Bersepeda 551 Km Jogja-Jakarta: Kami Juga Menolak Privatisasi Listrik!

 


Empat pesepeda yang mengayuhkan harapan sepanjang 551km Yogya-Jakarta, Fajar Setyo Nugroho (25) pekerja bengkel sepeda, Johan Ferdian Juno R (25) pekerja informal, Pepe Hidayat (23) tukang sablon yang dirumahkan, dan Riko Lesmana (21) korban phk pabrik meubel, juga mengusung isu penolakan atas sub kluster ketenagalistrikan yang ada dalam Omnibus Law. Fajar Setyo Nugroho menjelaskan bahwa memang salah satu pemicu keributan Omnibus Law adalah kluster ketenagakerjaan yang kontroversial. Dan seperti biasa, semua kebijakan yang anti buruh, akan selalu menuai protes yang luas.

Coba catat, sejak UUK disahkan, lalu rencana revisi berkali-kali, dan PP 78/2015. “Jangan bikin masalah dengan buruh, mereka akan menemukan titik didihnya, suatu saat, membakar apa pun,” kata Fajar. Tapi, menurut Fajar, kita semestinya kita juga tak boleh melupakan kluster lain. Selain lingkungan dan perizinan yang akan memuluskan pengerukan sumber daya alam, Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga berisi tentang permufakatan jahat untuk meliberalkan listrik, pengelolaan sumber daya listrik kepada swasta.

Forum Nasional dan Diskusi Kontroversi Omnibus Law Sub- Kluster Ketenagalistrikan’ yang diselenggarakan secara daring oleh Public Services International (PSI) dan berbagai serikat pekerja di Indonesia pada hari Jum’at 26 Juni 2020 yang lalu misalnya, membongkar borok- borok RUU Cipta Kerja Sub Kluster Ketenagalistrikan. Pasal-pasal tentang ketenagalstrikan menegaskan rencana jahat untuk memprivatisasi sektor kelistrikan. Dari hasil identifikasi Forum Nasional dan Diskusi tersebut, diketahu pasal-pasal dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja sub kluster Ketenagalistrikan yang melanggar konstitusi dan menciderai semangat reformasi yang berupaya menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dari korupsi dan menghormati Hak Azasi Manusia.

Beberapa poin krusial terkait isu kelistrikan antara lain berkaitan dengan masuknya kembali penafsiran dari pasal 10 ayat (2) dan pasal 11 ayat (1) UU 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan yang sudah jelas dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK no. 111/PUU-XIII/2015 ke dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Konsenkuensi dari penafsiran inkonststitusional atas putusan MK tersebut, mengakomodir penggabungan definisi “ijin operasi” dan “usaha penyedia tenaga listrik” yang tujuannya menyelingkuhi keputusan MK No. 111/PUU-XIII/2015. Selain itu, definisi “wilayah Usaha” pada putusan MK yang sama juga dikaburkan.

Dampak besar yang akan terjadi seandainya Omnibus Law ini disahkan, seperti memberikan cek kosong kepada Pemerintah untuk menentukan rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN), tanpa perlu lagi berkonsultasi dengan DPR RI. Jadi, selain menjadikan kluster ketenagakerjaan yang ditolak oleh kalangan buruh sebagai bahan konsolidasi, penting untuk menyelaraskan langgam perjuangan dengan kluster atau sub kluster lainnya dengan mengajak masyarakat secara luas. “Mereka, akan merasakan dampak langsung privatisasi listrik yang dirancang dalam Omnibus Law,” tegas Fajar.