Omnibus Law: Buruh Perempuan Paling Terdampak!

 

“Buruh perempuan, yang selama ini berada dalam rantai terbawah dalam sistem produksi, akan semakin menderita,” tegas Dian Septi Trisnanti, Ketua Departeman Perempuan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI). Pernyataan tegas tersebut, disampaikannya ketika menjadi salah satu pembicara dalam diskusi publik bertajuk “Menggugat UU Sapu Jagat” yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bekerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STHI Jentera, di kampus Jentera pada 31 Januari 2020.

Diskusi yang dihadiri tak kurang dari 40 peserta dan sebagian besar perempuan tersebut, dimaksudkan sebagai agenda membangun kesamaan pandangan dan sikap atas rencana Pemerintah yang akan segera menerbitkan UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Dua cluster yang mendapatkan gugatan paling besar, terutama terkait dengan Ketenagakerjaan dan Lingkungan Hidup. “Dua cluster ini, merupakan yang paling kontroversial,” ujar Direktur LBH Jakarta Arif Maulana yang juga turut hadir sebagai pembicara. Menurutnya, ada dua hal penting yang menjadi dasar gugatan, yaitu substansi permasalahan yang masuk dalam RUU Omnibus Law dan prosesnya yang tidak transparan. Dalam pandangan LBH Jakarta, kontroversi RUU Omnibus Law karena di dalamnya terdapat konsep-konsep besar yang akan menggerus kesejahteraan buruh, sebut saja masalah jam kerja. Meskipun dalam berbagai kesempatan Pemerintah menampik tudingan tersebut, tapi argumen yang diajukan tak pernah bisa menghilangkan kekhawatiran buruh. Sementara, terkait prosesnya, Pemerintah juga sangat tertutup. “Bayangkan, untuk urusan Omnibus Law yang akan berdampak terhadap jutaan buruh di Indonesia, mereka sama sekali tak mengajak buruh berbicara,” tegas Arif.














Pembicara lain, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) M Nur Sholikin menambahkan bahwa Pemerintah sejatinya mengabaikan ketentuan hukum terkait prosedur penyusunan sebuah undang-undang, terutama terkait dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurutnya, Pemerintah mengabaikan ketentuan dalam Pasal 96 UU tersebut yang menegaskan agar sebuah draft peraturan perundang-undangan harus mudah diakses oleh masyarakat. “Inti dari pelibatan masyarakat tersebut adalah adanya ruang dialog yang terbuka luas antara Pemerintah dengan masyarakat yang dalam rencana UU Omnibus ini sama sekali dihilangkan,” tegas Nur Sholikin menjawab pertanyaan peserta diskusi.

Ketua BEM STHI Jentera Alviani Sabillah juga menyoroti hal serupa, terutama terkait dengan ancaman bagi buruh perempuan atas rencana penerbitan UU Omnibus Law tersebut. Baginya, kondisi buruh perempuan saat ini sudah sangat buruk dengan minimnya perlindungan atas hak reproduksi dan upah serta jam kerja dan tidak bisa dibayangkan seandainya UU tersebut disahkan. “Buruh perempuan akan bekerja dalam jam kerja yang panjang, upah yang lebih kecil, dan tentu saja beban ganda untuk mereka akan semakin besar,” kata Alviani memberikan tanggapan secara tegas.

Pada akhir sesi, BEM STHI Jentera dan LBH Jakarta bersepakat untuk menyatukan diri bersama dengan berbagai elemen masyarakat dan gerakan buruh untuk bergerak bersama dalam aksi-aksi lapangan menolak rencana Pemerintah menerbitkan UU Omnibus Law. “Segala cara harus dilakukan dengan melibatkan semaksimal mungkin anggota di basis kita,” tegas Alviani menyerukan gerakan bersama.