Bahan Beracun Berbahaya Asbestos: Problem Regulasi Dua Kaki.


 Bagaimana Regulasi Membatasi?

Penggunaan asbes berdapak terhadap lingkungan sekitar. Dampak terbesar, salah satunya terkait dengan pengelolaan limbah asbes yang tidak bisa dipergunakan kembali serta dilakukan daur ulang dalam bentuk apapun (Control of Asbestose Regulation, 2006) . Selain itu, asbes termasuk dalam limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) yang tidak boleh berada di air, tanah, dan udara karena akan menimbukan risiko kesehatan. Adanya asbes di lingkungan dapat menurunkan kualitas lingkungan sehingga sangat merugikan.

Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 21 disebutkan pengertian bahan berbahaya dan beracun adalah:

“Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain”

Lebih rinci, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun, asbes dikategorikan sebagai bahan berbahaya dan beracun. Regulasi ini, secara tegas juga menyatakan bahwa asbes masuk kategori pertama (A1) sebagai bahan berbahaya dan beracun. Pasal 69 UUPPLH secara tegas bahkan melarang impor bahan berbahaya masuk ke dalam wilayah Indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut, seharusnya cukup bagi Pemerintah untuk menghentikan penggunaan asbes untuk produksi apapun di Indonesia.

Selain itu, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No.3/Men/1985 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pemakaian Asbes juga mengatur secara ketat penggunaan asbes untuk industri. Bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki material asbes di tempat kerjanya, diwajibkan untuk melakukan upaya-upaya pencegahan yang meliputi: penyediaan alat pelindung bagi pekerjanya, melakukan sosialisasi kepada pekerja terkait bahaya asbes, memasang tanda dan rambu berbahaya, dan melakukan pengendalian debu asbes.

Bentuk pengendalian debu asbes yang dimaksud adalah pengadaan ventilasi, pemeriksaan kesehatan bagi tenaga kerja, dan APD yang sesuai. Sebelum penggunaan asbes dapat dihentikan, upaya preventif tersebut diharapkan mampu meminimalisir bahaya asbes bagi pekerja di perusahaan.

Aturan lain yang secara ketat mengatur penggunaan asbes adalah Keputusan Menteri Kesehatan RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal. Aturan ini mengatur persyaratan rumah tinggal yang sehat yaitu: bahan bangunan yang digunakan untuk membangun rumah tidak terbuat dari bahan yang melepaskan zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan, seperti kadar timah hitam tidak melebihi 300 mg / kg, debu total tidak melebihi 150 gr /m3, asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber / m3 4 jam, serta tidak terbuat dari bahan yang tempat berkembangnya mikroorganisme patogen.

Apakah berbagai regulasi tersebut efektif membatasi penggunaan asbes?

Subono menjelaskan bahwa di lapangan, situasinya berbeda. “Di pabrik tempat kerja saya dulu, kondisinya tidak ideal seperti yang disyaratkan oleh peraturan. Bahaya tetap saja mengancam,” ujarnya mengenai bahaya asbes di tempat kerja. Buruknya kondisi tersebut, dapat dilihat pada berbagai fasilitas yang tersedia di perusahaan. Menurutnya, pekerja bekerja tanpa masker atau memakai masker tapi tidak sesuai standar, tidak ada alat pelindung diri, dan ventilasi yang buruk.

Sependapat dengan Subono, Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Barat Angga menjelaskan bahwa berbagai upaya pengawasan dan pengendalian sudah dilakukan, salah satunya pemeriksaan langsung ke perusahaan. “Bersama Federasi SERBUK, Pengawas telah melakukan pemeriksaan ke perusahaan dan ada banyak rekomendasi untuk pengujian ulang persyaratan kerja, tapi semua berhenti pada nota pemeriksaan, tak ada penindakan.

Salah satu hambatannya, menurut Angga, adalah sikap perusahaan yang tetap bersikukuh menyatakan bahwa tidak semua asbes tidak berbahaya. Dengan berdalih pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No.3/Men/1985 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pemakaian Asbes yang ‘hanya’melarang penggunaan asbes biru (criscodolit) dan mengizinkan penggunaan asbes putih. Sikap ini, mendapat ‘seolah’ dukungan dari pemerintah yang tetap membiarkan penggunaan asbes putih sepanjang masih Dengan berdalih pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No.3/Men/1985 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pemakaian Asbes yang ‘hanya’melarang penggunaan asbes biru (criscodolit), Pemerintah bersikukuh tetap diperbolehkan menggunakan material asbes karena menggunakan asbes putih dan masih masuk dalam standard ambang batas yang diizinkan, yaitu hanya 0.0894 serat/milimeter.

Menanggapi pernyataan tersebut, Dokter Anna Suraya, Ketua Bidang Pengembangan Ilmiah Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki) menyatakan bahwa yang berbahaya bukan saja asbes biru (yang sudah dilarang), tapi juga tapi juga asbes putih (chrysotile) yang masih banyak dipakai untuk industri. “Asbes putih yang diklaim aman untuk kesehatan, sejatinya memiliki bahaya yang sama dengan asbes biru, dapat menyebabkan kanker,” jelas dr. Anna.

Mengatasi keruwetan regulasi tersebut, Angga menegaskan bahwa kendali sekarang ada pada Pemerintah Pusat yang punya wewenang untuk menegakkan aturan mainnya. “Insiatifnya harus datang dari Pemerintah Pusat agar kami di daerah tidak terjebak pada situasi yang sulit,” tutur Angga.

Oleh: Khamid Istakhrori | Sekjen SERBUK Indonesia