RUU CILAKA SUNGGUH MEN’CILAKA’KAN BURUH PEREMPUAN!

 


“Sekarang saja mau cuti haid tetep susah harus pakai surat dokter padahal di aturan ada apalagi kalau RUU Cilaka disahkan, nanti ijin cuti gak dibayar lagi. Sungguh cilaka.”

Pro kontra RUU Omnibus Law terus bergulir sejak diwacanakan Presiden Jokowi bulan Agustus 2019 lalu. Ada beberapa yang mendukung aturan ini disahkan terutama Asosiasi Pengusaha dan Kadin Indonesia. Namun juga banyak pihak yang tidak setuju bahkan menolak aturan ini disahkan. Dari berbagai kalangan menilai RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini tak lain sebagai kebijakan yang semakin memiskinkan rakyat dan mempercepat kerusakan lingkungan. RUU ini dianggap hanya mengutamakan kepentingan pemilik modal saja dengan memperparah nasib kehidupan rakyat dan keberlanjutan lingkungan hidup. Salah satu yang menolak RUU ini berasal dari kaum buruh.

Dalam agenda pendidikan buruh, kaum buruh perempuan menyoroti persoalan budaya patriarki dan politik investasi melalui kebijakan RUU Cipta Lapangan Kerja. Agenda pendidikan ini sekaligus konsolidasi menjelang peringatan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day). Agenda yang diselenggarakan Serbuk Indonesia dan KPBI (22/02) ini banyak mengulas tentang RUU Cipta Lapangan Kerja tertutama dampaknya bagi kaum buruh perempuan.

Rancangan UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang saat ini draftnya sudah diserahkan kepada Anggota Dewan, setidaknya akan merevisi 79 UU sekaligus yang dipandang menghambat laju investasi. Salah satunya merevisi UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, terutama masalah upah, cuti, dan syarat kerja. Dalam RUU Cipta Lapangan Kerja (atau RUU Cipta Kerja) upah per jam akan diberlakukan terutama untuk sector padat karya, upah minimum hanya akan ditetapkan di tingkatan provinsi sebagai acuan saja namun selebihnya terkait upah akan ditetapkan oleh pengusaha, tidak ada sanksi terhadap pengusaha yang membayar buruh dengan upah murah.


Keberlangsungan kerja bagi buruh juga semakin tidak pasti melalui pemberlakukan syarat kerja fleksibel. Pengusaha diperbolehkan merekrut pekerja dengan status kontrak ataupun alih daya (outsourcing) tanpa ada batasan jenis pekerjaan yang boleh diterapkan dengan status tersebut. Artinya untuk semua jenis pekerjaan, pengusaha boleh menerapkan sistem kerja kontrak ataupun alih daya (outsourcing).

Persoalan hak cuti juga menghantui buruh terutama buruh perempuan. Jika di dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 81 dan 82 mengatur mengenai hak cuti haid dan melahirkan. Point pasal ini mengatur pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Dan buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Baik cuti karena haid, cuti melahirkan atau karena keguguran, pengusaha tetap wajib membayarkan upah kepada buruh.

Sementara di dalam RUU Cipta Kerja yang baru, kedua pasal tersebut dihapus dan digantikan dengan ketentuan di dalam Pasal 93 RUU Cipta Kerja ini yang mengatur upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Lebih lanjut hanya dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku apabila buruh tidak dapat bekerja karena berhalangan. Tidak ada definisi tegas tentang makna “berhalangan.” Artinya pengusaha bisa mendefinisikan kata “berhalangan” ini sesuai dengan kepentingannya.

“Sekarang saja mau cuti haid tetep susah harus pakai surat dokter padahal di aturan ada apalagi kalau RUU Cilaka disahkan, nanti ijin cuti gak dibayar lagi. Sungguh cilaka,” ujar salah satu buruh perempuan yang hadir. “Padahal cuti haid dan cuti melahirkan ini sudah ada sejak jaman kemerdekaan, masak mau dihapus gitu aja. Itu perjuangan buruh perempuan kala itu. Kita jangan mau kalau itu dihapus, RUU Cilaka ini harus kita tolak, jangan sampe disahkan yang ada nanti kita makin cilaka,” sambung buruh yang lain.

Kalau yang jelas-jelas diatur saja masih dilanggar dan dipersulit, bagaimana jika tidak diatur? Lebih cilaka-lah kita ini.