GENDERANG PERANG MELAWAN OMNIBUS LAW CIPTA KERJA!

 


Genderang perang perlawanan buruh Indonesia terhadap kebijakan Pemerintah Joko Widodo yang sangat pro investasi dimulai ketika pada 12 Februari 2020, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Indonesia Maju Airlangga Hartarto secara resmi menyerahkan draft Omnibus Law Draft Undang-Undang Cipta Kerja kepada Parlemen untuk di bahas. Draft Omnibus Law setebal 1028 halaman tersebut, memuat 15 bab, 11 kluster, dan 174 pasal, akan merevisi sebanyak 79 Undang-Undang yang mencakup 1.224 pasal. Penolakan Buruh Indonesia, terutama dikaitkan dengan adanya kluster Ketenagakerjaan yang kontroversial.

Sekretaris Jenderal SERBUK Indonesia menyatakan, setidaknya ada dua alasan penolakan terhadap Omnibus Law tersebut. Pertama, karena proses penyusunannya yang cacat hukum. Kedua, karena isinya yang akan menghapus kesejahteraan buruh. “Penyusunan Omnibus Law ini, melanggar ketentuan pasal 96 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peratutan Perundang-undangan karena tidak pernah melibatkan partisipasi publik,” jelas Khamid, di Jakarta.

Sementara, Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia Ilhamsyah menegaskan penolakannya karena pasal-pasal yang ada hanya menguntungkan investor dan merugikan buruh Indonesia. “Omnibus Law Cipta Kerja hanya merupakan karpet merah bagi pemodal dan investasi, tapi tidak berguna untuk buruh Indonesia,” ungkap Ilhamsyah.



Pasal-pasal Ketenagakerjaan pada Draft Omnibus Law Cipta Kerja yang mengancam kesejahteraan buruh antara lain berupa: mempermudah terjadinya PHK, penurunan nilai pesangon, penerapan upah per jam, liberalisasi upah pekerja kepada mekanisme bipartit di perusahaan, dan melanggengkan sistem kerja kontrak.

Lebih lanjut, Ilhamsyah menegaskan bahwa Omnibus Law Cipta Kerja tersebut, akan memberikan tiga kerugian utama bagi buruh Indonesia. Pertama, penghapusan atau penurunan secara drastis pesangon akan menciptakan PHK massal. Kebijakan penurunan nilai pesangon akan memberikan kesempatan bagi pengusaha lebih mudah memPHK buruh serta meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia. Kedua, penerapan upah dengan hitungan per jam akan menjauhkan buruh dari kepastian kerja. Upah buruh akan dipangkas habis sehingga tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebijakan ini merupakan pemiskinan buruh secara struktural.

Ketiga, Negara berlepas tangan dalam memberikan perlindungan dengan memberikan mekanisme bipartite secara liberal. Selama ini pemerintah telah membiarkan praktek union busting di perusahaan sehingga proses bipartite di perusahaan pasti akan merugikan buruh.

Secara garis besar, berbagai kebijakan dalam Omnibus Law Cluster ketenagakerjaan akan memperdalam cengkeraman pasar kerja fleksibel dan akan melemahkan daya tawar buruh untuk bisa berserikat. Pelemahan serikat buruh di perusahaan, sangat bertentangan dengan konvensi ILO Nomor 87/1948 tentang Kebebasan Berserikat dan konvensi ILO 98/1949 tentang Hak Berunding. Pelemahan Serikat Buruh akan berdampak terhadap mudahnya PHK terhadap buruh, pengurangan upah, pemberlakuan sistem kerja yang fleksibel, dan perampasan hak-hak lainnya seperti pelanggaran upah lembur, hak maternitas, hingga keselamatan kerja.


Khamid Istakhori menegaskan bahwa Omnibus Law bukan jawaban atas Problematika stagnasi ekonomi dan hambatan masuknya investasi di Indonesia. Terlebih, empat besar penghambat utama investasi di Indonesia berdasarkan survei World Economic Forum pada 2019 tidak berhubungan dengan ketenagakerjaan. Keempat penghambat utama itu adalah korupsi (13 persen), birokrasi tidak efisien (11 persen), akses ke pembiayaan 11 persen, dan regulasi pajak 5 persen. “Omnibus Law merupakan jawaban yang salah atas masalah Pemerintah untuk mengatasi mandegnya investasi yang disebabkan maraknya praktik korupsi,” tegas Khamid.

SERBUK Indonesia dan KPBI, menegaskan sikapnya atas penolakan terhadap Omnibus Law dan mendesak kepada Parlemen untuk membatalkan pembahasan kluster Ketenagakerjaan dalam Omnibus Law dan mengajak gerakan rakyat multisektor untuk berjuang bersama.