DARURAT SIPIL DIPERSIAPKAN UNTUK OMNIBUS LAW BUKAN COVID-19!

 

Kalau “hanya” untuk mengantisipasi dan menangani dampak-dampak Covid-19 yang semakin meluas, sebenarnya Presiden Joko Widodo sudah punya senjata yang memadai, UU Kekarantinaan Kesehatan. Bukankah UU tersebut lahir atas persetujuan Jokowi.

Sebenarnya, Jokowi sedang menggunakan masalah Covid sebagai kuda troya untuk menyasar hal yang lebih besar lagi: krisis sesudahnya! Dan berbicara krisis, pandangan mata kita mau tak mau harus tertuju pada rencana besar Rezim untuk mengegolkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Narasi yang dibangun sudah sedemikian rupa, dalam kondisi normal saja mereka tak kuat menahan syahwat untuk mengatakan bahwa Omnibus Law sangat dibutuhkan, apalagi dalam situasi krisis?

Di Jakarta, Menteri Keuangan, menyebut bahwa pelambatan ekonomi sudah terjadi, dan mengarah pada angka minus hingga negatif 0,14 persen dalam skenario terberat yang dibuat pemerintah sebagai dampak dari penyebaran virus korona. Lebih lanjut, berdasarkan analisis yang riil, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan turun ke 2,3 persen dan dalam skenario terburuk bisa negatif 0,4 persen sehingga akan menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi yang berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit yang tidak mampu dibayarkan oleh perusahaan akibat adanya penurunan pendapatan.

Dalam kondisi krisis dan dengan alasan pemulihan secara lebih cepat sesudahnya (entah kapan itu terjadi), Tidak ada pilihan lain, dibutuhkan obat dosis tinggi untuk memacu agar denyut perekonomian segera normal kembali. Omnibus Law, RUU Cipta Kerja adalah dopping itu.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengedepankan kecurigaannya terkait penetapan darurat sipil ini. Dikutip dari Tempo.co, Asfinawati menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo lebih memilih kebijakan darurat sipil seiring penerapan pembatasan sosial skala besar, dalam menangani wabah Corona karena alasan lain. Bukan semata-mata kesehatan, tapi keamanan.

“Ini seperti mengail di air keruh, menggunakan kesempatan wabah nasional dan pandemi global untuk mempersiapkan reaksi keras gerakan masyarakat yang selama ini menolak agenda besar Pemerintahnya seperti RUU Cipta Kerja dan Ibu Kota Negara,” tegas Asfinawati.

Jokowi tentu paham, bahwa dalam situasi darurat sipil diperlukan kewenangan yang lebih besar, untuk itulah dia menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU Nomor 74 Tahun 1957 dan Menetapkan Keadaan Bahaya. Salah satunya adalah menambah sejumlah kewenangan kepada Presiden sebagai penguasa darurat sipil pusat, dan kepala daerah sebagai penguasa darurat sipil daerah.

“Kita sudah membayangkan situasi yang semakin buruk yakni hilangnya kebebasan sipil yang selama ini kita perjuangkan!” ujar Asfin.

Senada dengan Asfinawati, Sekretaris Jenderal Federasi SERBUK Indonesia Khamid Istakhori menyatakan bahwa penetapan darurat sipil merupakan konsolidasi akhir Pemerintahan Joko Widodo. Menurutnya, konsolidasi di Parlemen sudah selesai ketika draft Omnibus Law RUU Cipta Kerja diserahkan ke DPR RI dan kemarin, pada 2 April 2020 Ketua DPR RI Puan Maharani sudah membacakan surat Presiden terkait Omnibus Law Cipta Kerja dan bersegera memasukannya ke dalam Badan Legislasi. “Komposisi partai pendukung Jokowi di Parlemen menembus angkat di atas 74% setelah Partai Gerindra bergabung, artinya apapun yang dikehendaki Jokowi, hampir tidak ada halangan di parlemen,” tegas Khamid.

Hambatan yang mungkin dihadapi adalah penolakan yang luas dari gerakan masyarakat sipil, terutama buruh. “Darurat sipil menjadi senjata andalan yang dipersiapkan untuk mengahadpi ancaman tersebut,” pungkas Khamid.