Tulisan Tentang Upah Seri ke-2:
Bicara Upah Buruh
Berbicara mengenai upah, hingga hari ini masih terjadi banyak persoalan utamanya di negara–negara berkembang, salah satunya Indonesia. Mengingat, situasi terkini perburuhan yang sifat dan dinamikanya semakin kompleks.
Titik tumpu kebijakan pengupahan saat ini masih pada upah minimum yang berlandaskan pada kebutuhan hidup layak pekerja/buruh lajang (masa kerja di bawah 1(satu) tahun, akan tetapi hal tersebut masih belum mencangkup bagi yang sudah bekerja di atas 1(satu) tahun dan sudah berkeluarga. Penerapan struktur skala upah masih sangat minim dan belum bersifat wajib, sehingga tidak ada sanksi formal bagi yang tidak menerapkannya. Oleh karena itu praktis upah minimum menjadi upah efektif yang berlaku pada pasar kerja formal terutama di sektor industri padat karya.
Jika dilihat dari sejarah upah minimum, Indonesia telah mengganti standar kebutuhan hidup sebanyak 3 (tiga) kali. Standar kebutuhan hidup ini sebagai dasar penetapan upah minimum nantinya. Mengenai komponen apa saja yang terdapat dalam kebutuhan hidup ini meliputi; kebutuhan kebutuhan fisik minimum (KFM) yang berlaku Tahun 1969 – 1995; Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang berlaku Tahun 1996 – 2005 dan kemudian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang berlaku Tahun 2006 yang diberlakukan hingga saat ini.
A). Awal Mula Upah Minimum di Indonesia
Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) pada tahun 1956 menjadi awal ditetapkannya upah minimum di Indonesia, melalui konsesus Tripartit. Pada awal tahun 1970-an kebijakan upah minimm mulai diperkenalkan setelah terbentuknya Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN). Perhitungan upah minimum saat itu didasarkan oleh Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) yang terdiri dari 5 kelompok kebutuhan yang dihitung untuk para pekerja/buruh baik yang lajang maupun berkeluarga.
Penentuan nilai KFM dilakukan oleh DPPD melalui survey lapang ke pasar-pasar tradisional yang ada di DKI Jakarta maupun di provinsi lain untuk mengetahaui kisaran harga yang berlaku di pasar –pasar tradisisonal tersebut. Yang kemudian terakhir akan ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja perihal Ketentuan Upah Minimumnya.
Kebijakan upah minimum resmi berlaku sejak keluarnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-05/Men/1989 Tentang Upah Minimum. Peninjauan besaran upah minimum diselenggarakan dalam waktu 2 (dua) tahun. Dasar yang menjadi penetapan upah minimum berdasarkan dari:
1. Kebutuhan fisik minimm
2. Indek harga konsumen
3. Perluasan kesempatan kerja
4. Upah pada umumnya yang berlaku secara regional
5. Kelangsungan dan pekembangan perusahaan
6. Tingkat perkembangan perekonomian Regional atau Nasional
Ketentuan tersebut kemudian direvisi dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-01/Men/1990 tentang Perubahan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-05/Men/1989. Pengertian upah minimum yang semula upah pokok terendah belum termasuk tunjangan-tunjangan yang diberikan kepada pekerja diubah menjadi upah minimum yang kemudian upah pokok ditambah dengan tunjangan-tunjangan tetap, dengan ketentuan upah pokok serendah-rendahnya 75% dari upah minimum.
B). Upah Minimum 1996—2005
Sejalan dengan perkembangan, kemudian mulai ada ketidaksesuaian antar komponen KFM sehingga perlunya kajian ulang untuk penyesuaiannya, dan kemudian menjadi komponen Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 81 Tahun 1995. Perubahan tersebut diselaraskan dengan munculnya ketentuan upah minimum Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 03 Tahun 1997 tentang upah minimum regional yang hanya berlaku selama 2 tahun atas terbitnya Permenaker No. 01 Tahun 1999 tentang upah minimum. Mengenai penetapan besaran upah minimum ini ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan diadakan peninjauan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sekali. Akan tetapi hanya berlaku bagi pekerja yang masa kerjanya kurang dari 1(satu)) tahun. Kemudian peraturan menteri ini diperbaiki melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) No. : Kep-226/Men/2000 Tentang Perubahan Pasal-Pasal Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 Tentang Upah Minimum.
C). Upah Minimum 2006-sekarang
Penetapan upah minimum tahun 2006 ditetapkan berdasarkan komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang berlandasakan kepada UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tetapi seiring berjalannya waktu serta adanya desakan dari SP/SB yang menuntut untuk melakukan perbaikan upah minimum, pemerintah kemudian melakukan revisi terhadap komponen yang terdapat dalam KHL dengan meluncurkan Permenkertrans No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
Untuk menetapkan upah minimum, tentunya tidak akan terlepas dari kebijakan yang tercantum dalam Konvensi ILO. Salah satu konvensi terpenting yang berkenan dengan upah minimum adalah Konvensi ILO No. 131 yang mengatur khusus tentang upah minimum di negara-negara berkembang yang kemudian diadopsi tahun 1970.
Latar belakang munculnya konvensi ini dikarenakan adanya fakta bahwa perundingan bersama dan mekanisme lainnya dalam penentuan upah tidak berjalan seperti yang diharapkan. Pasal 3 (tiga) dalam konvensi tersebut mensyaratkan bahwa pihak yang berwenang dalam menentukan upah minimum harus mempertimbangkan beberapa unsur seperti berikut:
Kebutuhan dari pekerja dan keluarganya, dengan mempertimbangkan tingkat upah secara umum di negara bersangkutan, biaya hidup, jaminan perlindungan sosial dan standar kehidupan relative dari kelompok sosial lainnya.
Faktor ekonomi, termasuk tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat produktivitas, dan kemampuan untuk mencapai dan menjaga tingkat pekerjaan yang tinggi. (the desirability of attaining and maintaining a high level of employment).
Akan tetapi sayangnya pemerintah Indonesia hingga saat ini belum meratifikasinya. Namun, meskipun begitu secara umum kriteria yang digunakan dalam penetapan upah minimum di Indonesia sebagian besar mereduksi dari konvensi ILO 131, yang mana diatur dalam Permenker No. 17 Tahun 2005 dan perubahan revisi KHL dalam Permenaker No. 13 Tahun 2012.
● UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-undang tentang ketenagakerjaan yang lahir pada tahun 2003 ini sebenarnya merupakan sebuah undang-undang pengganti dari Undang-undang Nomor 25 tahun 1997 tengang ketenagakerjaan juga. UU Ketenagakerjaan ini dinilai sebagai UU yang dipaksakan untuk diundangkan karena ada kekhawatiran akan berlakunya UU nomor 25 tahun 1997, yang sempat diundangkan tetapi ditunda hingga dua kali.
UU Ketenagakerjaan juga kemudian mengatur dengan rinci perihal upah, mekanisme pengupahan, serta indikator dalam penghitungan upah minimum. Dalam hal pengaturan mengenai upah minimum hanya sebatas pada hal yang termaktub dalam pasal 88 pasal 4 yang menentukan bahwa penetapan upah minimum didasarkan pada kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
● PP Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan
Dalam sebuah hirarkis peraturan perundang-undangan, biasanya Peraturan Pemerintah atau yang lebih sering disingkat PP merupakan sebuah peraturan turunan dari isi undang-undang yang membutuhkan pengaturan lebih teknis dari hal yang dimaksud, tak terkecuali dengan PP Pengupahan. PP Pengupahan ini merupakan salah satu aturan turunan yang mengatur lebih teknis isi UU Ketenagakerjaan yang berkaitan dengan pengupahan.
PP Pengupahan ini mengatur lebih rinci mengenai pengupahan, begitupun mengenai isu upah minimum, hanya saja PP ini kemudian mengatur dengan lebih rinci dari UU Ketenagakerjaan, salah satunya soal indikator penghitungan upah minimum, yang mana dalam PP ini kemudian muncul istilah formula perhitungan upah minimum yakni dengan menggunakan indicator inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam jurnal yang berjudul “Pengaturan Upah berdasarkan prinsip keadilan” yang ditulis oleh Yetniwati bahwasannya pengaturan sistem pengupahan perlu dilandasi asas-asas tertentu. Hal ini memiliki tujuan untuk menciptakan suatu tatanan sistem pengupahan yang adil dan konstitusional. Yetniwati mengungkapkan bahwa setidaknya 13 (tigabelas) asas dalam pendekatan sistem pengupahan yang adil.
Asas-asas tersebut berbunyi sebagai berikut; a. Hak atas upah lahir setelah adanya hubungan kerja dan berakhir bila hubungan kerja berakhir; b. Upah terdiri dari beberapa komponen yang harus dirinci secara jelas; c. Tidak boleh ada diskriminasi upah; d. Pemberian upah harus manusiawi; e. Pemerintah harus melindungi upah pekerja; f. Keseimbangan; g. Adanya penghargaan untuk pekerja yang lebih produktif; h. Transparansi dalam manajemen pengupahan; i. Para pihak yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan kerugian pihak lawan dikenakan sanksi; j. Hak prioritas atas upah bila pengusaha pailit; k. Perlindungan upah yang diberikan perundang-undangan adalah perlindungan minimal; l. Memberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat bagi stakeholder dalam pembuatan regulasi hukum ketenagakerjaan.
Yetniwati dalam tulisannya tidak sekedar membahas asas-asas, namun beliau juga turut membahas perdebatan pro dan kontra terkait frasa dalam pasal yang terkandung dalam PP No. 78 Tahun 2015, tepatnya mengenai sistem baru pengupahan berdasarkan inflasi dan ekonomi. Ia memandang sistem pengupahan yang bergantung pada pertumbuhan ekonomi atau inflasi dapat merugikan daerah-daerah yang memiliki status ekonomi rendah. Ditambah, dia berpandang bahwa PP tersebut telah menghilangkan jaminan kebutuhan hidup yang layak yang telah dilindungi dalah pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Secara umum, Yetnawati telah memberikan pandangan kritik normatif terhadap sistem upah Indonesia.
Sementara itu dalam tulisan dengan judul “Analisis Penentuan Penetapan Upah Minimum Regional di Jawa Tengah” oleh Bella Aldida dkk, menyatakan bahwa kiranya pemberian upah minimum dengan indikator penghitungan menggunakan Ketentuan Hidup Layak (KHL) seperti dalam UU Ketenagakerjaan sebaiknya disesuaikan dengan daerah masing – masing, karena kecenderungan setiap daerah mengenai Ketentuan Hidup Layak tidak sama dan tidak bisa dipersamakan. Kemudian sebaiknya perihal upah minimum itu dikembalikan pada prinsip, sebagai upah yang diberikan kepada buruh sebagai timbal balik yang saling menguntungkan. Serta upah minimum ini bisa menjadi seperti sebuah ikatan yang memberikan pengamanan agar pemberian upah tidak jauh berada dibawah level kewajaran.
Ditulis Oleh:
Debby Thalita Nabila P, Devy Kusuma Wati, Fitriah, M Arif Hidayah, Surti Handayani.
Mahasiswa Angkatan II pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Jakarta.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.