Pada sebuah kesempatan, Menteri Perencanaan Pembangunan (PPN), Bambang Brodjonegoro, mengungkapkan mayoritas petani masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bambang menyebut, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2016, sebanyak 14% penduduk miskin berada di pedesaan. Pertanian dan pedesaan memberikan kontribusi dalam ketimpangan di Indonesia. Desa masih menjadi kantong kemiskinan.
Hasil Sensus Pertanian tahun 2013 mengkonfirmasi kenyataan itu. Data menunjukkan 26,14 juta rumah tangga tani menguasai lahan rata-rata hanya 0,89 hektar per keluarga. Sekitar 14,25 juta rumah tangga tani lain hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Padahal, skala ekonomi yang layak untuk satu keluarga petani seharusnya minimal 2 hektar untuk kualitas tanah tertentu di Jawa. Sempitnya lahan keluarga petani menjadi penyebab utama kemiskinan.
Guna memberikan gambaran hubungan antara luas lahan garapan dan korelasinya langsung dengan kemiskinan di pedesaan, berikut saya cuplik sebuah cerita. Kemarin, saya sempat berbincang dengan sepasang petani. Mereka bernama Pak Sanggem dan Pak Sayok. Masing-masing dari keduanya memiliki lahan sekitar 1250 M2. Lahan tersebut tidak dalam satu hamparan, melainkan berupa petak-petak yang terpisah.
Dalam satu tahun, lahan-lahan itu ditanami padi sebanyak dua kali dan satu kali ditanami tanaman palawija. Satu kali musim panen (sekitar 120 hari), rata-rata mereka mendapatkan 400-an Kg beras. Merujuk harga jualnya yang sebesar 8000/Kg, mereka mendapat uang 3,2 juta rupiah. Jika dipotong biaya produksi 600 ribu, artinya penghasilan bersih yang didapat ada dikisaran 2,6 juta per-4 bulan atau 620 ribu/bulan. Angka-angka ini mengacuhkan biaya tenaga kerja, tenaga mereka tidak dihitung.
Umumnya, apa yang akan dilakukan oleh orang-orang di saat luang bila penghasilannya sudah cukup memenuhi kebutuhan hidup keluarganya? Menghabiskan waktu dengan keluarga atau menekuni hobi, begitu kan ya ? Hal ini tidak berlaku bagi Pak Sanggem dan Pak Suyok. Mereka harus tetap bekerja demi menutupi kebutuhan hidup, sebab hasil bertaninya hanya mencukupi sebagian kecil kebutuhan keluarga.
Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) memiliki pengalaman mengorganisir orang-orang seperti Pak Sanggem dan Pak Sayok. Mereka yang mencari tambahan penghasilan dengan bekerja menjadi buruh konstruksi untuk proyek-proyek pribadi dan proyek konstruksi skala menengah dan besar. Pengalaman tersebut dituliskan dalam sebuah buku “BERLAWAN”, sebuah buku yang akan segera terbit. Dari sana dapat diintip kemiskinan di pedesaan bergerak masuk ke proyek-proyek konstruksi dalam wujud tenaga upahan.
Lantas bagaimana pemerintah Jokowi mengatasi masalah kemiskinan di pedesaan yang disebabkan oleh sempitnya lahan garap petani? Tentu saja Jokowi mendaku punya resepnya, sebagaimana barisan pendukungnya akan mengamininya mentah-mentah. Mari kita telisik klaim resep Jokowi yang dimaksud.
Reforma Agraria ala Jokowi
Apa itu Refomia Agraria ?
Berdasar apa yang saya kutip dari kpa.co.id pada tulisan Irwan Nurdin didapat sebuah penjelasan. Inti dari pembaruan agraria adalah landreform yaitu redistribusi kepemilikan dan penguasaan tanah. Meskipun demikian landreform tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh program-program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya.
Apa persisnya tujuan dari agenda Reforma Agraria?
Tujuan Reforma Agraria menurut UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) adalah penciptaan keadilan sosial, peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mewujudkan tujuan kemerdekaan bangsa yang terangkum dalam Pembukaan UUD 1945 dan terjemahan dari praktek ekonomi negara dalam Pasal 33 UUD 1945.
Dalam “Reforma Agraria untuk Pemula”, (2015), Gunawan Wiradi menulis,
“Salah satu penjabarannya adalah undang-undang 1960:56 perihal penetapan luas maksimum tanah pertanian (yang salah-kaprah disebut undang-undang Land Reform). Pada masa (aturan itu ditetapkan) pertanian rakyat diprioritaskan sehingga dibutuhkan landasan hukum bagi tindakan pemerintah untuk mengambil kelebihan tanah agar bisa dibagikan kembali (redistribusi) kepada para petani penggarap dan petani tak bertanah”.
Inti sari dari Reforma Agraria hakekatnya adalah menyita kelebihan tanah untuk didistribusikan ulang. Baik itu tanah yang dimiliki oleh tuan tanah tradisional ataupun kepemilikan yang ditampilkan dalam wujud yang lebih modern. Tanah mereka akan dibagikan kembali kepada petani penggarap dan tak bertanah, demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan.
Di bawah ini saya kutip pernyataan Jokowi dari detik.com,
“Dalam 2 tahun kita telah bagikan konsesi-konsesi lewat perhutanan sosial baik untuk masyarakat ada hak wilayah, petani, nelayan yang 2 tahun ini kita bagikan konsesi sebesar 2,6 juta Hektar, dari 12,7 yang kita siapkan,”
Ujaran ini disampaikan Jokowi dalam Debat Capres Jilid 2 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019).
Selain hak konsesi untuk petani hingga nelayan, Jokowi juga memamerkan kinerjanya terkait membagi-bagi sertifikat tanah kepada masyarakat.
“Pembagian sertifikat 2017 ada 5 juta sertifikat kepada rakyat di bawah. 2018 lebih dari 7 juta sertifikat,” katanya.
Dari kutipan diatas saya menangkap dua hal yang diklaim Jokowi sebagai Reforma Agraria, yaitu bagi-bagi sertifikat dan bagi-bagi tanah.
Pertama, bagi-bagi sertifikat. Sederhananya ini dimaksud sebagai pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah menurut ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPA meliputi:
Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak tersebut.
Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Artinya, sudah jelas kedudukan objeknya (tanah). Tidak dalam persengketaan. Jadi, mengacu pada pengertian Reforma Agraria, sertifikasi tanah atau bagi-bagi sertifikat sama sekali bukan inti dari Reforma Agraria. Karena tidak berhubungan langsung dengan maksud dan tujuan Reforma Agraria.
Lalu, mengapa pendaftaran tanah masuk di UUPA ?
Seorang teman yang cukup mendalami masalah Agraria berpendapat UUPA memang lebih pasnya disebut UU pendaftaran tanah, bukan UU Pokok Agraria, karena isi UU NO. 2 tahun 1960 itu 80 persen adalah tentang pendaftaran tanah. Sisanya baru soal Reforma Agraria.
Selanjutnya soal klaim bagi-bagi tanah oleh Jokowi. Kebijakan tersebut tidak lebih dari akses legal pengelolaan kawasan hutan, melalui lima skema pengelolaan. Saya kutip dari web Kominfo, lima skema pengelolaan kawasan hutan yaitu Skema Hutan Desa (HD) hutan negara yang hak pengelolaannya diberikan kepada lembaga desa untuk kesejahteraan desa. Hutan Kemasyarakatan (HKm), yaitu hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat.
Selanjutnya, Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Hutan Adat (HA), dimana hutan ini adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hutan adat. Skema terakhir adalah Kemitraan Kehutanan, dimana adanya kerjasama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan hutan, jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan.
Artinya, kawasan-kawasan hutan yang dilegalisasi dengan berbagai skema pengelolaan, pada kenyataannya sudah menjadi lahan garapan para petani. Jika kita punya sedikit saja pengalaman mendatangi kawasan dalam kategori itu, kenyataannya kaum tani sudah menggarap lahan-lahan cukup lama, bahkan ada yang sudah puluhan tahun.
Dari berbagai skema pengelolaan itu, adakah tanah hasil dari penyitaan lahan yang dikuasai tuan tanah dan korporasi yang dikelolakan kepada kaum tani? Rasanya semua orang belum pernah mendengar atau membaca. Jadi, yang terjadi adalah memasukkan kaum tani menjadi bagian dari tenaga penggarap di kawasan-kawasan dimaksud. Di sana tidak terjadi peralihan kepemilikan, artinya tidak terjadi Reforma Agraria. Maka, merujuk pengertian dari Reforma Agraria yaitu menyita dan membagi, kedua program Jokowi, bukan Reforma Agraria seperti yang dikehendaki Pasal 33 UUD 1945.
Jejak Penguasa Tanah dalam Pemilu Presiden 2019
Dalam debat kedua Pemilu Presiden ada fakta menarik yang diungkap Jokowi yaitu tentang jumlah lahan yang dikuasai oleh Prabowo. Jokowi menyebut bahwa Prabowo menguasai lahan seluas 340.000 Ha atau lima kali luas Jakarta. Sebagai ‘pejuang, nasionalis, patriotik’ yang sejak 2004 mengaku berdiri bersama rakyat, Prabowo tak menampik ucapan Jokowi. Tanpa malu-malu dia justru mengakuinya, dengan imbuhan perkataan “Dari pada dikuasai asing”.
Padahal hampir di setiap kesempatan Prabowo selalu menuduh ketimpangan penguasaan tanah dan Sumber Daya Alam sebagai biang kerok kemelaratan rakyat Indonesia. Fakta yang terungkap di debat capres ini kemudian ditangkap oleh Publik. Banyak postingan dan pemberitaan media menyoroti hal ini. Tidak hanya Prabowo yang menjadi sorotan, pun orang-orang di sekeliling Jokowi yang juga memiliki lahan ribuan Hektar. Nama-nama Luhut Binsar Panjaitan, Erick Thohir, Haritanu Soedibyo ikut pula disebut.
Awalnya saya mengira, persoalan penguasaan lahan dan Sumber Daya Alam ini akan menjadi bola panas yang menghantam ke berbagai arah. Menjadi peluru Jokowi untuk mencoba bersekutu dengan Rakyat dan melawan tuan tanah dan korporasinya yang menghambat Rakyat sejahtera. Namun, perkiraan saya itu salah total.
Jokowi sendiri telah membantah bahwa dia mempersoalkan kepemilikan tanah Prabowo. Dia menegaskan bahwa kepemilikan tanah (Prabowo) tersebut sah. Tidak hanya Jokowi, Moeldoko dan Jusuf Kalla juga mengatakan hal yang sama. Rupanya benar-benar kompak mereka untuk urusan yang satu ini. Aspirasi dan pendiriannya sama sepenuhnya.
Terkuaknya fakta kepemilikan lahan ‘RAKSASA’ kedua kubu (meskipun bukan hal yang benar-benar baru bagi kita), setidaknya menegaskan bahwa baik Jokowi atau Prabowo tak pernah sungguh memberantas kemiskinan yang salah satunya bersumber pada ketimpangan distribusi tanah. Mereka berdua kompak untuk tidak mencabut akar masalah pertanahan dengan melibas penguasa-penguasa tanah besar dan memberikannya ke rakyat. Demikianlah, Pemilu kali ini masih menjadi ajang pertarungan diantara faksi Borjuasi, Penguasa Tanah Besar, dan Birokrat-Birokrat Kaya. Di sana, hanya cebong dan kampret lah yang bertempik sorak, sementara Pak Sanggem dan Pak Suyok hanya bisa mengelus perutnya yang lapar.
Posting Komentar