UNDANG-UNDANG SEMAKIN PRO INVESTOR!

 


#MARSINAH_1

Kita tak pernah benar-benar tahu, kapan Marsinah dibunuh, tapi pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk. Jenazahnya divisum Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pimpinan Dr. Jekti Wibowo.

Awal mulanya, adalah buruh-buruh PT. Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur yang menggalang mogok kerja, menuntut kenaikan upah dan uang makan. Buruh PT. CPS digaji Rp1.700 per bulan. Padahal berdasarkan KepMen 50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250. Pemerintah Propinsi Jawa Timur, menerbitkan Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992, isinya meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20 persen. Tapi, begitulah watak pengusaha. Watak investasi. Tak mudah memberikan hak-hak bagi buruhnya.

Mayoritas pengusaha menolak SE tersebut, termasuk PT. CPS. Perusahaan hanya bersedia mengakomodasi kenaikan upah dalam tunjangan, bukan upah pokok. Dengan demikian, pengusaha akan tetap memiliki kebebasan untuk memotong upah ketika buruh tak masuk kerja karena alasan sakit atau melahirkan, tunjangannya akan dipotong. Perundingan berjalan sengit, lalu buntu. Buruh-buruh, bersatu tekad mengadakan mogok kerja yang digelar pada 3 Mei 1993. Ada 150 dari 200 buruh perusahaan itu yang mogok kerja.

Lalu…….

Kemudian ………..

Selanjutnya ………………..

Marsinah dibunuh.

Sekarang, sesudah 27 tahun kematian Marsinah, apakah kondisi membaik? Apakah kehidupan buruh berubah? Jawabnya TIDAK! Justru semakin memburuk dan dalam kondisi pandemi wabah Covid-19., Rezim Joko Widodo memaksa untuk meloloskan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang hanya berpihak pada investor!

27 tahun sesudah Kematian Marsinah, kehidupan buruh masih buruk!