memiliki standar yang berbeda-beda, yang pada akhirnya terjadi perbedaan pendapat dalam penentuan upah minimum setiap tahunnya. Hal tersebut membuat pemerintah dalam hal ini yang berposisi sebagai penengah antara pengusaha dan buruh mencoba untuk mencari solusi dari ketidakpastian tersebut.

Gagasan digunakannya inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator penghitungan upah minimum ini pertama kali diinisiasi oleh Menteri Perekonomian, Darmin Nasution, pada tahun 2015. Sebenarnya itu adalah KHL seperti dalam UU No. 13 tahun 2003 juga. Hanya saja dalam PP No. 78 tahun 2015 ini upah minimum dilihat atau ditentukan setiap 5 tahun sekali, yaitu dengan melihat inflasi secara nasional, bukan setiap setahun sekali seperti KHL pada UU No. 13 tahun 2003. Dibuatnya PP No. 78 tahun 2015 sebagai amanat UU No. 13 tahun 2003 ini sebagai langkah tegas pemerintah guna meminimalisir terus timbulnya perbedaan pendapat dan terjadinya keributan terus menerus antara buruh, pengusaha maupun pemerintah itu sendiri, dalam menentukan besaran upah minimum.

PP No. 78 tahun 2015 yang menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator penentuan upah minimum sejauh ini dijalankan dengan baik oleh perusahaan-perusahaan dalam arti sektor formal, namun hal tersebut sepertinya tidak terjadi kepada perusahaan-perusahaan dalam arti sektor informal, misalnya seperti pabrik tahu atau pabrik daging giling. Mengapa perusahaan-perusahaan skala kecil tersebut dikatakan informal karena legal standing-nya tidak formal, mungkin tidak mempunyai izin, tidak terdaftar pada BPOM, dan tidak adanya tambahan upah.

Perusahaan-perusahaan informal tersebut upahnya juga sudah pasti dibawah upah minimum. Sehingga sebenarnya tidak dapat dikatakan bahwa semua perusahaan menjalankan perintah PP No. 78 tahun 2015 ini, meskipun baik UU No. 13 tahun 2003 maupun PP No. 78 tahun 2015 memberikan sanksi apabila sebuah perusahaan tidak membayar upah standar. Namun kenyataannya dalam praktik sanksi tersebut tidak berlaku bagi perusahaan-perusahan dengan skala kecil, dalam hal ini misalnya seperti pabrik tahu maupun pabrik daging giling tadi. Sehingga sebenarnya menjadi serba salah karena hampir semua perusahaan-perusahaan informal itu melanggar ketentuan UU ataupun PP sebagai amanat UU itu sendiri. Akhirnya, ketentuan tersebut hanya mengejar atau menyasar perusahaan-perusahaan dalam sektor formal saja. Padahal, misalnya baik pabrik tahu ataupun pabrik makanan seperti Indofood mereka sama-sama punya pekerja dan hampir sama kerasnya dalam lingkup yang dikerjakan, pun sangat timpang memang jika membandingkan kedua perusahaan itu. Namun banyak pengusaha-pengusaha dari sektor formal mengeluhkan hal tersebut.

Bicara soal isu perburuhan tentunya tidak akan terlepas dari salah satu persoalan mengenai bagaimana keterwakilan dari masing-masing pihak dalam setiap penentuan keputusan yang pada akhirnya akan berdampak pada setiap pihak, baik pengusaha maupun buruh. Dalam hal tersebut maka lahirlah sebuah forum atau rapat bersama yang bernama Tripnas atau Tripartid Nasional, yang dalam hal ini dihadiri oleh pengusaha, buruh dan juga pemerintah. Dalam forum tripartid nasional atau tripnas, setiap partid mengirimkan perwakilannya masing-masing. Para buruh yang diwakili oleh konfederasi (gabungan federasi-federasi), kemudian dari perusahaan diwakili oleh anggota APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia), sementara pihak dari pemerintah yakni satu orang dari biro hukum, lima orang dari bagian pengawas dan satu orang dari pihak pemerintah dilevel terkait, sehingga total berjumlah sekitar 7 orang. Jadi dalam hal ini setiap pihak memiliki wakilnya untuk duduk bersama dan menyuarakan segala bentuk tuntutan maupun masukan satu sama lain, dan forum ini juga tidak terbatas hanya membicarakan perihal upah saja, tapi lebih dari itu, banyak sekali yang dibicarakan dalam hal terkait isu perburuhan di Indonesia.

Sementara itu jika dilihat baik atau buruknya, tentu kita ambil yang paling besar kemanfaatan atau baiknya. Baik dalam hal ini misalnya karena ketika menggunakan KHL, tidak ada standar baku yang digunakan sehingga menimbulkan konflik terus menerus antara buruh, pengusaha maupun pemerintah. Sehingga lebih baik kita tinggalkan KHL itu dan ambil yang sekiranya aman tetapi bisa berjalan dan tidak terus diperdebatkan. Akan tetapi sudah baguskah atau sudah sempurnakah PP ini? Tentu saja hal tersebut belum tentu, karena banyak pengusaha yang mengatakan bahwa ini terlalu tinggi, bagaimana bisa disamaratakan. Terutama bagi pengusaha kecil misalnya seperti pengusaha roti, bakso, daging giling maupun tahu. Mereka pasti akan teriak karena tidak sedikit dari mereka pada akhirnya akan melanggar semua ketentuan soal upah minimum itu. Salah satu alasan kenapa mereka tidak memberi upah seperti upah minimum karena mereka merasa sektor usaha mereka informal.

B. Bagaimana Buruh memandang Upahnya?

Berdasarkan wawancara dengan Nelson F. Siragih, Ketua Departemen Hukum dan Advokasi Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), salah satu dampak munculnya PP No. 78 tahun 2015 itu adalah hilangnya posisi tawar buruh. Beliau menjelaskan bahwa ketika penentuan upah minimum menggunakan indikator komponen Ketentuan Hidup Layak (KHL), dilakukan dengan pendekatan dialog, sehingga memanfaatkan forum tripartid. Artinya, ada keterlibatan buruh dalam penentuannya sehingga buruh mempunyai posisi tawar untuk bernegosiasi.

Namun ketika sekarang menggunakan indikator inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang sudah ditentukan atau ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan data dari Badam Pusat Statistik (BPS), maka sudah tidak ada lagi fungsi dialog itu yang secara otomatis juga mengkerdilkan posisi tawar buruh. Selain itu, berubahnya indikator penentuan upah minimum ini juga secara otomatis melumpuhkan fungsi Dewan Pengupahan yang secara institusional masih eksis sampai sekarang. Sebelumnya, dewan pengupahan berfungsi untuk melakukan survei lapangan untuk menentukan komponen KHL.

Perlu kita ketahui bahwa penerapan kebijakan upah minimum yang ditentukan berdasarkan KHL (sebelum muncul PP No. 78 tahun 2015) belum mencapai maksimal, artinya masih banyak perusahaan-perusahaan yang tidak patuh dengan kebijakan pengupahan. Namun, apakah dengan diubahnya indikator penentuan upah minimum yaitu dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang kini diatur oleh PP 78 tahun 2015 ini menjawab permasalahan tentang ketidakpatuhan perusahaan tersebut? Ternyata tidak. Menurut Nelson, adanya ketidakpatuhan penerapan kebijakan pengupahan oleh perusahaan ini disebabkan masih lemahnya pengawasan dari pemerintah, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Namun, ketika hal ini dipertanyakan, jawabannya sangat klasik yaitu bahwa bagian pengawasan di Kemenaker kekurangan sumber daya manusia.

Permasalahan upah juga disebabkan dari tingginya kualitas serta standar yang ditetapkan oleh perusahaan serta pasar global, namun tidak diimbangi dengan upah yang sesuai dengan standar internasional. Negara-negara berkembang hanya mampu menjadi produsen (penyedia buruh) dengan menjanjikan buruh di negara mereka bisa dibayar murah tetapi kinerjanya sesuai dengan standar internasional. Selain itu, PP No. 78 tahun 2015 ini secara nyata telah menciptakan kemiskinan yang terstruktur. Maksudnya, karena sudah tidak mempertimbangkan KHL lagi, maka besar kemungkinan upah yang diterima tidak sesuai dengan kebutuhan hidup para buruh. Sehingga secara otomatis daya beli buruh juga menurun dan semakin tidak mencapai kehidupan yang layak dan sejahtera. Kemudian jika siklus ini terus terjadi, maka akan berujung kemiskinan.

Selain itu, beliau juga menambahkan bahwasannya dalam perburuhan juga kental dipengaruhi oleh perpolitikan. Hal tersebut terlihat dari regulasi yang dibuat memiliki suatu maksud tertentu hingga lahirnya PP 78 di Tahun 2015, tanpa adanya koordinasi dan melibatkan perwakilan buruh, adapun jika pemerintah mengatakan bahwa proses tersebut sah karena telah diwakili oleh serikat buruh. Namun pada kenyataannya orang yang hadir dan mengatasnamakan perwakilan buruh bukanlah representasi dari buruh itu sendiri. Sedangkan yang akan mewakili para buruh dalam keterlibatannya pada forum tripartid ini akan diwakili oleh serikat buruh. Tentunya serikat buruh yang akan mewakili harus memiliki tuntutan yang sama, yaitu mengenai upah yang proposional, selain itu dinilai juga berdasarkan jumlah keanggotannya yang terbanyak seperti KPBI, KASBI, KSPI, KSBSI, KSPSI. Nama-nama itu yang secara nasional sudah sangat jelas dan terang tanpa keraguan dibilang sebagai representasi buruh. Namun pada praktiknya, forum tripartid di tingkat Nasional yang berisikan Pemerintah, Pengusaha, Buruh dan juga Akademisi, keberadaanya tidak berjalan dengan optimal.

C. Sikap Perusahaan terhadap Kondisi Upah Buruh di Indonesia

PT. Pabrik Mobil Terkenal Indonesia merupakan perusahaan multinasional yang dikenal namanya secara global. Sebagai perusahaan yang cukup bergengsi dan tentunya memiliki kemampuan finansial serta sistem manajemen yang baik, PT. Pabrik Mobil ini menetapkan rate inflasi sendiri dalam skala upahnya. Dengan kata lain, perusahaan ini menentukan perhitungan kenaikan inflasi yang terjadi pertahun dan tentunya berdampak terhadap kenaikan gaji buruh/pekerja. Berdasarkan pemaparan Bapak Solihin, selaku HRD pada perusahaan pabrik mobil terkenal di Indonesia, beliau menegaskan bahwa memang seharusnya sistem pengupahan seperti itu. Akan tetapi ada juga perusahaan-perusahaan yang selalu menyamakan rate upah dari waktu ke waktu.

Dalam menentukan upah, ada dua faktor penting harus dipertimbangkan; Savings dan Investment. Kedua faktor tersebut merupakan kunci dari kesuksesan sebuah perusahaan. Kepandaian perusahaan dalam mengalokasi dana dan profit untuk kedua hal tersebut terkadang menyampingkan interest untuk buruh/pekerja itu sendiri.

Perihal isu ketidakpatuhan perusahaan dalam menjalani peraturan upah KHL dan sistem inflasi tentu terjadi. dalam pemaparannya beliau menyatakan bahwa pada sistem KHL pun masih terdapat kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan, permasalahan yang sering terjadi berupa; perusahaan tidak sanggup untuk mengikuti UMP (Upah Minum Provinsi), selalu melakukan penangguhan, dan mereka (perusahaan) belum tentu kuat secara finansial. Adapun pendapat beliau yang menyinggung tentang pembedaan rate upah secara sektoral akan lebih baik, dibanding perbedaan atas dasar wilayah.

Dengan pergeseran sistem pengupahan sesuai inflasi dan pertumbuhan ekonomi, perusahaan diharapkan lebih mudah untuk memberikan upah yang layak bagi para pekerja dan menghindari pertemuan pertahunan yang cenderung berjalan dengan tidak efektif, dengan survei yang sering kali terlambat dan bisa berujung konflik jika tidak menemukan titik konsensus. Dari ketidakseragaman pendapat itulah pendekatan inflasi dan pertumbuhan ekonomi akan lebih efisien karena wewenang pengupahan dikembalikan lagi kepada perusahaan.

Akan tetapi pendekatan ini pun juga tidak sepenuhnya memberikan ruang yang kondusif bagi hubungan buruh/pekerja dengan perusahaan. Perusahaan yang notabennya memiliki bargaining power lebih besar akan menutup kemungkinan membuka ruang untuk perundingan kedua belah pihak, tentunya semua perusahaan tidak bisa disederhanakan sepertu itu. lebih lanjut menurut beliau, penerapan sistem pengupahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi cenderung lebih mudah untuk diterapkan oleh perusahaan besar yang memiliki keunggulan finansial dan sistem manajemen yang baik, sebaliknya perusahaan yang jauh dari unggul dan memiliki sistem manajemen yang buruk akan sangat kesulitan menerapkan sistem upah sesuai inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Dalam pandangan beliau, keterwakilan buruh dalam forum tripartid tidak sepenuhnya menyuarakan buruh secara keseluruhan. Serikat buruh pada dasarnya memiliki tujuan tersendiri dan keterpihakan masing-masing. Pada satu sisi serikat buruh dapat berkompromi dengan pengusaha dan pada sisi lain buruh dapat dipengaruhi partai politik karena jumlah masa yang dapat menguntungkan partai itu sendiri. Dengan realitas tersebut, serikat buruh merupakan sasaran halus politik, perusahaan, maupun partai.

Namun ada satu hal penting yang menjadi sorotan dari PP 78/2015, yakni masalah keterbukaan sistem keuangan perusahaan. Dengan segala perubahan yang hadir pada PP, titik negosiasi yang hanya akan terjadi antar pihak pengusaha dan pemberi kerja akan dipertemukan dengan soal “keterbukaan keuangan perusahaan”. Pada dasarnya permintaan informasi atas keuangan perusahaan diperbolehkan dalam PP 78/2015 maupun PP 8/1981 asal dilakukan dengan kuasa yang sah. Namun kembali menurut Bapak Didit, keterbukaan soal buku-buku perusahaan merupakan sebuah konsepsi yang salah oleh buruh.

Ditulis Oleh:

Debby Thalita Nabila P, Devy Kusuma Wati, Fitriah, M Arif Hidayah, Surti Handayani.

Mahasiswa Angkatan II pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Jakarta.