BERITA DUKA DARI SEMARANG: CORONA, TIDAK KERJA, LALU PHK: SAMA-SAMA KEJAM!

 

Kami menyebutnya sebagai berita duka, karena memang seperti itu nyatanya. Basis SERBUK PT Jaykay Files Indonesia (JKFI) di Semarang, seperti disambar petir pada siang bolong, justru ketika hari sedang sangat terik. 368 pekerja dari total 600 pekerja di perusahaan tersebut di PHK dengan alasan kelangkaan bahan baku. Penyebabnya, menurut HRD Perusahaan kelangkaan bahan baku karena kiriman dari India terhambat. Lagi-lagi, perusahaan dengan enteng menyebutkan Corona sebagai kambing hitam.

Ketua SBA SERBUK PT JKFI Kuswoyo melalui pesan WhatsApp menyebutkan bahwa sebenarnya gelagat perusahaan sudah terlihat sejak beberapa bulan terakhir, ketika dirinya masuk dalam daftar pekerja yang diPHK dengan alasan efisiensi. “Saya dan tiga pengurus serikat lainnya termasuk yang diefesiensi sejak Januari 2020, meskipun alasannya tidak pernah jelas,” protes Woyo.

Perjalanan pekerja PT JKFI memang seperti drama dalam film Bolywood, bukan saja karena inang perusahaan ini memang berasal dari India, tapi karena memang penuh liku dan air mata. Perusahaan yang memproduksi alat penunjang konstruksi seperti gerinda, kikir, dan mata bor awalnyaa berlokasi di Sidoarjo Jawa Timur. Ketika pada 2016 perusahaan ini memindahkan lokasi usahanya ke Semarang, Kuswoyo dan kawan-kawan mulai direkrut.

“Perusahaan banyak melanggar hak-hak normatif buruh, THR dan upah kami selalu di bawah ketentuan undang-undang,” jelas Woyo mengenai kepatuhan perusahaan terhadap regulasi. Pengacara Publik LBH Semarang Herdin menyebutkan bahwa kasus ini sudah didampingi oleh LBH Semarang, terutama dalam proses bipartite dan mediasi. “Anjuran terhadap kasus PHK Kuswoyo dkk sudah keluar, mediator menganjurkan agar perusahaan mempekerjakan kembali para pekerja,” jelas Herdin saat dihubungi melalui telepon.











Tim Advokasi SERBUK Wilayah Jawa Tengah dan DIY Ardan yang mendampingi pekerja menjelaskan proses PHK yang dilakukan oleh perusahaan. Menurut Ardan kasus PHK terhadap Kuswoyo dkk dengan alasan efisiensi saja belum usai dan masih dalam proses, tapi tiba-tiba perusahaan menempelkan pengumuman terkait PHK 368 pekerja. “Prosesnya dilakukan sepihak tanpa bipartite dengan serikat pekerja. Perusahaan tidak memberikan tawaran kompensasi apapun atas PHK ini,” ujar Ardan.

Selain itu, Ardan juga menyayangkan sikap perusahaan yang justru langsung mendaftarkan 368 nama pekerja ke Kantor Dinas Tenaga Kerja Kota Semarang untuk mendapatkan Kartu Pra Kerja. “Perusahaan juga melepaskan tanggung jawab dengan memasukkan daftar nama 368 pekerja yang diPHK sepihak untuk mendapatkan Kartu Pra kerja, padahal upah selama Maret 2020 juga belum sepenuhnya dibayarkan,” tegas Ardan.

Kondisi merebaknya wabah virus Covid-19 memang menjadi ancaman bagi semua orang. Bukan saja ancaman penyakit yang ditimbulkan dan dapat merenggut nyawa manusia, tapi dampak lain yang juga harus dialami pekerja. Sedangkan, pada sisi yang berbeda, Pemerintah Indonesia seolah gagap dalam mengambil kebijakan untuk melindungi kaum pekerja. Berbagai media mengabarkan keluhan para pekerja yang tetap harus bekerja di tengah merebaknya wabah tanpa perlindungan yang memadai.

Selain mereka yang harus tetap bekerja di tengah ancaman bahaya, Pemerintah juga tak punya upaya maksimal untuk melindungi pekerja dari perlakuan semena-mena pengusaha yang merumahkan pekerja, melakukan PHK, dan menghentikan operasional perusahaan dengan alasan Corona. Puluhan ribu buruh dirumahkan dan diPHK tanpa kejelasan upah dan hak-hak lainnya.

“Kalau semua berlepas tangan seperti ini, bagaimana nasib kami?” kata Kuswoyo tak berdaya. Di belakangnya, ada 368 pekerja terPHK beserta anak dan keluarganya menjadi potret buram yang tak diurus negara.