Cintailah Jokowi Sewajarnya Saja!

Saya hanya akan menceritakan beberapa hal, kenapa buruh melakukan aksi.
Saya tahu, ada banyak kawan saya (dengan berbagai latar belakang) yang mendukung Jokowi sepenuh hati. Bukan saja memilih dalam pemilu, tapi menjadikannya sebagai role model dalam hidupnya. Alasannya sederhana, sangat simpel. Meskipun tidak sama persis, mereka mengagumi Jokowi dari berbagai dimensi.




“Jokowi jujur, karir politiknya dari bawah,” kata Juminten.
“Dia tidak korupsi,” bela Nikita.
Buat saya, itu penilaian pribadi yang sangat-sangat wajar, manusiawi, dan sah-sah saja. Sudut pandang, pengalaman, pemahaman, pertemanan, dan aktivitas sehari-hari turut mempengaruhi.

Akhirnya, saya tidak ambil peduli dengan pilihan-pilihan itu. Semua orang boleh dan bebas mengagumi. Hitler saja ada pengagumnya.

Tapi, itu menjadi masalah kalau sudah mulai memasuki wilayah pilihan orang lain. Misalnya gini:
  1. Kecintaan dan kekaguman terhadap Jokowi, kemudian dipakai untuk menyalahkan pilihan orang yang mengritiknya. Merasa penting baginya untuk memastikan pengritik itu tahu penilaiannya tentang Jokowi. Kesannya jadi norak. Kaca mata kuda.
  2. Bisa jadi, dia mencintai Jokowi karena ada semacam kewajiban dan keterpaksaan. Dia harus membela Jokowi membabi buta karena Jokowi adalah petugas partai dari PDIP. Hanya karena dia punya KTA (belum kader malah kali ya) atau timses, lalu membela Jokowi mati-matian. Ini menjadi semacam jihad baginya.
  3. Tipikal lainnya adalah pengagum Jokowi dan menjadikan Jokowi sebagai cinta matinya. Penjelasan Jokowi dalam konferensi pers yang paling tidak masuk akal, kemudian menjadikannya menyalahkan orang lain. “Nah ini penjelasan dari Pak Presiden pilihan saya. Buat yang kemarin aksi turun ke jalan, berpikir lagi ya,” celetuknya.
Saya hanya akan menceritakan beberapa hal, kenapa buruh melakukan aksi. Bisa jadi, ada tipe orang yang aksi karena dibayar, dikasih nasi bungkus, disewakan kopaja, dll. Orang ini, gak tahu apa2 yang diprotes. Nah, tipe ini adalah yang dituduh oleh Airlangga Hartarto. Kalau anda mau tahu, ada banyak massa aksi model ini saat aksi2 mendukung revisi UU KPK setahun lalu. Mobil komandonya gak pernah ganti, mungkin sudah disewa sebulan. Korlapnya itu2 saja. Begitulah, tuduhan Airlangga menemukan kebenarannya. Tapi, kalau tuduhan Airlangga diarahkan kepada kami, salah besar!

Kawan-kawan buruh di pabrik, kalau mau aksi sudah melalui proses panjang. Anggap saja aksi 6-8 Oktober 2020 kemarin. Sudah melalui proses panjang. Sejak September, kami sudah mendiskusikan draft RUU. Kalau bukan dalam bentuk yang utuh, biasanya kami punya kajian2 pendek. Ada poster-poster yang diproduksi oleh banyak lembaga, LBH Jakarta misalnya. Buruh-buruh di pabrik, kalau sudah diskusi hukum, bisa sangat serius melebihi mahasiswa semster akhir di fakultas hukum. Ingat, mereka juga punya kemampuan merundingkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), seperti undang-undang yang dibahas DPR RI itu.

Lalu, mereka melakukan rapat di pabrik-pabrik. Nggak cukup sekali. Bisa 3-4 kali. Rapat pertama, membahas substansi tuntutan. Rapat kedua, membahas bentuk-bentuk propaganda. Rapat ketiga, membahas sasaran aksi (termasuk biaya, dll). Rapat keempat, sangat teknis: menentukan siapa pimpinan aksi, pemberitahuan ke polisi, sekenario kalau dihadang, atribut, dll. Anda mungkin tercengang kalau tahu bahwa kemeja warna merah yang dipakai oleh Hasan, buruh pabrik asbes di Karawang itu, dibeli dengan menabung. Diangsur 4-5 kali. Buruh-buruh yang aksi, membiayai sendiri. Mereka berkorban!

Pengurus serikat di pabrik, juga sama. Mereka hidup dengan kesederhanaan level dewa. Mereka membiayai sendiri aktivitasnya karena kadang2 iuran gak cukup. Uang susu buat anak, kadang terpakai untuk beli bensin agar motor bututnya tetap bisa bergerak. Mereka, sangat istikomah menolak korupsi. Sebagai aktor penting dalam serikatnya, mereka sudah kebal dengan tawaran-tawaran sejumlah uang dan jabatan. Tapi, mereka menolaknya.

Akhirnya, anda salah besar kalau menuduhkan kepada kami tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar. Di makan hoax, disusupi, diprovokasi, dll. Buruh-buruh di pabrik sangat cerdas. Mereka aksi, dengan alasan yang sangat rasional. Semua berkaitan dengan kehidupan mereka, pertaruhan hidup mati. Anda, suatu saat akan tercengang ketika tahu apa saja yang mereka lakukan untuk mempertahankan hidup. Saya punya ribuan cerita tentang mereka, sebab saya hidup bersama mereka. Saya, juga pernah menjadi buruh pabrik.

Demikianlah. Kepada kawan-kawan saya yang kebetulan menyukai, mengagumi, mencintai, dan menganggap Jokowi Dewa, bersikaplah sewajarnya. Atau, kalau mau mengekspresikan dengan salto dan jumpalitan, lakukan di ruang kalian sendiri. Bikin status sendiri, bikin tik tok sendiri, bikin insta-story sendiri. Jangan mengajak kami untuk ikut terlibat. Itu semua, tak berguna untuk kami.
Biarkan kami memelihara iman perjuangan ini. Menolak omnibus law adalah salah satu saja dari ribuan pengalaman kami menolak kebijakan yang menyengsarakan kami. Semua Presiden Indonesia pernah melakukan kebijakan serupa. Sejak Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Mega, SBY, dan Jokowi. Dan kami, akan melakukan perlawanan yang sama.

Selamat malam, sehat-sehat semua. Jaga diri, Covid-19 masih mengancam. Omnibus Law Ciker juga sama: mematikan!

Yogyakarta, 10/10/2020.

Penulis: Khamid Istakhori