Cerita kesatu.
Cerita ini, tentang pekerja di PLTU Sumsel 1, buruh-buruh konstruksi. Kami mulai masuk bekerja di proyek PLTU tersebut pada September 2019. Bergabung dengan Perusahaan Guangdong Power Engineering Co. Ltd, biasa dikenal dengan sebutan PT GPEC. Perusahaan Konstruksi dari Cina, yang memang ahli dalam bidang konstruksi untuk PLTU. Kami mendapat kabar, dulu ketika PLTU Gunung Raja dibangun, GPEC juga kontraktornya.
Ketika kami beristirahat, pekerja yang baru direkrut juga berkumpul dengan pekerja yang sudah lama, berkumpul untuk makan siang bersama. Kami makan nasi bekal dari rumah, sebab tak ada warung nasi di lokasi. Kalau pun ada, kami menghemat uang untuk beli makanan. Lebih baik upah yang sedikit itu kami pergunakan untuk keperluan lainnya.
“Berapa upahmu?”
“Seratu ribu, Pak”
“Hah? Seratus? Kami yang sudah bekerja lama hanya mendapat delapan puluh ribu!”
Begitulah dialog kami siang itu. Pekerja lama marah. Mereka bilang tidak adil. Pekerja baru dibayar 100 ribu, sementara mereka hanya 80 ribu. Kami tahu, kemarahan mereka tidak ditujukan kepada kami, pekerja baru. Tetapi, mereka marah kepada perusahaan yang membeda-bedakan upah pekerja. Lalu, mereka berkasak-kusuk dengan sesama pekerja, intinya mereka marah dan akan membalas. Semacam rencana protes.
Tepat hari pembayaran upah, 5 November 2019. Kami berkumpul untuk menerima upah. Meskipun kami dianggap buruh harian, upah kami dibayar setiap tanggal 5. Pekerja lama meminta kepada kami, pekerja baru untuk mengambil upah lebih dulu. Kami antri di depan dan mulai mengambil upah. Ketika upah kami terima, mereka semua mengetahui kalau upah kami lebih besar. “Benar kan, upah mereka lebih tinggi,” teriak salah seorang pekerja dengan wajah merah karena marah.
Seorang pekerja maju ke depan, berbicara di hadapan kawan-kawannya. Akhirnya kami mengetahui, namanya Tajudin. Dia menyampaikan rasa marahnya. Lalu, meluncur kalimat pedas dari mulutnya. Bentuk kemarahan itu diungkapkan dengan mogok. Mereka mengambil keputusan untuk mogok spontan.
Pekerja menghentikan pekerjaannya dan memprotes ketidakadilan yang dilakukan manajemen perusahaan. Kepada Juru Bicara, Tajudin mulai bertanya, kenapa upahnya dibedakan? Juru Bicara atau biasa disebut Jubir merupakan orang Indonesia yang biasanya mendampingi atasan kami, seorang pekerja dari Cina yang mengawasi kerja kami. Karena “mandor” dari Cina itu tak bisa berbahasa Indonesia, kami mengandalkan komunikasi dengan Jubir. Menanggapi protes Tajudin dan kawan-kawannya, Jubir meminta waktu, sebab di perusahan tidak ada Humas. Humas merupakan orang yang dipercaya oleh perusahaan untuk menyampaikan kebijakan-kebijakan perusahaan kepada pekerja. Kadang, Humas juga bertugas memberikan informasi kepada instansi yang datang ke perusahaan. Humas menjanjikan keputusan pada Senin pekan berikutnya.
**
Akhirnya hari Senin yang dijanjikan tiba. Pukul 10 pagi, Seorang Humas Perusahaan mengajak pertemuan di kontainer; semacam kantor darurat di lokasi PLTU. Perundingan berlangsung selama 3 jam hingga jam 13 siang. Hasilnya cukup menggembirakan. Herida mengumumkan kalau semua pekerja mendapatkan kenaikan upah menjadi 100 ribu rupiah, sama seperti pekerja yang baru. Semua bersorak dan mengucapkan rasa syukurnya.
Lasim, salah seorang pekerja lama, memberitahukan kepada kawan-kawannya tentang kenaikan upah yang diumumkan perusahaan. Semua bersuka cita. Lalu, Lasim mulai menanyakan kepada kawan-kawannya, apa rencana selanjutnya.
Lasim menawarkan membentuk perkumpulan, namanya serikat pekerja. Kawan-kawan di lokasi PLTU merasa awam dengan serikat pekerja. Lalu Lasim berjanji untuk mempertemukan kawan-kawannya dengan Darwin. Darwin adalah kakak kandung Lasim yang bekerja di perusahaan kertas, PT Tanjung Enim Lestari. Posisinya sebagai satpam, tapi di perusahaan mereka lebih senang disebut sebagai security. Meskipun security, kata Lasim, mereka berserikat. “Mereka berserikat, meskipun dihalang-halangi oleh polisi,” kata Lasim meyakinkan kawan-kawannya.
Tekad semakin membulat. Keinginan dan rasa penasaran tentang serikat pekerja telah mendorong mereka untuk semakin menemukan jawaban. Akhirnya, mereka bertemu dengan Sahrahim yang akrab di panggil Pak Wo. Pak Wo merupakan mantan ketua Serikat Pekerja Security PT TEL, temannya Darwin. Dari mulut Pak Wo mengalir deras penjelasan mengenai serikat pekerja. “Serikat pekerja itu alat perjuangan, butuh komitmen untuk berjuang,” kata Pak Wo. Penjelasannya sangat panjang. Kami sebenarnya mengalami kesulitan memahami. Maklum ini adalah pengalaman pertama.
Kawan-kawan mengalami kebingungan. Bimbang. Antara maju atau diam. Maju artinya mengambil resiko, Diam berarti membiarkan perlakuan yang tidak adil. Berbekal pengalaman berunding mendapatkan kenaikan upah yang baru saja terjadi, kawan-kawan menebalkan tekad. Semua bersepakat untuk mulai mendiskusikan alat perjuangan. Namanya serikat pekerja. Hanya itu yang ada di benak mereka. Undang-Undang Ketenagakerjaan tak paham, apalagi aturan-aturan yang njlimet. Pikiran mereka hanya satu: nasib harus berganti!
Diskusi selesai. Kami mulai mendapatkan pemahaman. Lalu kami disuruh pulang untuk mulai berpikir. Antara bingung, senang, khawatir, dan penasaran berkecamuk dalam pikiran kami masing-masing. Di semua kesempatan kami selalu memikirkan serikat pekerja. Sambil bekerja di bawah terik matahari, ketika makan siang, atau berkumpul bersama keluarga.
Tekad kami sudah bulat; nasib harus diubah!
Muara Enim, 28 Maret 2020.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.