Badai PHK di Bumi Tatar Pasundan dan Wajah Tua Kapitalisme

 


Di pembuka tahun 2018, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Karawang merilis data tentang buruh yang kehilangan pekerjaan. Pada tahun 2017, sejumlah 29.352 orang buruh tercatat punah pekerjaannya. Angka tersebut setara tiga perempat total populasi Kecamatan Tegalwaru di Karawang. Pada paruh tahun ini, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kabupaten Karawang Abdul Syukur menyatakan, sekurang-kurangnya 11 ribu orang telah di-PHK. Sektor yang paling dipukul oleh badai PHK tak lain Tekstil, Sandang dan Kulit (TSK).

Menurut Kepala Disnakertrans Karawang, Ahmad Suroto, per Juli 2018 sebanyak 15 dari sekitar 50 perusahaan TSK yang bermukim di Karawang telah hengkang. Kondisi ini tentu menimbulkan kengerian di lubuk hati pelaku ekonomi. Sasaran paling empuk untuk mencari kambing hitam atas maraknya PHK, khususnya di TSK, tak lain adalah tingginya UMK di Kabupaten Karawang. Sejak tahun 2013 upah di Kabupaten Karawang dipandang melejit sangat tinggi. Beberapa pihak menyebut UMK di Karawang tidak saja menjadi yang tertinggi di Indonesia, pun mengungguli upah minimum di beberapa ibu kota untuk kawasan Asia.

Apa yang terjadi di Karawang sesungguhnya hanya puzzle kecil dari bagaimana sistem ini bekerja. Dalam kehidupannya, secara naluriah klas buruh akan terus mengejar perbaikan hidup. Perjuangan untuk mendorong kenaikan upah lantas menjadi ekspresi paling alamiah dari maksud-maksud tersebut. Sebaliknya, kenaikkan upah yang tinggi ialah kabar buruk bagi seluruh telinga pemilik modal. Tak ada kapitalis yang rela melempar satu kepeng koinnya saja tanpa mengkhawatirkan merosotnya profit. Hanya lewat demonstrasi-demonstrasi yang keras, klas buruh bisa memaksakan pembagian remah-remah keuntungan lewat kenaikan upah.

Persis disini, orang-orang paling sadar menyebut kontradiksi ini tak terdamaikan. Buruh ingin sejahtera, kapitalis ingin menumpuk super laba. Pada situasi kenaikan ekonomi (boom) pertentangan ini bisa diatasi dengan konsensi-konsensi tertentu. Buruh berdemonstrasi, birokrat menengahi, upah lalu dinaikkan, kondisi kerja diperbaiki dan semua orang tampak bahagia. Kondisi lantas terlihat baik-baik saja, politisi penguasa akan bercuap-cuap bangga perihal pertumbuhan ekonomi. Namun siklus “boom” dan “bust” merupakan bagian integral dari kapitalisme. Tak ada perjamuan abadi dalam kapitalisme. Ada hari dimana mereka yang berpesta akan merana.

Dorongan untuk mengakumulasi modal, sebagai sumber kehidupan kapitalisme, memastikan krisis akan terjadi secara berkala. Dan tak seorang politisi pun yang dapat mencegahnya. Ketika kapitalisme sedang boom, perusahaan mencecap keuntungan yang meningkat, modal terakumulasi dan pasar menyerap lebih banyak komoditi. Tetapi kondisi ini tidak berlangsung selamanya. Perusahaan akan terus berjuang hidup, hanya dengan tak henti-henti mengakumulasi laba, mereka akan membesarkan kapital, bertahan dengannya demi melawan para pesaing.

Selama periode boom, beberapa perusahaan, – khususnya mereka yang tumbuh paling cepat-, akan memperluas operasi secara berlebihan. Bermaksud mencaplok sisa pasar yang tersedia. Dalam kapitalisme, keputusan tentang investasi dan produksi dibuat oleh ribuan perusahaan pesaing yang beroperasi tanpa kontrol. Dorongan kompetitif untuk mengakumulasi modal memaksa perusahaan memperluas kemampuan produktif mereka, seolah-olah tidak ada batasan pasar untuk menampung produk yang dihasilkan.

Perburuan laba ini tidak direncanakan secara sosial tetapi didikte oleh anarki pasar. Perlombaan gila-gilaan untuk berkuasa di pasar. Pertumbuhan satu industri tidak terkait dengan pertumbuhan industri lain, melainkan mengabdi pada ekspektasi laba. Semua ini menimbulkan akumulasi dan pertumbuhan yang tidak seimbang antara berbagai cabang produksi. Akumulasi modal berlebihan di beberapa sektor ekonomi segera muncul sebagai kelebihan produksi komoditas. Selanjutnya barang-barang menumpuk, tidak laku dijual, dan perusahaan-perusahaan yang terlanjur memperluas operasi mereka harus mengurangi produksi.

Komoditi yang tidak terjual akan menggerus tingkat laba. Satu persatu perusahaan mulai mengurangi investasi. Keuntungan anjlok, utang meningkat dan bank mendorong kenaikan suku bunga. Semua sirkus ekonomi ini berjalan dalam spiral kontraksi ekonomi yang kejam. Apa pun penyebabnya, pada periode “bust” hasilnya selalu sama: produksi menurun, kebangkrutan meningkat, pemotongan gaji, PHK dan pengangguran. Di saat seperti ini, politisi akan mulai mencari cara untuk memanipulasi statistik kemiskinan.

Industri tekstil, tempat dimana PHK membanjir di Karawang, tak lepas dari hukum-hukum tersebut. Pada bulan Mei tahun lalu, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat, tak bisa bersikap lain kecuali berkata jujur. Dalam lima tahun terakhir, industri tekstil di tanah air terus mengalami penurunan, baik dari segi ekspor maupun industrinya itu sendiri. Produk industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia kalah bersaing dengan produk asal Vietnam dan Bangladesh. Nilai ekspor produk tekstil Indonesia pada 2016 hanya mencapai 11,9 miliar dollar AS, tidak sampai separuh Vietnam, yang mencapai 30 miliar dollar AS. Pelemahan nilai Rupiah terhadap Dollar Amerika juga turut memperburuk keadaan. Menurut Chief Economist Bank Mandiri, Anton H, setidaknya ada enam industri yang paling terpukul pelemahan rupiah, satu diantaranya adalah tekstil.

Industri tekstil di Indonesia tentu saja hanya serupa sekoci kecil dalam kapal induk kapitalisme yang tengah goyang. Sejak dunia dihantam krisis 2008 yang berpusat di Amerika, wajah ekonomi dunia tak pernah lagi sama. Sejak itu perang dagang mencuat, proteksionisme ekonomi menjadi tren lama yang didaur ulang, lembaga-lembaga keuangan global tak berani mengumbar optimisme yang berlebihan dan konflik bersenjata pecah di berbagai wilayah. Para pendukung Jokowi boleh menyembah-menyembahi jalan tol baru atau barisan Prabowo bisa menjanjikan omong-kosong ini dan itu, tapi angka-angka di tabel akan mengkonfirmasi satu hal: ekonomi tengah pucat pasi. Pada 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai titik terendah sejak enam tahun terakhir, berada di bilangan 4,79 persen.

Di tahun berikutnya, target pertumbuhan ekonomi pun meleset. APBN-P 2016 menarget angka 5,2 persen, realisasinya cuma 5,02 persen. Setahun berselang, 2017 sama saja, hanya 5,07 persen dari target 5,2 persen. Tahun 2017 menjadi tahun lain demagogi kosong ekonom dan politisi penguasa yang tak berbukti. Dua bulan silam, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksi pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini akan berada dalam rentang 5,14 persen hingga 5,21 persen. Proyeksi tersebut jauh lebih rendah ketimbang asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, yakni 5,4 persen. Dan ketika Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dakiri, menetapkan perhitungan upah tahun 2019 berdasar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015, patokan pertumbuhan ekonomi yang dipakai 5,15 persen.

Ekonomi dunia sedang pucat pasi kurang darah. Lutut-lutut kapitalisme tengah bergoyang dihantam krisis yang tak menunjukkan tanda-tanda akan sembuh. Apa yang terjadi di Bumi Tatar Pasundan, Karawang itu, hanyalah noktah hitam dari sengkarut kapitalisme yang tak berujung. Persoalan di Karawang bukanlah persoalan tinggi rendahnya UMK, melainkan masalah khas kapitalisme. Klas buruh tak bisa lain kecuali harus menanggapi kondisi ini dengan meletakkan prespektif jauh kedepan, selain menyediakan energi yang cukup untuk membela klas nya dari dampak-dampak langsung krisis. Dalam keseharian, klas buruh melalui organisasinya harus tetap melaju, menggelorakan upaya menentang PHK massal, melawan upah murah, menggasak manipulasi sistem pemagangan, atau upaya pengalihan tenaga kerja dari buruh tetap menjadi outsourcing. Pun selain itu, mesti menyiapkan agenda yang lebih besar: gerakan politik progresif klas buruh dan rakyat tertindas lainnya.

Kemunduran-kemunduran gerakan buruh beberapa tahun belakangan tak bisa dibiarkan terbengkalai nir jawaban. Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI), memahami periode turun kapitalisme yang terejawantah dalam krisis kronis dan kemunduran gerakan buruh adalah kombinasi situasi yang sulit. Teramat sulit. Berdampingan dengan itu, tren politik di dalam negeri berkembang dan didominasi pertunjukan-pertunjukan paling norak, buruk dan membodohi rakyat. Dua kubu politik yang bersaing dalam Pilpres 2019 hanya memproduksi sentimen sektarian di satu sisi dan glorifikasi serta kultus yang memabukkan disini lain. Tugas gerakan buruh menjadi lebih sulit dan rumit dari sebelum-belumnya, sekaligus menjadi lebih penting dan bisa jadi sangat menentukan arah hari depan negeri ini.

KPBI dengan semua keterbatasan dan sumberdaya yang dimilikinya, memutuskan tidak menyerah menghadapi hambatan-hambatan yang berusaha membatasi perkembangan objektif klas buruh. Proletariat mesti membangun dan merapikan kembali alat-alat perjuangan klas nya. Pendidikan, bacaan, logistik, media propaganda, kerja pengorganisasian dan mobilisasi menjadi lebih menagih perhatian dan ketelitian untuk dikerjakan. Rapat Akbar di periode November dan Aksi Nasional tanggal 8 Desember 2018 akan menjadi langkah mula-mula yang sangat penting. Tetapi lebih jauh darinya, klas buruh wajib memastikan ajal bagi sistem kacau dan menyengsarakan, kapitalisme nan laknat itu. Di Karawang kita bisa menyaksikan bagaimana sistem ini membuat mubazir semua potensi terbaik pekerja. Maka, mengakhiri kapitalisme harus selalu menjadi buku agenda yang tersimpan di saku baju tiap-tiap klas pekerja.


(Saif Roja)