MENULISKAN KEKALAHAN KITA!

 

(yang tersisa dari pendidikan sejarah, kemarin)

Sehari kemarin, pendidikan dasar KPBI mengulas sebuah film bertemakan sejarah, Sejarah Gerakan Buruh Indonesia (SGBI). Dari pertama saya belajar serikat, sekitar 1999 lampau, materinya tak banyak berubah. Artinya, penulisan sejarah jalan di tempat. Atau lebih tepatnya, serikat buruh tak banyak melakukan review atas sejarah. Atau, paling minimal, serikat buruh malas memperbarui bahan belajarnya. Ini masalah!

Dalam film berdurasi 2 jam tersebut, film menceritakan pembabakan menjadi 4; pra kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan reformasi. 3 babak pertama, maklumlah kalau penulisannya masih standard, karena itu masa lalu yang sudah terjadi. Kita bisa memakluminya. Tetapi, ketika berbicara mengenai sejarah fase reformasi, ceritanya masih sama. Dimulai jatuhnya Soeharto, lahirnya UU 21/2000, lalu SPSI pecah, terus sampai pada kesimpulan: serikat buruh menjadi liberal. Persis sekenario lembaga keuangan internasional yang menjadi sponsor lahirnya UU tersebut. Ironis.

Bahkan, tak muncul cerita-cerita baru yang banyak terjadi di lingkungan kerja. Tak ada cerita mengenai orasi Dita Indah Sari dalam May Day 2001 di Monas; jauh sebelum dia menjadi staff khusus Menteri Ketenagakerjaan. Tak ada cerita Ilhamsyah yang memimpin aksi di pelabuhan Tanjung Priok, tak ada cerita bagaimana Said Iqbal memimpin MPBI, dan tentu saja tak ada cerita manis ketika pimpinan-pimpinan Konfederasi yang nyambi jadi komisaris di BUMN, sebagai hadiah dari Penguasa. Bukankah ini cukup menunjukkan kemiskinan literasi kita? Kesimpulan yang lebih absurd, kita malas menuliskan kehidupan sehari-hari kita.

Lalu, seorang peserta, tiba-tiba menguak beberapa fakta yang kian menampar: Pertama, Orde Baru Soeharto tidak menulis UU Perburuhan. Sebagai fasilitator dalam pendidikan, saya tak buru-buru melakukan cek melalui mesin pintar internet. Saya menerima omongan dia sambil berpikir: benarkah Orde Baru tidak membuat UU Perburuhan? Ingat, UU ya, bukan aturan turunannya. Tolong ingatkan saya kalau ternyata salah. Dan seandainya benar pendapat ini. Celakalah kita”: Bertahun-tahun direpresi orde baru tanpa perlu membuat Undang-Undang!


Pernyataan kedua, yang tak kalah pedas, dia bilang: kita tak pernah jujur menuliskan sejarah kekalahan kita! Apa maknanya? Kita terlalu lama menghibur diri, mengilusi diri sendiri, dan menempatkan diri di sudut jendela agar mendapatkan angin surga yang semilir. Ceritanya yang bagus-bagus saja, katanya dengan lebih serius. Saya tahu, kawan peserta yang perenung ulung ini sedang mengingatkan kita bahwa belajar tentang sebuah hal, membangun kekuatan serikat buruh yang kuat di masa mendatang, dapat dilakukan dengan cara sebaliknya: mempelajari kekalahan-kekalahan sebelumnya dan melakukan refleksi secara mendalam, kenapa kita kalah?

Cerita kekalahan menjadi penting, setidaknya untuk membuktikan sebuah pendapat yang selalu kita ulang bahwa organisasi yang baik, bukanlah organisasi yang tanpa kesalahan. Tetapi, organisasi yang berusaha keras untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa mendatang. Refleksi kedua, sebenarnya untuk mengakui dengan terbuka dan jujur bahwa pihak lawan, tentu saja para majikan (yang tak pernah kita ketahui tempat tinggalnya itu), selalu lebih cepat belajar dibandingkan kita.

Mau bukti? PP 78/2015 dan beberapa SEMA yang mengatur hukum-hukum di pengadilan industrial adalah bukti nyata bahwa mereka sudah menyiapkan 3 langkah kuda lebih cepat ketimbang serikat buruh.

Pertanyaan besarnya hanya satu: KAPAN KITA AKAN MEMULAINYA?